MARTIN AND BIANCA- LET ME CALL YOU ‘BEE’.
BIANCA mengamati kakaknya yang tiba-tiba muncul saat ia dan seseorang bernama Martin tengah berbincang.
“Bee?” pria itu menyentuh bahu Bianca dengan possessive. “Siapa dia?” tanya Ben possessive. Ini kali pertama Bianca melihat Benedict menampilkan wajah masamnya di hadapan kenalannya.
“Dia…” Bianca sedikit kebingungan mengungkapkan siapa Martin. Mereka baru saja bertemu dan rasanya mustahil menyebut Martin sebagai temannya. Ia tidak mau dianggap sok kenal oleh pria asing itu. “Kami baru saja bertemu, Ben. Kurasa aku bisa menyebutnya kenalanku.” Ujar Bianca seraya beranjak dan membiarkan kakaknya duduk.
Benedict mengamati laki-laki bernama Martin itu. Keningnya terlipat sedemikian rupa. Dalam benaknya, Martin seperti pernah melihat Martin di suatu tempat, tetapi ia lupa di mana tepatnya. Dengan gerakan yang cukup cepat, Martin mendudukan pantatnya di atas kursi, membiarkan adiknya berdiri di sisinya. “Namaku Martin.” Pria asing itu mengulurkan tangannya.
Demi norma kesopanan, Benedict menerima uluran tangan Martin, menjabatnya. “Ben. Kakak Bianca.”
“Senang berkenalan denganmu, Ben. Kuharap kau tidak keberatan aku menghampiri adikmu.”
Benedict menggeleng. “Selama kau tidak macam-macam dengannya, kurasa aku tidak akan melarang kalian berteman.”
Tawa sumbang keluar dari mulut Martin. “Aku bertemu adikmu siang ini. Dia memberiku es krim dan aku hendak menggantinya dengan minuman. Aku tidak menyangka bertemu dengannya di sini.”
Bendict menoleh untuk melihat wajah adiknya. Bianca memang terlihat biasa saja dengan kehadiran Martin, berbeda dengan pria itu yang sepertinya cukup antusias dengan pertemuan mereka. Semua itu karena Jullio. Jika dilihat secara detail, Martin memiliki perawakan yang tidak kalah menarik dengan Jullio, tetapi Bianca sepertinya tidak bisa mengalihkan dunianya dari Jullio. “Apa kita harus pulang sekarang, Bee?”
“Terserah kau saja. Kau yang mengajakku kemari, bukan?” Bianca mengedikkan bahu, acuh. “Aku ikut denganmu kalau kau pulang.” Gadis itu melihat keluar jendela, mencari sesuatu.
“Tolong pesankan aku minuman. Aku akan mencari kursi untukmu.” Pinta Benedict.
“Ya.” Bianca lalu membawa kedua kakinya ke meja bartender. Sesampainya di sana, gadis itu lalu duduk dan memesan minuman. Hari ini, moodnya kembali memburuk karena Jullio tidak menemuinya. Seandainya saja Jullio mau sedikit membuka hati untuknya, mungkin Bianca tidak akan merasa sehancur ini sekarang.
“Selamat sore, Nona cantik. Ada yang bisa kubantu?” tanya sang bartender yang tak lain bernama Kevin.
Bianca mendongak, menyunggingkan senyum terbaiknya kepada Kevin. “Satu tequila, tolong.”
“Baiklah, tunggu sebentar.” Kevin berbalik untuk mengambil minuman yang dipesan Bianca. Ia meracik minuman tersebut di meja agar Bianca menyaksikan keahliannya. Namun, bukannya tertarik dengan atraksi Kevin, Bianca justru acuh dan memilih bermain dengan ponselnya. Bianca memeriksa jadwal pemotretan selama seminggu ke depan. Kali ini, ia tidak bisa mangkir seperti hari-hari sebelumnya. Bianca harus konsisten jika tidak ingin mendapatkan banyak denda dari kecerobohannya.
“Minumanmu, Nona.” Kevin mendorong gelas ke meja Bianca. Untungnya saat itu tidak banyak orang yang sedang mengantri untuk memesan minuman, jadi Kevin bisa berlama-lama memandangi Bianca.
