"Apa kau tidak menungguku selesai bekerja?" tanya Dominic seusai mereka santap siang bersama.Janna mengemas wadah makanan kembali. "Tidak, Jenderal. Aku masih ingin melanjutkan rajutanku. Aku mengisi waktu luang.""Kau merajut untuk siapa?" tanya Dominic seakan-akan berharap ada kejutan untuknya."Untuk anak ini nanti, ia pasti lucu bila mengenakan rajutan buatanku." Janna tersenyum membayangkan peristiwa masa depan.Dominic seperti tersihir menatap paras sumringah Janna. "Apa kau telah menerima pernikahan ini?" selidik Dominic, tanpa mempertimbangkan perasaan istrinya.Janna lekas menengok ke arah Dominic sembari melepas usapan di perutnya. "Aku tidak mengatakan begitu, Jenderal."Dominic mengangguk, menerima ucapan Janna yang sesuai kebenaran hatinya. Ia memaknai Janna belum sampai di tahap penerimaan, sama seperti dirinya."Aku pulang, Jenderal."Dominic membuntuti Janna dari belakang. "Mengapa Jenderal mengikuti?" tanya Janna di depan pintu."Hanya ingin mengantarkan sampai di ha
Acara pisah sambut kepala ilmuwan kesultanan Yagondaza tiba pada harinya. Malam itu, banyak tamu negara yang datang untuk mengucap salam perpisahan dan menyambut kepala ilmuwan yang baru."Saya bangga selama tiga puluh lima tahun mengabdi sebagai ilmuwan di kesultanan Yagondaza. Dan sekarang, saatnya menyerahkan tanggung jawab pada putri semata wayang saya, Yanata Tan. Mari kita sambut...."Semua mata tertuju pada seorang wanita yang berjalan anggun dari arah tangga ulir seberang Swayata berdiri. Semua mata berdecak kagum lantaran kepala ilmuwan baru dengan paras cantiknya lebih cocok menjadi seorang model atau pemain drama.Yanata turun dengan senyum memikat, setiap lelaki memuji penampilan elok Yanata, tidak terkecuali Dominic. Janna sampai mendelik mengitari ruangan, seluruh tamu pria menunjukkan hal yang sama."Yanata!," seru Swayata disambut tepuk tangan meriah para undangan. Yanata berjalan mendekati Swayata lalu berdiri di samping ayahnya. Kemudia, is melakukan penghormatan pad
Suasana hening menyelimuti sarapan Janna dan Dominic. Sesekali Dominic melirik Janna yang makan dengan lahap, ia mengamati porsi ekstra di wadah makanan Janna.Setidaknya Janna masih bersedia memberi nutrisi untuk dirinya dan calon anak mereka, sekalipun suasana hatinya mungkin sedang tidak baik-baik saja.Dominic mendengkus seusai suapan terakhirnya selesai. Ia mendaskan air mineral di cangkir kecil lalu menambah dan meneguk hingga kering.Perilaku itu mendapat perhatian oleh Janna, ia mengerling ingin tahu apa yang terjadi pada Dominic. Ini masih pagi, tetapi Dominic tampak seperti orang kelelahan."Sebelum aku pergi, kita perlu bicara," ucap Dominic seraya berdiri dan menaruh serbet makan satinnya dengan hentakan ke meja.Dominic meninggalkan meja makan, tinggallah Janna yang menduga-duga perihal apa yang akan dibicarakan oleh Dominic pada pagi yang cerah ini.Janna mencari Dominic ke ruang kerjanya, akan tetapi pria itu tidak sedang berada di sana. Ke mana Jenderal, tanyanya dalam
