Perkenalkan ibu-ibu, bapak-bapak, ini adalah Pak Andre dan ini ponakannya Kakak Sinta. Niat mereka ke sini seperti yang sudah waktu itu saya sampaikan, bahwa mereka ingin membeli tanah yang dekat jalan itu, untuk dibuatkan pabrik."Seterusnya Kepala Desa menjelaskan lagi, jika mereka ingin membuat pabrik pengolahan padi, para warga akan mendoakan pekerjaan baru saat pabrik itu sudah selesai dibangun, warga juga akan mendapatkan hara tinggi untuk penjualan padi. "Betul begitu, Pak Andre?" tanya kepala desa. "Iya, Pak. Betul sekali. Kenapa saya ingin membuat pabrik di sini? Itu semua karena saya mau, kalian bertani di kampung ini, kalian juga mengolahnya di sini. Dengan begitu, para petani semua tak perlu menjual jauh-jauh hasil panen ke kampung seberang, mahal ongkos tapi harga sangat rendah.""Iya, dan kami di sini, tidak akan membeli tanah kalian dengan harga yang sudah ditentukan. Kami akan membayarnya dua kali lipat!" ujar Sinta, setelah sang paman selesai berbicara. Mendengar w
"Zafar!" Haji Burhan yang baru sampai langsung menghampiri pria itu, ia tau dari salah satu desa yang lewat saat kejadian kebakaran tadi. "Kamu gak papa?" tanyanya panik, Haji Burhan takut sekali jika saat rumah terbakar dia ada di dalam. "Aku gak papa, Paman. Hanya saja rumahnya...." Zafar menangis, ia sungguh bingung apa yang harus dikatakan pada Bapak mertuanya nanti. "Sudah, kita pikirkan nanti soal rumahnya. Ayo, sekarang ke rumah paman dulu. Ayo-ayo semua," ujar Haji Burhan, yang mengajak teman Zafar juga. Pito dan Bima saling tatap, barang-barang mereka ada di sana semua. Beruntung dompet dan ponsel selalu mereka bawa. Mereka ke rumah Pak Burhan, sepanjang jalan Zafar diam, ia takut sekali dimarahi oleh Pak Hasan, saat sedang melamun, pria itu melihat dari kejauhan, Ajat sedang berdiri di depan rumah Haji Burhan. "Pria brengsek itu. Untuk apa dia di sana, apa jangan-jangan...." Zafar meminta Pamannya itu untuk melaju lebih cepat, saat sudah sampai di pekarangan rumah, ia l
Di kota, Hilma gusar, ia tak bisa tidur. Berkali-kali ia mengecek ponsel jadul itu, tapi tak kunjung ada balasan dari Zafar. Sedari tadi pagi perasaanya tak enak, membuat gadis itu sering melamun. Begitu juga dengan Pak Hasan, wajah sang almarhum sang istri terbayang-bayang. Ia merasa tak enak hati, tapi tak tau kenapa. Padahal, mungkin semua itu karena ikatan batin mereka dengan rumah yang sudah hangus terbakar sangat lekat. Sehingga mereka bisa merasakan kegelisahan. Jika saja mereka tau rumahnya sudah hangus terbakar. Mereka pasti akan memaksa untuk pulang melihat keadaan rumah. Hilma memilih keluar dari kamar. Ia sedikit terkejut mendapati sang Bapak yang juga sedang duduk termenung di kursi. "Bapak belum tidur?""Belum, Neng. Bapak teh gak bisa tidur. Neng, tanyain ke Zafar, kapan kita bisa pulang? Bapak udah gak betah di sini."Hilma ikut duduk di samping Sang Bapak, ia menatap wajahnya. "Pesan Hilma yang tadi juga belum di jawab, Pak. Sama kayak Bapak, Hilma juga mau seger
Malam selepas isya, warga berkumpul di pos ronda bersama dengan hansip. Mereka diminta untuk berjaga sampai pukul sebelas malam. Setelah itu semuanya bisa berpencar. Zafar dan Haji Burhan turut hadir. Mereka juga ingin tau siapa yang telah membuat kampung ini kacau, jika memang malam ini dia akan tertangkap. Ajat saat di rumah tadi, melihat gerak-gerik sang adik yang seperti biasa, sering menjauh saat ada telpon, dan pergi setelahnya. Ia akan merasa sangat malu jika memang Adi yang bertanggung jawab atas semua ini. Tapi, untuk apa dia melakukannya? Semua berkumpul di pos sampai jam yang ditentukan, kemudian mereka mulai meronda samping ke pelosok kampung. Awalnya semua tidak ada yang aneh, sampai seorang warga melihat kilatan hitam saat mereka sedang melewati persawahan. "Apa dia orang?" tanyanya ke warga yang tengah meronda juga bersamanya. "Kayaknya iya, ini sangat mencurigakan. Untuk apa dia di saung malam-malam begini?"Warga yang lain memberikan instruksi, kemudian mereka k
