"Ambil semua. Ambil!" Ibra melemparkan surat-surat penting yang dibutuhkan Nila ke hadapan Mada. "Ini juga, silahkan lo ambil!" Dia juga melemparkan beberapa gepok uangnya. Mereka ada dalam rumah. Mada berhasil membawanya ke sana berikut koper yang sudah diangkut. Ibra membuka wadah besar itu dan menyerahkan apa yang selama ini dia pertahankan. "Asal, biarin gue pergi!" "Lo gi-la." Mada hanya melihat sekilas apa yang barusan dilemparkannya yang kini berserak di bawah. Tertuju pada kamar yang membuka terdapat ibu Ibra. "Ibu lo ma-ti dan lo mau pergi?" Lelaki itu sudah memberitahu ibunya meninggal dan Mada sudah melihat. "Gue gak peduli. Gue akan mengurusnya sendiri!" "Urus Ibu lo di sini." "Jangan ngatur gue. Kalau lo mau Nila, silahkan ambil. Gue gak akan mempersulit lo lagi. Jadi biarkan gue bebas!" Ibra tidak mempedulikannya lagi. Menutup koper lalu beralih ke kamar ibunya. Hendak mengangkut tubuhnya ke dalam mobil. "Ibu lo pantas diurusi dengan layak di sini. Gue gak akan nge
"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi aku tidak bisa mencabut laporan." Ucapan tersebut keluar dari bibir Nila merespon permohonan suaminya. "Aku mohon, La ... Aku mohon." Ibra masih mengiba di bawahnya. Mada tidak suka melihat hal itu, meminta pihak tertentu menjauhkannya. Lelaki itu dibangunkan petugas hendak dikembalikan ke sel tahanan. "Sudah, Pak Ibra. Ayo, ikut kami." Ibra tidak menuruti kembali mendekati Nila, memeluknya erat. Semua dibuat terkejut karna ulahnya, termasuk Mada tampak kepanasan. "Mas, lepas.""Untuk terakhir, Nila. Bagaimanapun kamu masih istriku. Aku masih berhak menyentuhmu." Perempuan itu melirik Mada yang sangat cemburu. Di sisi lain dia merasakan iba terhadap Ibra. Mengapa saat sudah terpojok seperti ini baru bisa luluh? Bisa lembut? Dan penuh penyesalan. Jika saja dia mampu mengontrol emosi, tidak pelit, tidak kasar, ini semua tidak akan terjadi. Saat ini dia pasti menjadi istri setia, patuh terhadapnya. Lelaki ini hampir membuatnya m4ti dan sudah menyiksa berkal
"Papa bicara apa?" Mada tidak suka mendengarnya. Dia tahu Nila yang gerogi dan gugup, menjadi bertambah tidak percaya diri karena ucapannya dan terlihat sedih. "Benar kan apa yang Papa katakan? Dia perempuan yang tidak punya harga diri." "Nila perempuan baik-baik dan terhormat," balas Mada membelanya. "Perempuan baik-baik tidak akan selingkuh dari suaminya. Apapun kesalahan suami. Sedangkan dia berhianat dan mengobral tubuhnya. Mana ada terhormat kalau sudah begitu?" Irwan terus memojokkan Nila. "Yang ada rendahan," tambahnya berbicara menekan sembari menatapnya hina. "Nila tidak seburuk yang Papa kira. Nila memang salah, tapi itu juga karna saya, Pa. Saya yang sudah menggodanya. Nila tidak mengobral tubuhnya ke banyak pria. Dia melakukan itu hanya terhadap saya." "Dan dia bisa mengulanginya di kemudian hari setelah bersamamu, Mada." "Tidak. Semua tergantung suaminya. Papa tahu apa yang dilakukan suaminya sebelumnya bukan? Nila hampir mati sering mendapat kekerasan dan tidak di