“Terima kasih.” Bianca kembali tersenyum, kali ini senyuman yang cukup tulus untuk ramah tamah yang diberikan oleh Kevin.
“Ngomong-ngomong, Martin sudah memesan minuman untukmu. Kenapa kau memesan lagi?” Kevin mengalihkan pandangannya pada Martin dan laki-laki yang kini duduk bersamanya.
“Kakakku yang meminta ini.” Bianca menjawab lemah. “Kau mengenal Martin?”
Kevin mengangguk singkat. “Dia teman lamaku. Kami baru saja berjumpa lagi akhir-akhir ini.”
“Oh.” Bianca melingkarkan jemarinya di gelas tequila kakaknya. “Ini pertama kalinya aku dan kakakku datang ke bar ini. Katanya, dia hendak bertemu dengan temannya. Ben mengajakku karena kasihan melihatku di rumah sendiri.”
“Sepertinya kalian sangat dekat.” Komentar Kevin.
Ujung bibir Bianca terangkat. “Begitulah. Dia satu-satunya saudara yang kumiliki. Jika aku tidak punya kesibukan, Ben selalu menemaniku atau mengajakku pergi dengannya.”
“Kenapa kau tidak pergi dengan teman-temanmu?” tanya Kevin penasaran.
“Aku tidak punya banyak teman.” Jawab Bianca singkat.
“Bolehkan aku menjadi temanmu?” pinta Kevin seraya mengulurkan tangannya. “Namaku Kevin.”
Bianca tertegun. Hari ini, ada dua laki-laki yang mengajaknya berkenalan. Seharusnya itu menjadi hal yang cukup biasa baginya. Bianca biasa dikelilingi oleh pria-pria tampan di sekelilingnya, tetapi Martin dan Kevin bukan pria dari lingkungannya mendekatinya hanya demi popularitas semata. Bianca tidak tahu siapa mereka berdua. Ia juga tidak yakin mereka berdua mengenalnya. “Bianca.” Sahut Bianca seraya menjabat tangan Kevin.
“Jadi, Ben kakakmu?” tanya Kevin sekali lagi. “Aku hanya ingin memastikan kau dan Ben tidak menjalin hubungan khusus.”Pertanyaan Kevin sontak menimbulkan tawa dari Bianca. Lagi-lagi banyak yang salah sangka dengan hubungannya dengan Benedict. “Demi Tuhan, dia kakak kandungku. Tapi, tak jarang dia mengaku sebagai kekasihku. Jika lain kali dia mengaku kalau dia adalah kekasihku, tolong jangan percaya padanya.”
Mau tak mau, Kevin ikut tertawa. “Apa dia sering melakukannya?”
“Lebih sering dari yang kaupikirkan.” Bianca tersedak air liurnya sendiri. Gadis itu terbatuk selama beberapa kali. Di depannya, Kevin menyodorkan sebuah gelas berisin air minum. “Apa ini?” tanya Bianca sebelum meminumnya.
“Air putih. Tenang saja.” Kevin mencoba meyakinkan Bianca kalau air itu tidak berbahaya untuknya.
Bianca meneguk air yang dberikan oleh Kevin. Pria itu benar, hanya air putih biasa. Bianca terlalu sering berpikir buruk dan mengantisipasi setiap tindakannya, sehingga ia terbiasa berhati-hati dalam memutuskan sesuatu. Bahkan saat menerima minuman dari orang asing. “Terima kasih, Kevin. Aku akan kembali pada kakakku.”
“Boleh aku minta nomor teleponmu?” tanya Kevin sebelum Bianca beranjak.
“Lain kali kalau kita bertemu, aku akan memberikannya padamu.”
Kevin mengulas senyum. “Baiklah, semoga harimu menyenangkan, Bianca.”
“Kau juga.” Bianca membawa tequila kepada kakaknya. Gadis itu meletakkan gelas tersebut di meja, tempat Ben dan Martin sedang asyik berbincang. Bianca tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang sedang kedua pria itu biacarakan. Saat ini, ia hanya ingin kembali ke rumah dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Apa kau buru-buru?” tanya Benedict pada adiknya.
