Sampai malam aku masih berharap Panji menghubungiku. Tapi sayangnya itu tidak terjadi.
Aku hanya seperti menggenggam angin.
Tanpa sadar aku tertidur. Meninggalkan jejak basah di atas bantal.
Aku menangis? Sayangnya iya. Aku tidak ingin, tapi entahlah. Air dari mataku mengalir tanpa permisi. Aku pun tak bisa mencegahnya.
Tak bisa, sekuat apapun aku didepan orang lain, nyatanya aku rapuh dan tidak bisa menghadapi diriku sendiri.
Hingga pagi, tak ada satu pesan pun menyinggahi ponselku. Aku mendesah pelan.
Baiklah … selamat pagi hari yang baru.
Mulai hari ini aku janji. Hanya akan ada aku dan bahagiaku.
Semangat Marta!!!
Jam dua belas, dan aku segera merapikan kertas-kertas yang terserak di meja. Sempat ku lirik Bos menyebalkan itu, dia sedang asyik melakukan sesuatu dengan komputernyaSesekali dia mengurut kening. Berdecak kesal, ataupun mendengus. Dan aku mulai terbiasa dengan raut wajah itu. Saat seperti ini, dia tidak mau diganggu. Salah gerak pun, amarahnya akan meledak.Lebih baik aku segera beristirahat.Tanpa permisi aku melangkah keluar. Makan bersama karyawan lain, sepertinya menyenangkan. Karyawan butik berjumlah lima orang, dan mereka biasa istirahat siang bergantian."Dasar, jaman sekarang tuh jadi atasan kayak nggak ada harganya." Pak Arka seperti dengan sengaja mengeraskan suara.Terpaksa aku melongokkan kembali kepalaku, "Bapak ada perlu dengan saya?""Nggak," jawabnya ketus."Oh, baik. Kalau begitu saya pamit makan siang dengan anak-anak di depan, Pak." Aku segera keluar kembali."Tunggu!"Yang terdengar selanjutnya hanya seperti beberapa buku dan alat tulis lainnya dirapikan dengan t
Aku duduk diantara rumput, setelah berhasil menarik kaki kanan yang tertimpa badan motor.Beruntung aku tidak salah membedakan rem dan gas. Dan motor tetap bisa ku kendalikan walau akhirnya terjatuh juga. Jatuh tepat di atas rumput tebal.Pak Arka, dia menatapku tajam tanpa berniat membantu. Sedikit kejam, tapi ku pikir itu wajar karena ini salahku. Lagi pula ini tak parah. Kakiku baik-baik saja.Sedikit ku goyangkan kaki kananku, sedikit nyeri. Mungkin ada sedikit urat yang tertarik. Selebihnya tak ada masalah."Kenapa, patah?" Nada Pak Arka terdengar seperti menahan geram."Tidak," jawabku santai."Huhh … kenapa nggak patah sekalian. Biar tau rasa. Sok jagoan. Kamu pikir ini arena balap liar?""Doanya jelek amat, Pak."Pak Arka masih menggerutu. Aku memilih diam dan berpura tak mendengar. Aku beringsut mundur. Menyandarkan punggung di tebing.Perlahan nyeri mulai merambat. Yang awalnya tak terasa sakit, sekarang seperti nyeri, panas dan seolah menebal.Pak Arka menegakkan motor mili
Perawat itu mengangguk dan menutup pintu ruangan.Dengan teliti dia memeriksa dan juga berdiskusi dengan dokter di ruangan ini. Sesekali di olesnya salep dingin ke beberapa bagian kakiku yang membiru."Tidak apa-apa, cuma dalam beberapa hari sebaiknya dibalut dulu. Biar tidak ada kotoran masuk melalui luka-luka ini," kata Dokter ramah.Luka? Apa ada luka di kakiku? Kupikir hanya lebam-lebam saja."Apa lukanya parah?" tanyaku akhirnya."Tidak, hanya goresan sedikit agak dalam. Hanya saja kalau dibiarkan terbuka, bisa kena bakteri dan menimbulkan infeksi. Itu yang bahaya." Dokter menerangkan sambil membuka kacamatanya.Aku meringis saat perawat tadi mulai membersihkan lukaku. Ku lihat kapas di tangannya berwarna merah.Tadi sesaat setelah jatuh aku memang merasakan kakiku basah. Ku pikir itu oli atau bensin yang tumpah. Ternyata itu darah. Pantas tadi Pak Arka terlihat sedikit panik."Nggak dijahit kan, Mbak?" bisikku pada perawat itu."Tidak, Bu. Ini sudah tidak terjadi pendarahan kok.
