Sebulan berlalu begitu saja, kehidupan berjalan seperti biasa tidak ada yang menarik apa lagi special. Mas Ronald masih betah dengan muka temboknya, selama hidup dirumah dia berusaha memperbaiki hubungan dan merebut perhatianku, meski aku mengacuhkan itu semua.
Mas Ronald seakan tak kenal lelah, meski aku bersikap keras dan menganggapnya tak ada, dia selalu sabar dan terima dengan segala perlakuanku.Sebelum pulang kerja aku sempatkan diri mampir ketoko mainan dan kerestoran memesan makanan untuk Naura.Sesampainya dirumah kulihat Ibu mertua sedang bermain dengan Naura, ditemani Mas Ronald. Hatiku benar-benar mencelos melihatnya, dulu Ibu bahkan tak menganggap Naura cucunya. Buat dia cucu perempuan tidak bisa dibanggakan.Melihatnya yang mendadak ramah dengan Naura, membuat hati berburuk sangka. Pasti ada udang dibalik batu, mengingat ini adalah hari gajianku."Mamah pulang.." sorak Naura saat melihat kehadiranku. Aku tersenyumMenikmati terik matahari yang tidak terlalu panas, kaki melangkah menuju bibir pantai. Pasir basah kini menyentuh kulit, angin segar yang terasa hangat menampar rambut dan wajahku.Sejenak melepas penat dari kehidupan yang kini menjengkelkan, melepas sesak dirongga dada dengan mengedarkan pandang kesetiap sudut pantai. Keindahan alam mampu membuat hati merasa lebih baik, kuharap angin pantai serta deburan ombak mampu membawa segala perih yang tersimpan disanubari.Kaki kembali menjelajah, menginjak pasir putih yang meninggalkan jejak dikulitku. Bibirku terkulum, melihat anak-anak bermain dengan ceria tanpa beban."As ..." suara Mas Ronald terdengar ditelinga aku menghentikan langkah, berdiam diri ditempat."Sampai kapan kita terus seperti ini," suaranya pelan, namun mampu mengalahkan desiran ombak."Tolong ... lupakan kejadian yang lalu," auaranya kini terdengar frustasi.Aku mendesah lelah, lalu kembali melangk
Masih terdengar teriakkan Ibu dibawah sana, mengumpat mengeluarkan segala uneg-unegnya. Nenek bawel itu sangat emosional, tak boleh dicubit sedikit pasti lansung mencak.Benar dugaanku, Ibu mertua berpura baik karna ada maunya terlebih ini adalah tanggal gajianku. Sepertinya dia ingin meminta jatah bulanan padaku, dengan cara merebut perhatian Naura. Cucu yang selama ini dia sia-siakan.Bu.. Ibu. Bahkan aktingmu tak bertahan lama, kau kembali pada sifat aslimu saat aku tak memberi oleh-oleh. Dasar mata duitan!Aku langsung menuju toilet, membersihkan badan yang mengganti pakaian. Setelahnya aku menuruni tangga, untuk menengok Naura didalam kamarnya.Aku mendengar ada suara orang berbicara dari arah dapur, dengan langkah pelan aku mengendap kesumber suara."Makan pelan-pelan kenapa, kaya orang kelaparan aja." Terdengar suara Ibu. Jadi dia belum pulang?Ckckcck, kuat malu juga ya. Apa tadi aku belum mengusirnya?
