***Riuh tepuk tangan menggema di ruang pesta. Aku menganga tidak percaya saat mendengar nama Kenan dipanggil untuk naik ke atas podium. Kulihat Bu Wira tersenyum dan menatap anak lelakinya yang mulai berjalan menuju tempat yang disediakan."Ar ... ini bukan mimpi kan?" Suara Mbak Risa terdengar jelas di telingaku. Bahkan kulihat Bu Wira sampai menoleh ke arah Mbak Risa. "Ar! Duduk, semua orang ngeliatin kamu!" Aku terkekeh, saking kagetnya mungkin sampai-sampai Mas Ari berdiri dan tidak kunjung duduk kembali sampai semua pasang mata melihat ke arahnya."Di-- Dia bos?"Mbak Risa mengangguk dengan menutup mulutnya. Melihat raut kaget dari wajah mereka membuatku terkikik geli."Selamat sore semuanya. Pasti kalian bingung kenapa saya tiba-tiba memperkenalkan diri setelah satu tahun memberikan kepercayaan penuh pada Pak Heru.""Sebelumnya, beri tepukan apresiasi untuk Bapak Heru Sutomo yang sudah mengabdikan diri pada Ken's property."Tepukan tangan kembali menggema. Seorang lelaki paru
***"Tolong ....!"Teriakan minta tolong terdengar nyaring di ruangan pesta mengingat para undangan memang sedang melangsungkan acara bincang-bincang sesama rekan."Tolong ... hu ... hu ... hu ...."Aku menoleh ke sumber suara. Disana sudah berdiri Mbak Risa dengan dandanan yang sangat berantakan. Bahkan ujung bajunya terkoyak hingga menampilkan pahanya yang mulus."Mbak!" teriak Mas Ari terlihat sangat panik. "Kenapa bisa begini, ada apa?"Kami semua berdiri melihat keributan yang Mbak Risa perbuat. Ada apa dengannya? Bukankah barusan dia bertemu aku di kamar mandi, atau jangan-jangan ...."Ada yang sengaja mau nyakitin aku, Ar. Hu ... hu ... hu ....""Siapa ... siapa orangnya, apa dia berada di sini?"Mbak Risa mengangguk pasti. Tangannya terulur dengan telunjuk mengarah tepat di wajahku. Aku mencebik. Wanita ular itu memang pandai berakting. "Kurang ajar kamu, Hana! Apa yang sudah kamu lakukan pada Mbak Risa, hah?!" Mas Ari mencekal pergelangan tanganku kasar. Dia menarik tubuhku
***Mas Ari mendongak, sedetik kemudian kepalanya kembali tertunduk. "Ma -- Maafkan saya, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan seperti ini lagi.""Mbak!" desis Mas Ari, "Ayo minta maaf!" Dia menarik tangan Mbak Risa dengan kasar. Jelas sekali terlihat jika wanita itu enggan meminta maaf."Tidak perlu berlebihan. Bangunlah, kita nikmati lagi pesta penyambutan anak saya," ujar Bu Wira tanpa senyuman. Tidak biasanya wanita paruh baya itu terlihat dingin seperti ini."Tuh, dengerin kata Bu Wira, Ar. Nggak usah berlebihan. Lagian aku juga nggak salah-salah amat kok, Hana emang udah nyerang aku duluan tadi," bela Mbak Risa."Diam!" bentak Mas Ari. Aku terkekeh melihat wajah Mbak Risa yang nampak memerah menahan malu, entah marah, aku tidak tau. Kenan berlalu dan meminta MC yang bertugas untuk menutup acara malam ini. Raut kecewa tergambar jelas di wajah lelaki es itu membuatku merasa bersalah karena sudah mengacaukan acara penyambutan untuknya.