Di basement Selin berjalan tergesa ke mobilnya. "Maafkan anak tante, Selin." Widya mengejar. Mencegah gadis itu masuk. Selin mencoba tersenyum meski hati diliputi amarah. "Gak apa-apa tante." "Nanti tante akan bujuk Mada lagi.""Terimakasih tante, Selin pulang dulu." Widya melepas kepergiannya dengan perasaan bersalah karna telah menyakiti gadis itu dengan sikap Mada. "Ayo, kita pulang juga, Ma." Irwan sudah ada di sisinya."Pa, kasihan Selin. Dia bahkan tidak sempat mengobrol dengan Mada, anak itu langsung pergi membawa serta Nila." Tidak mau lama berdebat, Mada memutuskan ke luar apartemen lagi, meninggalkan mereka semua. "Mada tidak mau, Ma." "Kita harus mencobanya lagi, Pa. Kapan lagi kita bisa mendapat calon mantu gadis cantik dan berasal dari keluarga terhormat seperti Selin? Dia sangat cocok untuk Mada." "Terserah Mama saja." Widya tersenyum Irwan memasrahkan semua. Lelaki itu mendekati mobil miliknya memasuki kursi kemudi, "Ayo naik.""Baik, Pa." Irwan menjalankan pelan k
Mada lega bisa meresmikan hubungannya bersama Nila. Dua orang itu saling pandang seraya tersenyum. Nila meraih tangannya mencium takzim sebagai suami. Dan Mada membalas mengecup kening penuh cinta kasih. Keduanya menoleh bersamaan saat pintu dibuka. Irwan dan Widya datang terlambat. Di saat status mereka sudah berubah menjadi sepasang suami istri yang sah. "Mau apa Papa ke sini? Nila sudah resmi menjadi istri saya." Tangan perempuan itu digenggam Mada seolah berkata tidak akan bisa dipisahkan. "Kami menikah atas persetujuan Mama." Cepat Irwan melirik bed pasien dan membelalak. "Ka-kamu sudah sadar, Ayu?" tergagap menanyakannya dan rasa tak percaya. Dingin Rahayu menatapnya. "Jangan mengatur anakku, Irwan." Bicara pelan namun tegas. "Kamu tidak tahu siapa dia, Ayu. Dia bukan perempuan baik-baik." Irwan menunjuk Nila, menghakiminya lagi tanpa peduli sedang di mana. Dan tanpa peduli orang lain melihat. "Betul. Nila itu seorang janda yang dicerai suaminya karna berselingkuh dan jual
Nila membuka mata tepat saat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Melirik ke samping, tersenyum menatap lelaki tampan yang masih tampak pulas. Menyentuh pipinya, mengecup lembut dan lama, lalu menjauh sambil menahan senyum untuk tidak semakin mengembang lebar saking senangnya dia. Bisa tidur bersama dengan status sudah menjadi suami tanpa hawatir dosa lagi. Lebih dari itu, Mada adalah sosok pangeran gagah penyelamat hidupnya dari kekejaman orang lain. Nila hendak beranjak, tapi sekali lagi melihatnya. Sebelum benar-benar pergi dia memutuskan memeluk. Hangat terasa saat tubuh tanpa pakaian itu menempel. Kemudian menjauh lagi untuk membersihkan diri. Terkejut saat tangannya ditarik hingga tidak jadi berdiri. Jatuh duduk kembali. Menoleh pada Mada yang sudah membuka mata. "Mas?" "Mau ke mana?" tanyanya dengan suara serak has bangun tidur. "Mandi. Solat." "Nanti dulu. Sini baring lagi." Mada menepuk bantal di sisinya. "Enggak, Mas." Nila hendak beranjak tapi Mada menahannya lagi
"Memangnya Mama Mas setuju kalau ngadain resepsi pernikahan kita?" Dalam perjalanan Nila menanyakan hal tersebut. Masih ragu, bagaimana kalau Rahayu melarang? Dan jadi buruk sangka lagi, takut ibu mertua malu. Mada tersenyum dan menoleh. "Justru ini keinginan Mama juga." "Benar, Mas?""Ya, Sayang. Sebelum sama kamu aku bicarain ini lebih dulu dengan Mama." Mada ingat malam sebelum tidur, Rahayu mengobrol dengannya. Ingin mengetahui lebih banyak tentang Nila. Bagaimana awal mula bisa dekat, sampai menjalin hubungan di belakang suaminya. Mada menceritakan semua alasan dan tindakkan yang telah diperbuat, mulai memberi perhatian dan uang, sampai ... mencari-cari waktu mengajak berhubungan badan. "Anak Mama nakal." Dia sedikit menunduk menggaruk pelipis dan tersenyum tak enak saat mamanya mengatakan itu. Dia pun malu untuk menceritakan karna merupakan aib. Tapi, Rahayu memaksa, ingin tahu detail. "Namanya hilaf, Ma." "Hilaf kok berkali-kali. Itu bukan hilaf tapi nagih." Mada tertaw