"jangan begitu Mah.. biar bagaimana pun, aku ini masih suamimu. Seharusnya kamu menghormatiku, jangan bersikap kurang ajar seperti ini," desah Mas Ronald."Cih.. kamu yang kurang ajar! Setelah menyakitiku, kau menjebloskan aku kedalam penjara. Lupa?" Tanyaku dengan mata memicing."Kau menikah diam-diam. Menghamburkan uangku demi bersenang-senang dengan betina itu. Kini kau menyalahkan semua ini padaku!""Bukan begitu..""Jangan selalu menyalahkan orang lain. Kau harus sadar diri, masalah ini berasal dari ulahmu sendiri. Tak ada asap, kalau tak ada api," semprotku."As.. semua sudah terjadi. Aku harus bagaimana agar semua kembali seperti sedia kala?" Sahutnya frustasi."Tolong As.. lembutkan hatimu. Jangan membatu seperti ini," cicitnya membuatku muak."Sudahlah.. bicara padamu tak ada habisnya. Maunya menang sendiri, tidak pernah berfikir mengapa semua bisa terjadi. Mau enaknya aja!" Sentakku.Di
Menatap lekat kearahnya, mataku menyipit mengamati expresi Mas Ronald."Telpon Ibu sekarang? Sebelum aku lapor polisi," titahku."Lapor polisi?" kening Mas Ronald mengerut."Aku kemalingan, ya harus lapor polisi. Tapi sebelumnya aku harus bertanya pada orang rumah. Ibumu kan dari sini, masa dia tidak tahu apa-apa," jelasku.Mas Ronald mendengkus, lalu meraih gawainya didalam saku celana."Tidak diangkat," ucapnya sambil menunjukkan gawai didepan wajahku."Telpon terus, sebelum aku beneran kekantor polisi." Ancamku. Mas Ronald kembali menaruh gawai ditelinga, rautnya memancar kecemasan. Sepertinya jalan pikiran kita sama."Halo Bu ...."..."Ibu lihat sofa sama televisi diruang tamu?"..."Kemana ya. Kok hilang," ucap Mas Ronald sambil melirik takut kearahku.Aku mendecih sinis, lalu merenggut gawai dari tangannya."Ibu beneran tidak lihat?" U
"Bagus kalau begitu," sahutku sambil menepuk bahu suamiku.Aku melangkahkan kaki, meninggalkan Mas Ronald yang diliputi raut kecemasan.Aah ... sejak mendapat masalah, belum pernah hatiku seriang ini. Ibu, kamu memang benar-benar dapat merubah suasana hatiku.Segera membersihkan diri, kupakai pakaian yang simpel, nyaman dan tentu saja cantik untuk berjaga-jaga jika Ibu tak bisa mengembalikan sofa dan televisiku.Aku bersiul riang sambil mengamati jam yang menempel didinding kamar. Sepertinya harus mengisi perut dulu, aku yakin akan ada drama yang akan menguras energi serta emosiku.Melangkahkan kaki dengan riang, lalu berjalan menuju dapur. Kulihat Naura dan Mas Ronald sedang duduk dikursi makan, sedang menikmati santapannya."Enak Mas?" untuk pertama kali set
Plakk!!Satu tamparan keras mendarat dipipiku, menyisakan perih dan panas yang luar biasa disekitar area wajah.Meski pipi terasa terbakar, aku memasang wajah menantang, berharap Ibu kembali melayangkan tangan dipipiku. Sesuai harapan, Ibu teramat geram melihat expresiku yang menjengkelkan tangannya kembali terangkat keudara."Cukup Bu ... jangan main kekerasan disini," cegah polisi berwajah tampan itu.Huh ... padahal tadi biarkan saja, Pak.Aku memegangi wajah, kubuat air muka sangat ketakutan sambil memegangi lengan Pak Anton."Tolong Pak," rintihku ketakutan."Ibu! Bisa jaga sikap tidak!" bentak Pak Anton sambil memasang badan saat Ibu bersiap untuk menyerang aku kembali.