“Tidak juga.” Jawab Bianca singkat. “Di mana temanmu? Apa dia sudah datang.”
“Sepertinya dia akan datang malam. Kau tidak bisa menunggunya sampai malam tiba. Jad, kurasa kau harus pulang terlebih dahulu.” Jelas Benedict.
“Baiklah.” Bianca mengambil tasnya. “Aku akan memesan taxi online kalau kau tidak bisa mengantarku.
“Martin akan mengantarmu.” Ujar Benedict lambat.
Mulut Bianca terbuka lebar hingga embentuk huruf O. Gadis itu menggunakan kedua matanya untuk bertanya kepada sang kakak sekali lagi. “Maaf?”
“Martin akan mengantarmu, Bee.”
“Aku tidak mau.” Jawab Bianca cepat. “Aku bisa pulang sendiri.” Bianca lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Hah? Bagaimana bisa kakaknya menyuruh orang asing untuk mengantarnya pulang? Bianca lebih suka pergi dengan transportasi umum dibanding dengan orang asing yang baru saja dikenalnya kurang dari dua puluh empat jam. Yang benar saja?
“Bee!” Benedict mengejar adiknya yang kini sudah berada di luar bar. Bianca terlihat tidak nyaman dengan idenya. Namun, itu semua ia lakukan demi melindungi adiknya. Berada di tempat umum bukanlah sesuatu yang baik untuk Bianca. “Kau mau kemana?” tanya pria itu seraya mencekal lengan adiknya.
“Pulang. Aku tidak mau diantar Martin. Kita tidak mengenalnya. Bagaimana-“ Bianca menghela napas. Ia melihat Kevin dan Martin berdiri tak jauh darinya Benedict. “Ben…” cicit Bianca.
“Kau akan jauh lebih aman bersama Martin, Bee.” Ujar kakaknya lembut. Benedict memahami ketakukan adiknya. Namun, setelah pembicaraan singkat dengan Martin, sepertinya ia bisa mempercayakan adiknya pada pria itu.
“Bagaimana kalau aku yang mengantarmu.” Kevin mengajukan diri. Pria itu tampak antuasias menghadapi Benedict.
“Maaf?” Benedict mengerutkan keningnya, ia berbalik untuk menghadap Kevin.
“Ya, bagaimana jika aku yang mengantar adikmu.”
“Bagaimana kau tahu kalau dia adikku?” Benedict mengajukan pertanyaan kepada laki-laki yang tak lain adalah bartender di tempat itu.
“Bianca yang mengatakannya.”
“Oh.” Benedict berbalik untuk menatap adiknya. “Kau mengenalnya, Bee?”
Bianca menghela napas sekali. “Kami baru saja saling mengenal.”
“Kalau begitu,” Benedict mengalihkan pandangannya pada Kevin. “Kau tidak boleh mengantarnya. Martin yang akan melakukan tugas ini.”
“Tidak, Ben. Aku akan pulang sendiri.” ucap Bianca lagi dan kembali berlari.
Benedict hendak mengejar adiknya, tetapi sebuah panggilan di ponselnya menghentikan langkahnya. Pria itu mengumpat lalu mengangkat panggilan tersebut. “Ya?” ujar Benedict.
Melihat Benedict tidak mengejar Bianca, Martin dan Kevin bergegas menghampiri gadis itu. Masing-masing dari mereka memegang tangan Bianca. “Kau mau kemana?” tanya Martin dan Kevin bersamaan.
“Apa yang kalian lakukan?” Bianca menarik tangannya kembali. “Lepaskan aku! Aku mau pulang.”
“Tidak.” jawab Martin dan Kevin serempat.
“Aku akan mengantarmu!” ucap Martin.
“Aku!” Kevin berusaha menarik tangan Bianca lagi.
“Astaga!” Bianca memijat pelipisnya. “Aku bisa pulang sendiri, Tuan-tuan. Jadi, tolong lepaskan aku.”