"Pa, gimana? Mada malah akan merayakan resepsi pernikahannya. Mama menyayangkan sekali, kenapa dia harus dengan perempuan janda itu." Widya mengeluhkan lagi perihal putra tirinya tersebut. Masih tidak bisa menerima keputusan pemuda dewasa itu. "Anak itu, mentang-mentang memiliki warisan dari ibunya, jadi belagu." Irwan sama sangat menyayangkan. Bagaimana pun Mada anak kebanggaan baginya, wajar dia menginginkan nanti dapat pasangan lebih baik. Namun, baik versi dirinya dan Mada berbeda. Sangat bersebrangan. "Pa, kasihan Selin. Dia menginginkan Mada." Irwan duduk bingung menanggapi. Pernikahan Mada dan Nila sudah terjadi bahkan hendak dilaksanakan pesta, apa yang harus diperbuatnya lagi kalau sudah begini? Widya ikut mendaratkan tubuh di sisinya. "Pa, pokoknya Selin juga harus bisa menjadi istri Mada." "Mana bisa, Ma? Mada dan istrinya sudah menikah kantor, mau diapakan mereka?" "Buat Nila pisah, Pa." Pelan Widya katakan namun sangat berambisi untuk keduanya berpisah. "Tidak meng
Ketika membuka mata Nila sudah berada dalam kamar. Mengerjap melihat suami di dekatnya. "Kamu gak apa-apa?" Mada hawatir menggenggam tangan. "Pusing?" Nila mengangguk kecil. "Mual juga?" tanya mama mertua yang juga ada di sebelahnya. Dan mengangguk lagi. Rahayu tersenyum. "Sepertinya kamu hamil." "Hah?" Nila sedikit terkejut dan hendak bangun. Mada membantunya duduk. Menatap tersenyum berharap ucapan mamanya benar. "Coba ingat-ingat terakhir datang bulan." Nila terdiam termenung. Memang dia telat datang menstruasi. "Nanti kamu tes pek ya, biar jelas. Mada, nanti kamu beli alatnya.""Iya, Ma." Rahayu kemudian pamit membiarkan keduanya istirahat. Tidak lupa mengingatkan Nila untuk meminum air hangat yang dibawakan Mada di meja kecil samping ranjang. Dia lalu meminumnya. Mada memeluk dari samping. "Akhirnya aku bisa jadi ayah," ucapnya senang tak henti mengukir senyum. Setelah berbulan-bulan menikah dengan ihtiar sesering mungkin bisa membuahkan hasil. "Iya, kan, Sayang?" Nila ikut
"Jadi, Mas Ibra jatuh ke jurang saat dikejar polisi dan sekarang terbaring koma?" "Ya. Seperti yang kamu lihat." Nila memperhatikan lagi mantan suaminya yang terbaring lemah dengan sisa luka di wajah. Baru tahu dan baru melihatnya. Dia enggan mengingat lagi sosok itu dan benci. Mada mengajak ke sini setelah selesai membesuk teman kantor yang sakit. Nila bertahan di tempat saat Mada mengajak mendekat. Menggenggam tangannya erat serta menggeleng kuat. "Cukup, Mas. Kita pergi dari sini." Dia takut dan trauma dengan apa yang telah diperbuatnya. Mada memaklumi. Dia pun tidak memaksa. "Ayo." Berbalik mengajak ke luar ruangan. Menyusuri lorong bersama orang-orang yang berkepentingan sama di jam besuk. "Apa setelah sembuh Mas Ibra ditahan?""Ya. Setelah sembuh dibawa ke sel tahanan. Proses hukum terus berlanjut." "Syukurlah. Orang jahat seperti dia memang pantas membusuk di penjara." Nila berkata geram. Menyadari seemosi itu, Mada meraih tangannya. "Maaf, ya, harusnya aku gak usah ngaj