Sosok itu mendekat. Wajahnya semakin jelas terlihat, seiring kelebatan waktu yang pernah kulalui bersamanya.Ah, aku tidak pernah menginginkan berada di posisi seperti ini. Menatapnya hanya menambah goresan tak bermakna. Yang hanya akan membuat perasaanku penuh oleh rasa dendam dan sakit hati.Aku tak pernah sekalipun membayangkan akan bertemu lagi dengannya.Lebih-lebih saat tanganku berada dalam genggaman Pak Arka. Bukan khawatir pada perasaan atau pemikirannya. Aku hanya tidak nyaman. Itu saja.Pak Arka menepuk lembut tanganku yang masih bertaut erat dengan tangannya. Tepukan yang membuatku sadar, aku harus bersikap seolah tak pernah terjadi hubungan spesial diantara kami. Aku dan Akmal.Semua yang berawal, akan berakhir. Begitupun aku dan dia. Telah lama usai. Meski sekarang aku tahu, ini bukan hanya tentang bayi di dalam perut Raina. Ada hal lain yang masih tersembunyi. Dan haruskah aku peduli? Tentu saja tidak.Kini kami sama-sama asing. Dan orang asing tidak perlu mengorek kehi
"Istirahatlah, aku hanya akan memberitahu tentang pesan si mobil putih kalau kamu sudah benar-benar bersedia menjadi istriku," ujarnya tegas.Pak Arka tahu 'si mobil putih' yang dimaksudnya adalah lelaki bernama Panji. Tapi bahkan dia enggan menyebut nama itu.Aku memutar bola mata. Apa dia sedang berusaha memanipulasi?"Bagaimana kalau Panji datang? Dia lebih kuat dari Akmal. Dia tak akan segan menghajarmu, seperti dia menghajar pak Har." Aku tersenyum miris."Ck, jangan ingat atau ucapkan sesuatu yang menyakitkan.""Bagaimana kalau Panji datang?" Aku mengulang pertanyaan.Pak Arka tampak tak peduli. Dia masih asyik menggerakkan jari di atas layar ponsel."Laki-laki itu akan datang beberapa menit sebelum kita menikah. Jika itu terjadi, apa yang akan kamu lakukan?" Pak Arka meletakkan ponsel, dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku baca. Sepertinya dia begitu yakin aku mau menikah dengannya.Jarak kami begitu dekat, hingga aku bisa melihat jika matanya berwarna coklat tua. Buka
Berulang kali aku mencoba menghubungi Maya dan pak Haris. Nihil. Mungkin mereka kesulitan mendapat sinyal.Aku masih mencoba menghubungi keduanya. Terlalu sibuk hingga tak menyadari kedatangan Arka dengan dua kantong berisi makanan.Aku merasa dejavu.Perasaan pernah mengalami kejadian serupa. Malam itu Panji datang setelah dan memesan makanan lewat ojek online. Dia membawa masuk kantong berisi makanan. Kemudian mengajakku pergi."Kenapa ponselmu?" tanya Arka.Aku merasa kali ini sangat ceroboh. Mudah saja aku meng-iya-kan tawaran menikah dengan laki-laki ini. Apa aku memang segila itu?"Hei …, Ta …," tegurnya lagi."Hmmm, ya. Aku baru saja menghubungi Maya." Aku ingin bertanya, tapi tak tahu bagaimana caranya."Maya, dimana dia sekarang?""Dia sedang di perjalanan. Kemarin lelaki baik melamarnya."Alis Arka terangkat naik. "Baik? Ada apa denganmu? Tiba-tiba kamu membahas tentang laki-laki baik.""Ah, sudahlah. Ayo makan. Nanti kita bicarakan setelah makan," pungkasnya.Dengan cekatan
Pagi ini aku kembali memulai aktivitasku dengan menyeduh kopi. Semalam Arka pulang, setelah membiarkan aku menangis hingga lelah.Kupikir dia akan bermalam, ternyata tidak. Dia tidak mau memberi kesempatan warga sekitar untuk berpikir negatif tentangku. Aku senang menyadari bahwa lelaki yang dekat denganku tak pernah berusaha untuk mengambil keuntungan.Arka memberiku libur selama tujuh hari. Itu berarti saat masuk kembali, statusku sudah berubah menjadi istri. Ada banyak gelombang rasa di hati. Takut, khawatir, sedih, bahagia ….Aku takut suatu hari nanti Arka mempermasalahkan statusku yang seorang janda. Bagaimanapun dia seorang lelaki yang belum pernah menikah. Mungkin saat ini dia memiliki pemikiran terbuka dan modern.Tapi tentang hati, siapa yang tahu? Bukankah hati sangat mudah terbolak balik? Apa aku siap menghadapinya suatu saat nanti?Bagaimana jika aku tak bisa memuaskan dirinya?Dia lelaki bebas. Mungkinkah dia tidak mempedulikan statusku, karena 'kebebasannya'? Bagaimana