“Bee!” Kali ini, Benedict yang baru saja berlari dan terengah menghampiria adiknya. “Martin akan mengantarmu. Tidak ada bantahan.” Titahnya.
“Tapi, Ben-“
“Martin, tolong bawa adikku pulang.”
“Dengan senang hati.” Sahut Martin seraya mengulas senyum kemenangan. “Maaf, Kev. Sepertinya kali ini kau kurang beruntung.”
“Sialan kau!” Kevin meninju lengan Martin kuat-kuat hingga pria itu mengaduh kesakitan. “Tunggu pembalasanku.” Kevin berbalik sebelum mengatakan sesuatu kepada Bianca. “Senang bertemu denganmu, nona cantik. Lain kali, datanglah kemari kalau kau punya waktu.”
Bianca hanya mengangguk samar. Ia tidak tahu apa hubungan Martin dengan Kevin, tapi sepertinya mereka sangat dekat. “Sampai bertemu lagi, Kev.” Katanya seraya melambaikan tangan.
“Kabari aku kalau kau sudah sampai di rumah.” Benedict mengantar adiknya menuju mobil Martin. “Hati-hati di jalan.”
“Kau yakin?” tanya Bianca sekali lagi sebelum Benedict menutup pintu.
“Jika terjadi sesuatu padamu, kupastikan aku sendiri yang akan menghabisi Martin.”
“Kau bahkan tidak mengenalnya, Ben.” Cicit Bianca ketakutan.
“Aku menyimpan kartu identitasnya. Jangan khawatir.” Benedict mengusap lembut kepala adiknya. Pria itu lalu menutup pintu mobil Martin dan membiarkan Martin dan Bianca pergi. Benedict mempercayai Martin, entah karena apa. Yang pasti, ia hanya ingin yang terbaik buat adiknya.
**
Martin merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Pertama, ia bertemu dengan seorang gadis di taman. Gadis yang entah bagaimana berhasil mengangkat beban di hatinya. Selama ini, Martin berusaha mengalihkan rasa sakit yang menggerogoti dirinya dengan cara apa pun, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Dan entah bagaimana, gadis bernama Bianca itu, dengan caranya yang cukup sederhana mampu membuat Martin tersadarkan dari keterpurukannya.
Yang kedua, Martin yang semula hendak menemui Kevin dan membicarakan tentang pembukaan bar di luar kota kembali bertemu dengan Bianca di bar milik Kevin. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk kembali mendekati Bianca yang saat itu datang bersama kakaknya. Awalnya Martin mengira pembicaraannya dengan Benedict akan berakhir alot. Mengingat Benedict adalah kakak yang cukup protektif terhadap adiknya. Namun belakangan ia tidak menyangka ternyata Benedict mempercayainya.
Meskipun pada akhirnya Martin dan Benedict harus berusaha keras meyakinkan Bianca bahwa gadis itu harus ikut dengannya. Setidaknya itu setimpal dengan keberadaan Bianca di sisinya sekarang. Martin kembali melirik Bianca yang kini memandang keluar jendela. Ia berdeham singkat, mencoba berbincang dengan gadis itu. “Apa sebelumnya kau dan Kevin sudah saling mengenal?”
“Belum.” Jawab Bianca singkat.
“Oh…” Martin mengerem mobilnya saat mereka sampai di lampu merah. “Kukira kalian sudah saling kenal.”
“Aku heran kenapa kakakku mempercayaimu. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.”
“Apa kau pernah mengalami hal buruk sehingga kau dan kakakmu sepertinya terlalu berhati-hati dengan orang asing.” Saat itu, Martin tengah memusatkan pandangannya pada Bianca. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana gadis itu menjadi gugup hanya karena pertanyaan sederhananya. Martin menduga Bianca memang pernah mengalaminya.
“Tidak juga.” Jawab Bianca cepat. Terlalu cepat untuk sebuah pertanyaan yang tidak menguras otak.
“Ngomong-ngomong,” Martin mengulas senyum. “Terima kasih banyak.”