"As ..." bibir itu bergetar."Aku mohon, lepaskan Ibu," pintanya dengan air muka frustasi."Biarkan Ibu menginap didalam, semoga dia bisa menjernihkan fikiran setelah ini." Ucapku dengan wajah datar."As ... jangan egois. Jika kamu masih marah padaku, limpahkan semua kemarahan itu padaku. Jangan pada Ibu, atau keluargaku," ibanya dengan mata berkaca-kaca."Kau tega, membiarkan Ibu menginap dipenjara As? Tolong, As ... harus melakukan apa aku agar kamu bisa melepaskan Ibu," suara Mas Ronald sangat lemah, namun masih bisa aku dengar.Wajah tampannya terlihat merah, antara kecewa marah dan khawatir menjadi satu."Kamu mau melakukan apapun demi Ibu?" Tanyaku dengan alis yang terangkat sebelah. Wajah aku buat sedatar mungkin, meski hati sangat bersorak gembira meli
Mengapa Ibu dan Mas Ronald marah. Mereka bahkan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku buat. Aku hanya ingin mengembalikan perbuatan keji mereka, dan kini dimata mereka aku bagai iblis yang tidak berperasaan."Sabar Bu ..." Bik Irah menepuk lembut bahuku.Tubuhku menggigil, mataku terpejam dengan nafas tersenggal-senggal."Bibik juga tidak menyangka, Pak Ronald tega seperti itu," lirih Bik Irah."Ibu terlalu baik, Ibu sangat sabar menghadapi permintaan dari keluarga Pak Ronald. Tapi seperti ini balasan mereka, jujur saja hati Bibik ikut menjerit menerimanya," ucap Bik Irah dengan suara parau.Bik Irah sudah lama bekerja dirumahku, saat Papah membeli rumah ini untukku. Mamah sudah menyiapkan Bik Irah untuk membantu mengurus semua kebutuhanku. Bik Irah pastinya mengerti, bahwa rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja."Jadi perempuan memang serba salah Bu. Apa lagi kalau sudah menjadi istri. Semua kesalahan dilim
Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi
"Ya Alloh ... nafasnya melambat," ucapnya panik, lalu kembali menepuk-nepuk wajah Sekar."Dek, bangun Dek!" aku yang takut hal buruk terjadi pada Sekar langsung mendekat. Merangkup wajah pucatnya yang terasa semakin dingin."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku panik, melihat Sekar yang tetap bergeming."Bu sadar, Bu." Ibu Bidan terus mengguncang tubuh Sekar."Segera bawa kerumah sakit, Ibu Sekar sepertinya sudah sangat lemah." jawab Bu bidan."Siapkan mobil, bantu saya menduduki tubuh Ibu Sekar diatas kursi roda," titahnya langsung aku turuti.Dengan perasaan kacau, segera memindahkan tubuh Sekar. Aku benar-benar takut dengan keadaannya."Loh kok dibawa keluar, ada apa?" Ibu terlihat bingung."Sekar tidak sadarkan diri, Bu. Harus dibawa kerumah sakit untuk segera dilakukan tindakan," jawab Bu bidan.Dibantu Zeky, aku memasuki tubuh Sekar kedalam mobil. Wajah kami semua benar-
Pov Ronald.Kepala berdenyut ngilu, jantung berdetak lebih kencang saat Sekar mengetahui tentang Laras. Sekar mulai curiga, dia terus saja membondong seribu pertanyaan untuk menyerangku.Saat ini yang aku lakukan hanya mengelak dan menghindar. Aku takut Sekar semakin curiga, dan masalah semakin melebar kemana-mana."Kasih tahu si Sekar, punya sikap itu dijaga. Masa kepala aku dilempar pakai piring," cebik Zeky saat aku baru saja tiba dirumah. Aku hanya menarik nafas, tak menggubrik ocehannya. Memilih sibuk memainkan gawai."Apes hidupmu, Mas. Lepas dari berlian dapet kepingan sampah." Lagi, Zeki terus saja mengumpat."Ga tahu diri. Sudah numpang dirumah mertua, tapi ga ada bebantunya sama sekali. Dikira dia itu Tuan Putri." Zeky terus berkoar."Ambilin, Mas minum sanah. Haus nih, ditambah denger kamu ngomel-ngomel. Bikin kepala tambah panas," ucapku kemudian, sambil menatap dingin sorot matanya. Zeky mendengkus, sambil menghent
"Lampu kamarnya dinyalakan dong, Mas Ronald. Aku jadi tidak bisa melihat wajah tampanmu." desahnya sambil menggigit bibir bagian bawah. Kepala langsung panas, aku menoleh nanar pada sosok yang tertidur lelap disampingku. Air mata luruh begitu saja, nafasku sesak menahan dentuman yang bergejolak didalam dada. Sakit sekali, Tuhan. Tega kamu, Mas! Apa kurangku selama ini, aku selalu sabar menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu. Aku selalu pengertian disaat kau tidak memiliki uang, disaat Astrid membuangmu begitu saja aku selalu ada dan selalu setia mendoakan kese