Kami membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk sampai di kota asalku. Kota yang sama dengan tempat tinggal Akmal. Kami langsung menuju rumah sakit daerah, tempat ibu Akmal dirawat."Ka …, a--aku gugup." Aku meremas ujung kaos yang ku pakai."Kamu belum siap?" tanya Arka.Aku menunduk. Ternyata aku masih selemah ini. Seharusnya waktu bisa membuatku semakin kuat.Ayolah Marta! Kamu bisa! Kamu kuat! Aku terus menyemangati diriku sendiri.Arka menyodorkan sebotol air mineral yang telah dibuka sebelumnya. Aku segera menenggaknya. Menguras isinya hingga tersisa setengah."Ck, pelan-pelan." Arka memberiku selembar tisu. Beberapa tetes air menetes membasahi bagian atas kaos yang ku pakai."Setidaknya aku punya alasan tepat, kalau-kalau nanti terlalu sering ke kamar mandi," cengirku.Ponsel Arka kembali berdering. Lagi-lagi panggilan dari Akmal.Alih-alih mengangkat telepon, Arka mengabaikannya. Dia mengetik sesuatu sebentar. "Aku mengabarinya kalau kita sudah sampai," ujarnya tenang.Aku menata
Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya
Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang
Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso
Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita
Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam
Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons
“Aku harus ke penginapan sekarang!“ gumam Maya. Dia bergegas keluar kamarku.“May, aku ikut!“Maya menghentikan langkahnya. Menataoku dengan pandangan bingung. Tanpa banyak bicara, kutarik tangannya agar tidak membuang waktu terlalu lama.Sebagai resepsionis yang menyambut kedatangan Amel, kehadiran Maya pasti sangat diperlukan. Mungkin dia melihat siapa yang mengantar Amel, atau apapun itu.“Aku ambil tas sebentar,” katanya sambil melepas gandengan tanganku.“Oke, aku nyalain motor dulu, ya!“ Seruku sambil berjalan keluar rumah.Beruntung kunci motor biasa kami gantung di dekat pintu. Hal ini memudahkan saat keadaan mendesak seperti ini. Tidak ada drama mencari kunci motor yang pasti akan memakan waktu dan membuat suasana semakin tidak nyaman.Sesampainya di penginapan, semua pegawai memandang kami dengan tegang.Panji setengah berlari ke arahku. “Amel nggak cerita apa-apa ke kamu?“ cecarnya.Aku menggeleng. Raut wajah Panji terlihat sangat kacau. Urat di dahinya terlihat menegang.K
Pak Har seperti tidak ingin membahas tentang 'perempuan itu'. Bahkan hingga sore, dia tidak lagi muncul. Meski begitu, aku tetap berusaha berhati-hati saat berkeliaran di dalam rumahnya. Kamar Raina saja tidak lepas dari pantauan, apalagi ruangan lain.Seharian aku lupa tidak menghubungi Arka. Begitupun dengannya. Tidak ada pesan masuk di kolom percakapan kami.Tidak seperti hubungan orang lain, dimana hampir setiap waktu saling mengirim pesan. Tentang itu, aku bisa mengambil kesimpulan, aku baik-baik saja tanpa mendapat kabar atau apapun dari Arka.Entah karena hari ini aku terlalu sibuk, atau karena aku menikmati kebersamaanku dengan Raina.Perempuan itu merengek agar aku mau menginap. Tentu saja aku menolaknya dengan tegas. Bagaimana aku bisa tidur jika ada yang mengawasi disetiap sudut rumah ini?!Pak Har bilang, CCtv itu di pasang untuk memudahkannya mengetahui kondisi Raina. Bagiku itu hanya sekedar alasan. Aku khawatir lelaki tua itu sebenarnya seorang psikopat.Semoga Tuhan me
Airmata Raina mulai menggenang. Wajahnya terlihat semakin kuyu.“Kamu kenapa?“ tanyaku hati-hati.Kuberi elusan lembut di bahunya. Raina perempuan tegar yang selalu ceria. Dulu. Berbeda dengan Raina yang kutemui sekarang.“Aku tidak bisa hidup seperti ini, dia sangat menakutkan!“ Suara Raina sedikit tertahan.“Pak Har kasar? Suka memukul?“Raina menggeleng. Aku semakin bingung dibuatnya.“Dia sangat menginginkan anakku. Sementara aku tidak mau bersamanya. Aku ingin pergi, Ta. Bawa aku pergi dari sini, tolong ….“Suara Raina terdengar mengiba. Airmata masih terus mengucur, bahkan semakin deras.“Dia juga menginginkanmu, Na. Bukan hanya anakmu. Buktinya dia mencarimu, dan tidak melupakanmu, kan?“Raina menggeleng. Hormon kehamilan mungkin memengaruhinya. Aku berusaha menenangkan perempuan itu.“Masih sakit?“ tanyaku sambil mengelus perutnya pelan.Raina menggeleng.“Makan, ya?“ Kulirik nampan berisi sarapan yang belum disentuh.Lagi-lagi Raina menggeleng.“Hei, kamu tidak bisa berbuat s