Mendengar ucapan terima kasih yang berlebihan dari Martin, sontak membuat Bianca tertarik. “Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa, kenapa kau berterima kasih denganku?” gadis itu menatap Martin lekat-lekat.
“Terima kasih kau sudah memberiku es krim.”
Dengusan keras keluar dari hidung Bianca. “Hanya es krim. Jangan berlebihan.”
“Es krim yang tepat saat cuaca panas. Kau menyelamatkan hidupku, Bee.”
“Jangan panggil aku seperti itu.”
“Asal kau tahu,” Martin kembali melajukan mobilnya. “Aku sedang berusaha menjadi salah satu orang yang dekat denganmu.”
“Alasannya?”
“Kau menarik.”
“Tidak semenarik yang kaupikirkan. Aku kacau.”
Martin tertawa. “Kalau gadis sepertimu dianggap kacau, bagaimana denganku?”
Sejenak, Bianca memikirkan kata-kata Martin. Pria itu benar, Martin memang jauh terlihat lebih kacau di banding dirinya siang tadi. Namun sekarang, Martin tampak jauh lebih baik. Bianca tidak tahu apa yang membuat Martin berubah sangat cepat, tidak mungkin semua yang terjadi pada pria itu karena dirinya, bukan? Astaga, ia terlalu percaya diri. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya saat melihat hal aneh pada diri Martin.
“Jauh lebih baik. Seperti yang kaulihat.” Martin menjawab asal.
“Apa yang terjadi padamu? Kau… tampak kacau tadi siang.”
“Dan aku terlihat baik-baik saja sekarang? Itukah yang hendak kau tanyakan?”
Bianca mengangguk, senang Martin bisa membaca jalan pikirannya. Jadi, dia tidak perlu repot-repot mengungkapnnya. “Aku akan menceritakan padamu rahasiaku.”
“Kalau kau keberatan, kau tidak perlu melakukannya. Lagipula, kita belum saling mengenal.”
“Tapi aku mau mengenalmu lebih jauh. Dan aku juga ingin memanggilmu ‘Bee’, seperti kakakmu.?”
“Oh, kau mau menjadi kakakku? Boleh.” Kata Bianca acuh.
Martin mengembuskan napas perlahan. “Bukan itu maksudku.”
“Lalu?” tanya Bianca. Sekarang, pikirannya sudah kembali pada Jullio sehingga tidak tertarik dengan apa pun yang akan dikatakan oleh Martin.
“Aku ingin menjadi salah satu orang yang dekat denganmu, Bee.”
“Sekali lagi, jangan memanggilku seperti itu.”
“Kalau kau mengijinkanku memanggilmu ‘Bee’. Aku akan menceritakan rahasiaku dan kenapa aku tampak sangat kacau.”
“Terserah kau saja.” Bianca memajukan bibirnya, membuat Martin ingin mengulum sepasang bibir merah muda itu.
Apakah akhirnya Martin sanggup menahan diri saat bibir Bianca sudah berada di mulutnya?
Astaga, khayalannya terlalu tinggi.
MARTIN AND BIANCA- I’M UGLY.MARTIN hendak menceritakan masa lalu yang membuatnya terluka sangat dalam. Ia merasa sudah saatnya ia berbagi kisah itu dengan salah satu orang terdekatnya, meskipun yang ia maksud saat ini adalah Bianca dan gadis itu sendiri sepertinya tidak peduli dengannya. Ketika Martin membuka mulutnya, Bianca justru berkata. “Jangan ceritakan apa pun padaku.”
MARTIN AND BIANCA- FALLING IN LOVEBIANCA menahan napas. Jika Martin menciumnya dan kebetulan Martin adalah orang asing baginya, ini akan menjadi ide paling gila di sepanjang hidupnya. Ciuman. Ya, Bianca telah menawarkan ciuman pertamanya untuk seseorang bernama Martin. Dan mungkin, ia akan menyesalinya nanti. Astaga, apakah dirinya sudah gila?