Irwan sangat berduka cita atas kepergian istrinya. Widya tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan, mengembuskan napas terakhir di ruang ICU. Kini jenazahnya sudah dikebumikan. "Ma ...," Putra mereka mengusap nisan bertuliskan namanya. Anak lelaki itu sangat terpukul atas kepergian mamanya. Anggota keluarga menghibur mengelusi bahu. "Sabar ... biarkan Mamamu tenang di alam sana. Masih ada Papamu." Adik tiri Mada itu tidak mendengarkan ucapan siapapun. Terus terisak di hadapan makam yang masih basah dengan taburan kelopak bunga segar di atasnya. Rahayu mematung melihatnya. Bersyukur dia selamat dari kecelakaan dulu. Sehingga masih bisa menemani Mada. Menyempatkan datang melihat akhir kehidupan wanita perebut suaminya dulu yang tragis. Membenarkan selendang hitam yang merosot di rambutnya juga menyentuh kaca mata, Rahayu kemudian berbalik. Irwan melihatnya mencegah. "Tunggu, Yu. Aku ingin bicara." Rahayu melepaskan tangan lelaki itu yang sembarangan menyentuhnya. "Katakan saja sekara
Gedoran di pintu mengejutkan Ibra. Mengehentikan aktifitasnya memagut mesra bibir Nila. Juga gerakkan di bawahnya. Lelaki itu tengah menikmati tubuh istri Mada ke tiga kalinya. Berdecak kesal. "Jangan ganggu gue!" teriaknya. Tidak ada suara lagi. Ibra pun melanjutkan kesenangannya sembari tersenyum menatap Nila sayang. Tetapi perempuan itu sebaliknya, sangat benci dengan mata sembab dan tatapan putus asa. Mual setiap mendengar desah dan erangan kenikmatan dari bibirnya.Tidak lama gedoran terdengar lagi kali ini lebih keras. Bahkan didobrak. Tiga orang masuk. Ibra yang merunduk terlena, sibuk mengecup dan mengecap ditarik tubuhnya hingga menyingkir dari Nila diseret turun. Nila menangis sangat malu tubuh telanj4ngnya kini dilihat banyak orang sementara tangan dan kaki terikat. "Lanc4ng kalian. Mengangguku!" Ibra marah kesenangannya dihentikan paksa. "Sudah cukup lo senang-senangnya, sekarang giliran kami," ujar salah satu seraya tersenyum menyeringai menatap Nila yang seketika pi
Ibra menyingkir selesai menuntaskan hasratnya. Begitu puas dengan durasi lama. Tidak seperti biasanya, karna dia pun meminum obat sebelumnya. Napas terengah sama seperti perempuan di dekatnya. Nila kembali menitikkan air mata saat diselimuti dan dikecup kening. "Terimakasih, Sayang." Ibra lalu memakai bawahan dan mengambil kemeja mengancingkan satu-satu hanya menyisakan kancing teratas yang dibiarkan. Lantas berdiri. Menghadap Mada. Tersenyum sinis melihatnya tidak berdaya terus menunduk dengan segala pesakitan. Mendekati dan menendangnya lagi hingga terjengkang. "Mass!" jerit Nila tidak tega melihatnya mendapat perlakuan buruk kesekian kali. "Kamu tega, Mas!" Marah terhadap Ibra. Sudah memakainya sepuas hati. Tapi masih juga menyakiti Mada. Lelaki itu menghadapnya lagi. Tersenyum dingin. "Kamu tidak usah pedulikan dia lagi Nila. Mulai sekarang kamu menjadi milikku. Akan selalu bersamaku. Dan kita ... bisa mengulang lagi yang tadi." "Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada har
"Nila?!" Mada pun membelalak menatapnya. Ternyata istri yang dia cari ada di sini. "Mas ...," Nila terus terisak-isak. Menyadari keduanya dalam keadaan terikat tidak berdaya. "So sweetnya saling mengelukan ... sudah seperti Romeo dan Juliet yang mau dipisahkan." Ibra berkata mengolok dan menyungging senyum tipis setelahnya. Mada memelototi menatap benci. "Sejahat ini lo sama gue," tekannya geram. Ibra maju membekap dua pipinya kuat mencengkeram. "Lo yang mulai. Lo yang pertama hancurin kehidupan gue. Gak usah berlagak sok dijalimi!" Bugh! Ibra meninju kencang wajah itu hingga terjengkang. Nila menjerit membuatnya menoleh. "Tolong, jangan sakiti Mas Mada ...," pintanya terus berurai air mata. Ibra menyerigai kecil dan muak mendengarnya. "Hei, mantan istriku. Kamu hanya kasihan padanya, tidak kasihan padaku? Sungguh, kamu pun tidak punya hati sama seperti dia." Ibra kali ini membekap pipinya. Nila memajamkan mata bersiap seandainya lelaki itu mau menghajarnya. Dulu pun dia sudah te