***"Hana ... Hana ...! Keluar
*** "Berani maju, kutekan tombol kirim sekarang juga!" Mas Ari seketika mundur dan terlihat mengepalkan kedua tangannya. Aku mengibaskan tangan di udara, melenggang menjauhi Mas Ari yang masih terpaku di belakang. FLASHBACK ON .... "Berkas sudah saya ajukan ke pengadilan agama. Saran saya, Mbak Hana segera keluar dari rumah suami," ucap saudara Yu Tikah. Aku meremas sepuluh jemari dengan gelisah. Hendak kemana aku pergi sementara di kota ini aku tidak memiliki saudara. "Lebih baik kamu sewa kamar kos saja, Han." Yu Tikah mulai bersuara, "Di ujung kompleks ini ada tempat kos yang murah, nanti aku bantu tanya kesana." Aku mengangguk samar, "Tapi jika saya pergi sekarang, alasan apa yang harus saya berikan, Yu?" Yu Tikah tersenyum. Dia mengusap punggungku lembut. Entah bagaimana caranya aku bisa membalas semua kebaikan wanita ini. Dia benar-benar menjelma malaikat untukku. "Apa masih perlu alasan untuk pergi, Hana? Bukankah cukup dengan luka yang kamu terima selama ini untuk dij
*** Semua mata menatap tajam ke arah dimana Mbak Risa berdiri. Wanita itu celingukan dan berbicara dengan gugup, "Mak- maksutku kamu tadi sudah menuduhku bermain api dengan Ari. Kamu pasti ngatain aku wanita jalang, iya kan?" Aku tertawa, "Terserah. Talak aku sekarang juga atau kulaporkan tindakan kamu ke polisi," ancamku pada Mas Ari. "Laporkan saja. Lagipula kau tidak akan mampu membayar biaya laporan." Mas Ari tersenyum menyeringai. Mbak Risa bersedekap dada dan menarik ujung bibirnya menghadapku. "Aku akan membantu Hana," ujar Yu Tikah lantang. Mas Ari bangkit. Dia mengepalkan kedua tangannya. Matanya menatap Yu Tikah dengan tatapan yang entah, aku tidak bisa mengartikannya. "Jangan mempersulit dirimu, Ar. Talak wanita kampung itu. Dari dulu ibu tidak setuju kamu menikahinya. Wanita serakah!" "Tapi, Bu ...." "Tidak ada tapi-tapian! Talak sekarang juga atau kamu tidak akan bisa bertemu Ibu lagi!" Aku tersenyum. Dengan dukungan Ibu aku pasti bisa mendapat talak Mas Ari mala
Hai, flashback masa lalu Hana sudah usai ya, sekarang fokus dengan alur maju dimana pembalasan Hana untuk keluarga Mantan suaminya dimulai.***"Kamu sudah mengerti sejauh ini, Han?"Aku mengangguk, mulai menyalin data-data yang sudah diberikan oleh para staf di masing-masing devisi. Mengatur jadwal bertemu klien untuk seminggu kedepan. Tidak terlalu sulit sejauh ini karena Kenan juga masih membimbingku dan sesekali mengecek data yang sudah aku rekap."Kenapa Bapak justru meminta saya sebagai sekretaris? Padahal jelas-jelas saya hanya lulusan SMA," ucapku penasaran. Aku wanita dari kampung, seorang janda dan hanya lulusan SMA. Tapi tiba-tiba Kenan datang dan menawarkan pekerjaan padaku dengan jabatan yang lumayan bagus.Jika ditanya apakah para pegawai Ken's Property tidak ada yang menaruh dengki padaku, sepertinya ada, jelas tidak mungkin jika beberapa dari mereka tidak menyayangkan keputusan Kenan untuk memperkerjakanku sebagai sekretaris pribadinya. Secara, mereka bergelut di peru
***"Ma-- Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," ucapku terbata. "Lagi-- Lagipula kan Bapak bisa bilang tanpa harus dekat-dekat seperti tadi," elakku membela diri."Kamu ...." Kenan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku. Dia meringis kesakitan sambil memegangi punggung menggunakan satu tangan. Kenan membetulkan posisi duduk dan kembali membelah jalan menuju kampung tempatku dilahirkan tanpa meladeni ucapanku barusan.Kuhembuskan napas kasar. Berada di dekat Kenan membuat jantungku berdebar tidak karuan. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Sesekali aku memejamkan mata mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Bagaimana mungkin aku bisa enak-enakan istirahat sementara Kenan sejak tadi menyetir. Berulang kali kulihat dia memijat punggungnya dengan satu tangan. Aku menggigit bibir bawah, merasa bersalah sekali karena sudah berburuk sangka dan membuatnya kesakitan."Maaf ya, Pak," ucapku lirih."Tidurlah atau kesalahamu barusan tidak akan kumaafkan!"Aku mengangguk cepat. Buru-buru
***"Kamu mau ijin saja, Han?"Aku terkesiap saat mendengar suara Kenan dari belakang. Hampir saja sayur daun katuk yang kutuang tumpah jika Emak tidak sigap menahan tanganku agar tidak keluar dari wadah sayur."Hati-hati, Hana!" tegur Emak. "Tanganmu bisa melepuh, itu panas," ucapnya khawatir.Aku mengangguk. "I-- iya, Mak."Sepagi ini Emak sudah menyiapkan sarapan untuk kami semua. Bukan hal yang baru, karena setelah sholat subuh Emak sudah sibuk berkutat di dapur."Tidak, Pak. Saya baru bekerja lalu tiba-tiba ijin, apa kata staf lain nanti?"Kenan menaikkan kedua alisnya. Dia berlalu begitu saja dan menghampiri Bapak yang tengah duduk di ruang tamu."Jaya sudah sukses ya, Nduk?"Aku mengagguk, "Sebelum bekerja dengan Pak Kenan, aku berjualan keliling setiap hari, Mak. Jadi kuli Mamanya Pak Kenan. Mereka orang-orang baik," ucapku menerawang jauh pada sosok Bu Wira. "Awalnya aku tidak tau kalau Pak Kenan itu ternyata Jaya, Mak. Emak tau sendiri kan kalau bocah tengil itu dulu buluk b
***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y
***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B
***"Ternyata benar kata Melinda kalau sekretaris baru kamu itu memang gatel!"Bima berdiri. Napasnya memburu melihat Nasya tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. "Satpam!" teriak Bima lantang. Mang Dadang berlari tergesa-gesa dan memasuki ruang tamu dengan tatapan bingung. "Loh, Mbak Nasya kok bisa masuk?" "Mamang bagaimana sih, daritadi kemana saja?""Ada Mbak Melinda di depan, dia ngajakin ngobrol, Mas. Saya gak tau kalau ada penyusup ....""Bim, tenang! Duduk!" Pak Agung bangkit. Dia berjalan mendekati Bima dan Nasya yang nampak bersitegang."Silahkan duduk, Nasya," kata Pak Agung formal. Hana dan kedua orang tuanya canggung. Wanita cantik itu merasa jika Nasya adalah orang penting di hidup Bima sebelumnya. Suasana sedang tidak baik-baik saja apalagi wanita di depannya itu sempat menyebut nama Melinda. Tentu saja sekretaris gatal yang dimaksud adalah dirinya. Hana."Kenapa datang-datang marah-marah di rumah kami, Nasya? Ada keperluan apa?""Pa ....""Maaf, saya bukan P
***"Sudah siap?"Hana dan Emak mengangguk berbarengan. "Sudah, Bapak masih di dalam, ganti baju sebentar," sahut Hana malu-malu. Pasalnya Bima sejak tadi tidak membuang pandangan darinya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum sambil menatap Hana yang tersipu."Make up-nya terlalu menor ya?"Bima menggeleng. "Sudah pas. Malah makin cantik," puji Bima tulus. "Meskipun tanpa make up juga cantik, tapi kalau begini semakin cantik," imbuhnya.Emak tersenyum simpul. Dia mengusap lengan Hana dan berkata. "Jangan gugup! Kalau mau makan malam sama keluarga pacar memang begini.""Emak apa-apaan sih, pacar ... pacar ... udah tua ini kita," gerutu Hana malu. "Emak lupa kalau aku ini janda, sudah pernah gagal menikah pula.""Itu tidak penting, Hana," sahut Bima menimpali. "Janda, perawan, singel, itu tidak