MARTIN AND BIANCA- SHOOTING STAR.MARTIN lega akhirnya ia bisa menemukan Bianca. Semula, pria itu sempat berpikir kalau ia kehilangan jejak Bianca. Lama ia mencari dalam kegelapan malam. Meski tidak seharusnya lampu taman dimatikan. Oh, ia sama sekali tidak tahu siapa yang memadamkan lampu tersebut. Rasanya semua itu teramat sangat kebetulan.
MARTIN AND BIANCA- MY WORK IS…BIANCA membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar memaksanya untuk segera kembali ke dunia nyata. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar yang cukup familiar. Tanpa ia sadari, senyumnya mengembang. Bianca bersyukur pagi ini ia bisa kembali membuka mata dan masih berada di kamarnya yang cukup nyaman. Sejak ia terlahir ke dunia,
MARTIN AND BIANCA- YOU MESSING UP MY LIFE.MARTIN meneguk air putih hingga tandas usai menghabiskan sarapan paginya bersama Bianca di rumah gadis itu. Bianca benar, tidak ada orang yang mencarinya. Semua orang di rumah itu sibuk dengan urusan masing-masing. Tadi pagi, Martin sempat melihat seorang laki-laki paruh baya keluar bersama seorang gadis muda dengan mobilnya. Martin menduga laki-laki itu adalah ayah
MARTIN AND BIANCA- DO NOT SEDUCE ME.BIANCA terpaksa mengajak Martin untuk ikut dengannya. Siang ini, ia harus melakukan pemotretan bersama salah satu brand pakaian terbaik di dunia. Dua minggu lalu, Bianca mungkin tidak akan pernah menyangka kalau ia akan mendapatkan kesempatan besar itu. Namun setelah mendapatkan kabar dari asistennya, akhirnya ia mempercayai ha
MARTIN AND BIANCA- OPIUMMARTIN menyapukan jemarinya di tulang pipi Bianca untk menghapus air mata gadis itu. Ia sudah terlalu jauh bertindak. Seharusnya Martin membiarkan gadis itu berkembang sesuai keinginannya dan membiarkan Bianca melakukan apa pun yang dia inginkan, tetapi ternyata Martin tidak sanggup melepasnya begitu saja. Martin tidak ingin melihat Bianca terluka atau disakiti oleh siapa pun. Ia tida
MARTIN AND BIANCA- THE YOUTH LOVE.BIANCA sekali lagi melirik ke arah Martin, pria itu kini duduk manis di sudut ruangan, terus memandanginya seolah tanpa berkedip. Menit-menit awal, Bianca merasa dirinya tidak terlalu grogi dalam menghadapi pemotretan kali ini. Ia sudah melewati begitu banyak photoshoot sehingga mustahil kali ini Bianca merasa seperti itu.
MARTIN AND BIANCA- A WISH.BIANCA merasakan jantungnya berdebar dua kali lebih cepat di banding sebelumnya. Ia menunduk, menghindari tatapan Martin. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu hingga nekat membawanya kemari. Bianca seketika gugup, padahal sebelumnya mereka pernah tidur bersama, pernah berciuman dan masih banyak hal lagi yang pernah mereka lakukan bersama. Namun kali ini, entah mengapa rasanya ia kembali merasakan Martin orang asing baginya. Semua itu karena Martin menolaknya. Penolakan itu membuatnya sangat malu. Bianca tidak tahu, kenapa ia begitu menginginkan Martin saat itu. Dan kenapa Martin tidak pernah mau menyentuhnya. Apakah ia seburuk itu?
MARTIN AND BIANCA-MY ATTITUDE.BIANCA berjalan mendekat pada sang nenek. Dari sudut matanya, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana Martin memandanginya dengan sedikit canggung. Gadis itu berhenti tepat di sisi sang nenek. Dan tiba-tiba saja, Bianca dilanda kecemasan. Ia takut Martin melakukan kesalahan yang menyinggung sang nenek. Jika hal itu terjadi, kemungkinan mereka tidak akan bisa berteman lagi. Sayangnya, Bianca masih belum siap jika harus melepaskan Martin saat ini.“Martin ingin membeli lukisan ini. Apa kau mengijinkan dia membawa luk
MARTIN AND BIANCA-A FRIEND.MARTIN menyugar rambut dengan frustasi. Setelah mendengar kisah Khloe yang menurutnya cukup mengharukan, kini gilirannya menceritakan tentang dirinya. Bukannya ia tidak mau, ia hanya… terlalu malu. Nenek Bianca melewati banyak hal yang lebih menyakitkan di banding dirinya. Namun, wanita itu tampak tegar menghadapi semuanya. Berbeda dengan dirinya yang selalu menyalahkan dunia atas apa yang menimpanya dan membenci orang-orang di masa lalunya. Martin merasa sama sekali tidak berguna. Selama berbulan-bulan ia hanya terpuruk, mengutuk hidupnya yang rumit dan dirinya yang terlalu bodoh.