Dominic ingin mendalami maksud Yanata untuk menyebarkan wabah ke negara tempat kesultanan akan memperluas daerah kekuasaan."Bila kesultanan melakukan ini, usaha militer besar-besaran tidak dibutuhkan sebab wabah itu bekerja dengan sendirinya. Yang kita persiapkan adalah penangkalnya di pertengahan wabah merebak," kata Yanata meyakinkan Dominic. "Menggunakan wabah akan memakan korban jiwa yang besar, Yanata," komentar Dominic. "Ah, Dominic. Bukankah bila berperang hasilnya tetap akan ada korban jiwa?"Dominic sedikit gelagapan. "Ya... tetapi tidak semua orang akan menjadi korban. Bila wabah merebak, bayi & anak-anak pun akan menjadi sasaran. Dan, sepertinya itu tidak manusiawi," cetus Dominic keberatan.Yanata tertawa mendengar Dominic berbicara soal kemanusiaan saat pria itu punya pikiran memerangi negara lain."Maksudmu, kau ingin menyelamatkan anak-anak Mosakigo dan negara tetangga, sementara ayah dan ibunya dibunuh oleh militer melalui perang senjata? Apakah itu manusiawi? Aku r
Dominic mendiamkan Janna akibat tudingan tidak berdasar yang dilayangkan Janna kepadanya. Pria itu setidaknya mengerti karakter Janna yang terbuka mengemukakan setiap isi pikirannya tanpa penyaring.Namun, kali ini ia merasa diteror akan sikap yang tidak dilakukan sama sekali dan tuntutan Janna agar dirinya harus menepati janji memberi anaknya kepastian menjadi seorang kepala militer melanjutkan karir militer Dominic."Aku bertanya kepadamu, kau tidak ingin aku memiliki anak dari perempuan lain atau tidak ingin ada perempuan lain menjadi istriku?" cecar Dominic tegas, mereka masih terlibat percakapan sengit usai makan malam.Janna diam, ia bingung menanggapi pertanyaan Dominic. "Apa kau ingin menjadi satu-satunya istriku?" tanya Dominic lagi membungkam Janna yang awalnya tidak gentar menyerukan firasat."Kau telah menerima pernikahan ini?" Dominic lagi-lagi menembakkan pertanyaan yang sulit ditanggapi oleh Janna.Mereka sebenarnya telah siap untuk beristirahat malam, akan tetapi pikir
Pagi hari Janna lebih banyak diam, wajahnya cenderung murung. Dominic mengamati ada hal memengaruhi suasana hati Janna yang Dominic tidak bisa terka itu apa."Apa kau ada masalah?" tanya Dominic usai mereka sarapan. Janna hanya menggeleng kemudian berlalu dari hadapan Dominic. Pria itu mengikuti ke mana Janna pergi, ternyata ia mengerjakan rutinitas hariannya merajut untuk calon anak mereka.Di akhir pekan, Dominic memutuskan tinggal di rumah putih. Ia menghabiskan waktu di ruang perpustakaan mempelajari kitab peperangan turun-temurun milik militer kesultanan. Selang beberapa waktu, terdengar suara pelayan yang mengabarkan ada tamu yang ingin menemui Dominic. "Siapa?" tanya Dominic."Nona Yanata Tan."Merasa tidak memiliki janji dengan Yanata, Dominic menyuruh pelayan untuk meminta Yanata bersabar di ruang tamu. Dominic membereskan kitab peperangan kesultanan kembali ke dalam rak."Apa gerangan yang membawamu ke mari? Bukankah kita baru bertemu?" tanya Dominic saat ia telah menjump
"Mengapa kau memikirkan orang lain di saat kondisimu gawat seperti ini?" Dominic mengernyit heran. Ia duduk di bangku sebelah ranjang pasien."Nona Yanata terlihat senang bersama Jenderal."Dominic berdecak kesal."Jangan ulangi lagi berkunjung ke kandang hewan buas selagi aku tidak bersamamu. Singa itu telah ku pindahkan."Janna menatap suaminya, ingin memahami maksud dibalik kalimat bernada kecemasan itu."Aku tahu Jenderal sangat mengkhawatirkan janin dalam kandunganku. Maaf, aku tadi gegabah." Paras Janna berubah sendu, selain mengingat peristiwa lalu, ia pun tersadar kalau Dominic hanya memerhatikan jabang bayi dalam rahimnya."Setelah ini, kemana pun kau pergi harus ada yang menemanimu. Ini perintah dan wajib dilaksanakan."Usai mengatakan hal itu, Dominic keluar dari ruang rawat.Tinggallah Janna yang membeku dalam kesepian hati.Tidak lama kemudian, ia mengulas senyum dan memberi sentuhan lembut di perutnya."Maafkan Ibu, Nak."Usai mengurus keperluan Janna, Kana dan Mala masu