penting. Yang semua orang cari dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan dan keterbukaan pada pasangan.""Jangan merasa rendah karena status janda, tidak semua status itu menyandang hal buruk." Emak
***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la
***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam
***"Ma, dia bukan supir," kata Kevin membuat langkah kaki Bu Wira terhenti. "Hah, bukan? Lalu ...?" Bu Wira menatap bingung pada Kevin dan semua orang yang ada di ruang tamu."Ini Pak Bima, partner bisnisku," jelas Kevin. "Bos Hana."Sorot mata Bu Wira seketika meredup. Senyumnya langsung memudar ketika Kevin mengatakan jika Bima adalah Bos Hana yang baru. Sontak saja ingatannya beralih pada bagaimana dulu Kenan memperlakukan Hana. Sikapnya sama seperti sikap Bima pada Hana saat ini. "B-- Bos?"Suasana yang hangat seketika membeku. Semua orang di ruang tamu sontak saja saling pandang karena air muka Bu Wira yang berubah tidak ramah seperti semula. "Hana ... bekerja?"Hana paham. Sejak awal dia tidak mengatakan jika dia sudah bekerja di Perusahaan lain sementara Perusahaan Kenan pun bisa kapan saja menerimanya dengan pintu terbuka. Wanita cantik itu melangkah mendekat. Dia memeluk Bu Wira dan berkata. "Maaf, Ma.""Kamu bekerja, Nak?" tanya Bu Wira menyelidik. "Dimana?"Belum sempat
***"Pak Bima?" Hana memekik di depan rumah ketika Bima keluar dari mobilnya yang berbeda lagi dari kemarin malam. "Kan saya sudah bilang kalau ....""Pak, Mak ... sudah siap?"Emak dan Bapak memandang Hana dengan tatapan bingung sementara Hana justru jauh lebih bingung lagi."Kalau sudah siap, ayo! Kita langsung ke Rumah Sakit atau ke rumah Kevin dulu?"Segaris senyum terbit di bibir Bapak dan Emak. Keduanya paham jika keberangkatan mereka kali ini adalah dengan diantar oleh Bima. Sementara Hana cemberut karena Bima datang tanpa memberi kabar."Kami naik Bus, Pak. Pak Bima bisa naik Bus?" tanya Hana tak acuh. "Kalau gak bisa, mending gak usah ikut!""Kamu gak lihat aku bawa mobil?" sahut Bima ketus. "Kalau kamu mau naik Bus, ya silahkan! Tapi Bapak sama Emak ikut aku.""Loh, situ siapa kok ngalah-ngalahin anak sendiri?" Hana berkacak pinggang. "Anaknya Emak sama Bapak itu saya, Pak. Kok Bapak yang ngatur sih?!""Kamu gak tau, ini ... calon mantu," kata Bima sembari memainkan kerah ba
***"Sudahlah, Pak, jangan bercanda ke arah sana terus. Saya ...."Hana menggantung ucapannya di udara sementara Bima mengangguk paham dan kembali menikmati hidangan di depannya."Jadi besok kamu gak bisa makan malam bersama Papa?""Saya sudah berjanji pada Anita untuk datang, Pak, bisakah acara makan malamnya ditunda minggu depan? Maaf," kata Hana sungkan. "Keterlaluan sekali saya menolak ajakan orang pertama di Perusahaan, tapi ... saya benar-benar sudah berjanji pada istri Kevin, Pak.""Oke, Hana. Aku paham," sahut Bima tenang. "Jangan khawatir, Papa juga pasti paham. Lagipula kita terlalu dadakan membuat acara."Hana berterima kasih dan kembali mengikuti gerakan Bima menghabiskan makanan di atas meja. Siasana puncak yang semakin lama semakin ramai membuat Hana dan Bima semakin enggan untuk beranjak. Dinginnya puncak tidak lantas membuat keduanya jengah menatap keindahan alam dari atas sambil menikmati minuman hangat. "Kita pulang?" Hana mengangguk setuju. "Sudah terlalu larut, s