SUPERMODEL. Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
MARTIN AND BIANCA-A PAINTING.BIANCA membuka kelopak matanya lebar-lebar. Hal pertama yang ia rasakan adalah sebuah lengan besar yang menindih perutnya. Ujung bibirnya terangkat hingga membentuk sebuah senyum simpul yang cukup indah untuk memulai sebuah hari baru. Satu tangannya terangkat untuk membeli kulit lembut yang menyatu dengan kulitnya itu. Semua ini nyata, bukan ilusi semata. Kembali ia memejamkan mata sesaat, menikmati hangat pelukan itu dan aroma maskulin yang menguar dari tubuh laki-laki yang selama ini dirindukannya.“Kau sudah ban
MARTIN AND BIANCA-A BRA!SATU-satunya yang Martin butuhkan saat ini adalah pengendalian diri. Setelah sekian detik yang cukup menggairahkan bersama Bianca dalam ciuman panas itu, Martin menyadari ia nyaris kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Perlahan Martin melepas kedua tangan Bianca, ia melepas sepasang bibir manis itu dan menatap gadis itu sesaat. Detik berikutnya Martin kembali mencium gadis itu. Semula ia pikir Bianca akan memberontak karena telah diperlakukan sedemikian rupa. Namun rupanya ia salah, Bianca justru mengalungkan kedua tangannya di leher Martin dan memiringkan kepala agar lebih nyaman.
MARTIN AND BIANCA-OUR WILD WORLDBIANCA merasakan pipinya memanas setelah mengucapkan, “Our wild world. Now, I’ll kiss you.” Ia mengutuk mulutnya sendiri. Bisa-bisanya ia keceplosan. Bianca memang sangat merindukan Martin selama satu minggu terakhir, tapi bukan berarti ia memiliki perasaan tertentu pada pria itu. Begitu juga dengan Martin, pria itu sudah memiliki kekasih baru. Mereka tidak seharusnya… Dan fokusnya adalah Jullio, bukan Martin.
MARTIN AND BIANCA-I’M NOT SUPERHERO.BIANCA duduk di salah satu kursi yang terletak paling dekat dengan bartender. Malam ini, untuk kedua kalinya ia mengunjungi kelab malam miliki Jullio. Dan untuk pertama kalinya ia mendatangi club malam di usianya yang masih terbilang muda. Tidak banyak yang menarik di sana. Bianca hanya bisa menyesap beberapa minuman beralkohol yang sudah diracik khusus untuknya. Sementara Jullio? Pria itu selalu asyik dengan wanita-wanitanya. Bianca ingin sekali bergabung dengan Jullio, tetapi ia tidak punya nyali sebesar itu untuk menemui Jullio. Ah, sudahlah.
MARTIN AND BIANCA- A WEEK.JULLIO melihat kerutan dalam di kening Benedict. Pria itu pasti sedang bertanya-tanya dalam hati mengenai tujuan Jullio datang ke rumahnya pagi-pagi buta. “Rencana?” ujar Benedict setelah sesaat.“Ya.” Jullio semakin percaya diri. Ia menegakkan punggung, meskipun sepertinya itu tidak perlu. “Jadi begini, aku sedang berusaha menyadarkan Martin kalau sebenarnya dia membutuhkan adikmu. Mungkin dengan cara ini lah Martin tidak akan melepaskan Bianca. Aku….” Jullio berhenti lagi, keragu