Janna terpaksa harus berbaring karena kram dan nyeri perut merembet sampai ke kakinya."Saya harap Nyonya bertahan di ruangan untuk pemulihan. Semua untuk kebaikan Nyonya dan bayi dalam kandungan," ingat medikus dengan paras sedikit kesal lantaran menilai Janna keras kepala.Janna mengerti makna raut medikus, ia pun tidak membenarkan diri, sekalipun merasa bukan seratus persen kesalahannya."Baik. Terima kasih," ucapnya pendek.Bak memberi semangat pada janin, Janna mengusap-usap perutnya. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada darah daging yang masih butuh waktu beberapa bulan lagi untuk hadir ke bumi.Dominic masuk ke ruang rawat Janna. "Kau masih harus berada di fasilitas kesehatan sampai waktu yang belum diputuskan medikus."Janna yang berbaring menatap malas pada Dominic. Pria itu tidak menyampaikan perkataan maaf usai menyerang Janna dengan kata-kata kritik."Aku ingin istirahat, Jenderal," pinta Janna setelah beberapa saat suasana hening menyelimuti mereka berdua.Tidak ada nia
Dengan anggun, Janna berjalan di acara undangan Sultan Bayezidan. Ia tidak ragu menaruh jemarinya di lengan Dominic. Senyum tak lekang dari paras cantiknya. Busana pilihan Dominic melekat indah pada tubuh ibu berbadan dua yang tak lama lagi akan berjumpa dengan si buah hati."Tanganmu dingin," ucap Dominic menyentuh jemari sang istri. Janna berusaha melepas, akan tetapi Dominic mengenggam dengan erat.Senyum Dominic menandakan kalau pria itu tengah menggoda istrinya, Janna tidak mau jatuh dalam pesona suami yang kerap bersikap sesukanya."Sepertinya ada yang tidak rela," bisik Janna melirik sekilas perempuan yang berdiri di samping sultan.Sultan Bayezidan dan permaisuri menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, sesekali sorotan tajam diarahkan pada Janna dan Dominic. Mereka pun berhadapan lalu memberi hormat pada sultan dan permaisuri. Hanya saja, permaisuri sengaja memalingkan wajah saat Janna tersenyum padanya."Keberhasilan militer Kesultanan Yagondaza pada misi ra
Sandama menatap iba pada menantu satu-satunya yang tengah sibuk mengusapi perut besarnya. Ia seorang ibu, sekalipun Janna terlihat baik-baik saja, Sandama tahu Janna menyembunyikan perasaan terdalamnya."Apakah kau cemburu pada Yanata?"Janna tersentak hingga menghentikan elusan pada perutnya. Sedetik kemudian, Janna tersenyum pada Sandama."Ibu, telah ku katakan masih sulit ada perasaan seperti itu di antara kami."Sandama memicing, memikirkan sesuatu yang lain."Alasanmu meninggalkan Dominic setelah melahirkan tidak kuat bagi ibu dengan alasan keselamatan Dominic. Dia kepala militer, bukan orang biasa."Janna menurunkan pandangan, tatapan menyelidik Sandama membuatnya gentar. Namun, ia enggan mengatakan sesuatu. "Janna, perpisahan tidak dibenarkan di kesultanan, kecuali pihak yang meninggalkan bersedia tidak terlibat lagi dalam kehidupan pihak yang ditinggalkan di masa depan. Ibu harap kau tahu konsekuensinya."Janna tertawa kecil mengingat sikap Dominic terhadapnya dari awal perni