Mada menepikan mobil ketika menemukan penjual es jagung. Turun dan ikut mengantre karna ramai sekali pembali. Sampai dia mendapatkan dua cup minuman dingin itu. Satu untuknya satu untuk Nila. Istrinya sangat menyukai es rasa manis susu, gula dan keju ini. Setelahnya kembali dalam mobil dan pulang. Menenteng belanjaan es itu seraya tersenyum, membayangkan Nila akan senang dibawakan jajanan kesukaannya. Hingga tiba di depan rumah. Membuka pintu dengan kode yang sudah hafal di kepala. "Sayang aku pulang." Mada meletakkan dua cup minuman itu di meja. "Aku bawain es kesukaan kamu," ujarnya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Melihat sekitar tidak menemukan Nila. Lelaki itu kemudian mencari ke ruangan lain. Heran karna biasanya Nila akan datang menyambut saat pulang. Tapi kali ini tidak ada. "Sayang?" Dicari di semua kamar tidak ada. Rumahnya sepi. Dia tidak tahu saat ini istrinya sedang bersama Ibra. Di suatu tempat. Dengan kondisi tangan dan kaki terikat di kursi dan mulut ditutup lakban
"Mau, dong." "Mau apa?""Mau yang lebih." "Apaan sih, Mas?" Nila berhenti mensecroll media sosial di ponselnya. Menatap suami serius tapi juga bingung. "Mau lanjutin yang tadi." Seketika dia menepuk kening pelan dengan jari-jari tangan dan menahan senyum geli. "Mas, kita lagi di jalan loh." "Gak apa-apa lakuin di mobil." "Gak. Gak." "Sayang, pliiiss," pintanya memelas. Nila melengos pada jendela menahan senyum lagi. "Salahmu sudah menggodaku." "Kan aku cuma cium." "Tapi aku jadi ON setelahnya." Mada menarik satu tangannya menempelkan di bawah perut. Di balik celana bahan, miliknya sudah mengeras dan tampak menggembung jadinya. Gara-gara Nila menciumnya demi membuat Selin kepanasan. "Igh, Mas." "Berasa kan?" "Nanti saja di rumah." "Mau sekarang. Belum pernah kan? Di mobil?""Mas, nanti kita bisa digrebek karna mobil goyang!" "Ya cari tempat sepi dan gelap biar gak ketahuan." "Enggak ah." Mada tidak mengatakan apapun lagi. Terus mengemudi. Nila pun menjadi tenang dan la
Irwan dan Widya berada di depan apartemen. Mereka hendak masuk. Pintu langsung terbuka setelah memencet password. "Sepertinya tidak ada siapa-siapa, Pa. Pantas kita tekan bel juga enggak ada yang bukain." Sebelumnya mereka memencet bel berkali-kali, namun tidak ada orang yang membukakan pintu. Irwan lalu menekan PIN lama dan ternyata bisa. Mada belum mengganti password rumah masih seperti dulu. Sehingga mereka bisa masuk. "Mantan istrimu juga gak ada kayaknya, Pa." Widya sudah memeriksa kamar tidak menemukan siapa-siapa. "Kita gak jadi dong, Pa, ngobrol sama Ayu. Gak jadi ngasih tahu sesuatu." Perempuan itu duduk. Dari dalam tasnya mengeluarkan poto-poto Nila yang sudah direkayasa sedang bersama laki-laki lain. Tampak sedang mesra dalam ruangan. Mereka mau menebar racun fitnah gambar untuk membuat keruh rumah tangga Mada. Irwan merebutnya. "Kita taruh saja di kamarnya. Juga di kamar Mada." Lelaki itu beranjak. Memasuki kamar Rahayu. Menaruh gambar itu di bawah bantal. Lalu keluar