Sembari menyentuh perut yang semakin membesar, Janna duduk di tepi ranjang tidurnya. Ia mengelusi calon bayi yang masih meringkuk di dalam.Air mata tak kunjung berhenti menandakan kesedihan Janna yang tak bisa diungkapkan pada siapa pun.Merasa sendiri dan kesepian menjalani hidup, Janna ingin memutuskan pilihan terbaik buat dirinya di masa depan.Merapikan penampilan, Janna pergi ke markas besar tempat suaminya bekerja, ia ingin mencari tahu informasi tentang kakaknya.Tiba di sana, Janna mencari seseorang yang sempat dilihatnya dalam tugas membebaskan Yanata saat itu. Dia adalah bawahan Dominic."Bisa kau memberitahuku tentang Allan Braun?"Janna masuk ke ruangan perwira tinggi itu."Nyonya?" Pria itu berdiri menyambut kedatangan istri dari alasannya."Silakan duduk," tawarnya."Tidak perlu. Aku hanya sebentar." Janna bersikeras berdiri."Bisa kau beritahukan aku kabar Allan Braun?" Janna butuh informasi yang akurat.Perwira tinggi itu hanya diam menimbang jawaban yang harus disamp
Pembebasan Yanata berhasil dilakukan tim prajurit khusus kesultanan. Dominic tidak sampai turun tangan, ia hanya mengirimkan seorang negosiator di antara para prajurit. Yanata langsung di bawa ke pusat fasilitas kesehatan untuk mendapat perawatan. Dominic tiba beberapa waktu kemudian bersama Swayata Tan. Paras sendu seorang ayah menyiratkan kemarahan sekaligus kesedihan. Dominic menepuk pundak Swayata yang menatap putri kesayangan yang sedang tertidur lelap."Bersyukurlah, ia baik-baik saja.""Mengapa kau tidak menyerang pemukiman Royusha? Malah mengirim negosiator?" tanya Swayata tanpa memandang Dominic.Dominic terganggu dengan pertanyaan itu. Ia berdehem untuk menormalkan situasi pikirannya. "Itu bukan urusanmu, Pak Tua. Yang penting, Yanata diselamatkan oleh prajuritku."Selang beberapa waktu, Swayata pamit undur diri. Semakin lama di sana, kesedihan membuatnya ingin murka.Tinggallah Dominic bersama Yanata, ditatapnya dengan lekat wajah teman masa kecilnya itu. Terdapat gores
Janna gelisah usai mencuri dengar rencana militer Kesultanan Yagondaza akan menyerbu pemberontak Royusha yang menyembunyikan keberadaan Yanata. "Apa yang akan terjadi pada Allan?"Pagi hari itu dilalui Janna dalam kecemasan di dalam kamar, ia sibuk berlalu lalang memikirkan rencana Dominic. Pria itu tidak dapat dihentikan.Namun, Janna masih ingin berjuang untuk kakaknya sekalipun ia telah melakukan kesalahan besar sebelumnya."Kana, Mala, katakan pada prajurit, kita ke markas besar." Janna menemui pelayan di depan kamar.Keduanya memberi hormat lalu melakukan sesuai perintah.Dalam perjalanan, Janna melihat sekumpulan prajurit berjalan menuju keluar dari areal markas. Ia mengamati apakah suaminya ada di sana, ternyata tidak."Percepat kereta!" perintah Janna.Janna gegas turun dari kereta dibantu Kana dan Mala. Sambil mengangkat gaun kebangsawanan stratum Armyasa, Janna masuk menuju ruangan Dominic.Ia meminta Kana dan Mala tidak perlu mengikuti sampai ke dalam.Tiba di pintu dengan
Tubuh Janna bergetar hebat, sorot mata merah memandang tajam penuh amarah padanya."Ma... ma... af, Jenderal," lirih Janna mengatupkan tangan sembari menggeleng-geleng dengan deraiuair mata."Kau mencoba mengkhianatiku?" Dagu Janna diraih lali dicengkram Dominic.Janna merasakan aura kemarahan Dominic menghukum dirinya saat ini."Permintaanmu aku penuhi bukan agar kau bisa mengelabuiku dan prajurit Pamdos, Janna."Dominic menghempas wajah Janna hingga terlepas dari cekalannya."Katakan sesuatu!" Dominic berteriak tepat di hadapan Janna yang semakin ketakutan."A... aku mohon maaf, Jenderal."Geram rasanya Dominic mendengar permintaan maaf Janna yang diutarakan berkali-kali."Bukan itu yang ingin ku dengar!" hardiknya keras dengan tangan mengepal."Katakan alasanmu menebar gas penidur lalu mengendap-ngendap masuk ke gudang persenjataan."Rasa bersalah menembus hati Janna, ia teringat beberapa permintaan telah dipenuhi Dominic, padahal pria itu biasanya menolak desakan Janna."A... aku
Dominic memperbolehkan Janna pisah kamar dengannya. Pria itu melunak dalam menghadapi istrinya. Nasihat Swayata diikuti Dominic agar hidupnya pun bisa tenang tanpa perlawanan dari Janna."Apakah Nyonya sudah tidur?" tanya Dominic sewaktu berpapasan dengan Mala.Pelayan Janna itu menunduk lalu menjawab sesuai pesan nyonyanya.Dominic berjalan menuju pustaka sekaligus ruang kerjanya. Ia ingin menghabiskan malam mempelajari keadaan persembunyian Royusha yang diperoleh dari sumber yang dipercaya. Berat mata Dominic padahal belum lama ia duduk di ruang kerja. Sewaktu akan berdiri, Dominic terduduk lantaran kantuk yang menyerang.Mengendap-ngendap Janna berjalan menyusuri kediaman Dominic. Ia memakai penutup wajah lembab untuk menghindari terkena gas penyebab rasa kantuk mendera.Janna bisa melihat pelayan dan prajurit tertidur pulas. Sengaja Janna mendatangi kamar kerja Dominic dan ia melihat suami tertidur dalam keadaan duduk.Kesempatan itu digunakan Janna untuk pergi keluar dari kedia
Janna terbangun tanpa ada Dominic di sampingnya. Usai menyenderkan punggung, pandangan Janna menyapu ke sekeliling ruangan.Sama sekali tidak ada tanda-tanda Dominic ada di sana. Janna mendengkus lalu menarik napas panjang dan membuang perlahan.Apa yang Janna harapkan?Janna turun dari ranjang lalu menggeser pintu sehingga Kana dan Mala yang telah bersiap di balik menghadap pada Janna."Selamat pagi, Nyonya," sapa mereka sembari memberi hormat. "Bantu aku membasuh diri."Kana dan Mala melakukannya dengan senang hati. Bila Janna tidak mengeluarkan suara, Kana dan Mala pun tidak akan bersuara. Apalagi mereka tahu kalau Janna memilih pisah kamar dari suaminya. Bukannya tidak tahu, Jenderal kesayangan semalam baru dari kamar nyonya mereka, tetapi tidaklah sopan menanyakan hal pribadi pada tuan yang dilayani."Apakah Jenderal telah pergi ke markas?" Pertanyaan pertama Janna setelah sedari tadi membisu.Kana dan Mala saling berpandangan sembari tersenyum penuh arti."Sudah, Nyonya," jawa
Belum lagi matahari terbit, Janna bangun lalu duduk di tepi ranjang. Ia menoleh ke belakang, menatap gersang Dominic yang tertidur lelap seperti seorang bayi dalam temaram cahaya.Pria yang sekehendak hati bila ingin menghabiskan malam bersamanya. Janna menyentuh perut yang mulai membesar, hentakan kecil bisa dirasakan. Anaknya memberi sinyal bahwa ia baik-baik saja dalam rahim Janna.Perlahan Janna turun dari ranjang agar tidak membangunkan Dominic. Ia memungut pakaian untuk menutupi tubuh yang kedinginan.Langkah kaki Janna menuju jendela, tirai disingkat sedikit hingga sinar rembulan menerpa masuk ke kamarnya. Jauh Janna memandang kedepan dalam kegelapan, yang terbingkai adalah paras Allan Braun, kakak kesayangannya. Terngiang-ngiang ucapan Dominic tentang penculikan Yanata Tan oleh Allan. 'Apa yang kau lakukan, Kak?' Janna hanya bisa mengucapkan itu dalam hati.Janna tahu Allan akan berurusan dengan negara bila mengusik stratum yang lebih tinggi. Dampaknya akan meluas pada pend