Pak Hasan yang bangkit, membuat Hilma tersadar dari lamunan. Ia langsung memalingkan wajah dari pandangan Zafar. Bisa-bisanya dia malah diam menatap pria itu."Yuk masuk yuk. Kita lihat dalamnya seperti apa," ujar Zafar, membawa Pak Hasan masuk, begitu juga dengan Hilma. Pria itu membuka pintu dan berucap salam, di dalamnya sudah ada sofa dan TV, dapur yang sudah lengkap dengan alat-alat masak. Melihat itu Pak Hasan mengusap air mata, ia tidak bisa berkata-kata selain berucap syukur. Kemudian Zafar membuka pintu kamar, yang di mana itu untuk kamar Pak Hasan. Sudah berisi lemari dan juga springbed. "Nah, Bapak bisa tidur dengan nyaman di sini. Gak usah pake AC lah, ya. Kan di sini dingin, gak kayak di bekasi kemarin."Pak Hasan tersenyum di sela-sela tangisnya. Ia membawa Zafar ke dalam pelukan. Berucap Terima kasih untuk semua ini. Kini tiba lah Hilma, pria itu mengajak sang istri ke atas, berdua. Karena Pak Hasan merasa sakit dengkul jika harus menaiki tangga. Hilma terpaku melih
Melihat Hilma yang memalingkan wajah, pria itu tersadar atas apa yang ingin ia lakukan. Kemudian menarik diri menjauh dari Hilma, membuat gadis itu sedikit gemetar dengan apa yang terjadi barusan. Ia menghela napas lega saat Zafar sudah keluar dari kamar mandi. Cepat Hilma menutup pintu, ia melihat diri di cermin, semuanya sudah basah kuyup. Yang tadinya niat tidak mandi, terpaksa gadis itu mengguyur diri malam-malam. Zafar yang sudah berganti baju, ia terdiam duduk di ranjang. Bagaimna bisa? Dia hampir saja kebablasan karena melihat wajah Hilma yang sangat menarik perhatikan. Dan juga, pria mana yang akan tahan lama-lama di saat se kamar berdua apalagi sudah sah sebagai suami istri. Ah, tapi Zafar mencoba tenang, jika memang cinta itu tumbuh, ya alhamdulillah, kalau tidak... pria itu tidak ingin memikirkannya lebih lanjut.Biarkan berjalan semestinya saja. Hilma yang masuk ia melirik pria itu sekilas, membuat Zafar bergegas tidur dan mengenakan selimut. Gadis itu perlahan naik ke
Neng, Ujang ayo makan!"Mendengar Pak Hasan memanggil, Hilma meninggalkan pria itu yang masih terpaku dengan panggilan yang diberikan oleh Hilma. Ia kemudian membersihkan sisa-sisa lumpur di air pancuran. Hilma yang sedang membuka rantang sesekali menatap suaminya itu, yang juga tak fokus pada membersihkan bajunya. Saking tak fokusnya dia sampai terpeleset di pijakan bambu yang licin. Membuat Hilma berdiri karena takut jika suaminya itu kenapa-napa. "Ari kamu jatuh mulu," ucap seorang wsetanyany ada di sana. Membuat Hilma menahan tawa karena tingkahnya itu. Dia kemudian menyiapkan makanan, ia meminta Zafar untuk duduk di sebelah yang masih kosong, karena dia basah belum mandi karena tidak membawa baju. Semua orang menikmati makanan, begitu juga dengan Zafar, yang baru tau jika makan di sawah setelah bekerja seperti ini sangat nikmat sekali. Membuat pria itu nambah sampai tiga kali, beruntung Hilma membawa banyak nasi dan juga lauknya. "Kalian kalau mau pulang, pulang aja ya. Kasi
Kok gak dimakan?" Pria itu baru sadar kalau sedari tadi Hilma hanya diam melihatnya yang sangat menikmati mie yang ada di hadapannya itu, sampai lupa bahwa ada Hilma yang di mana ia tidak bisa menggunakan sumpitnya. "Gak ada sendok ya?" sindir Hilma, membuat pria itu sedikit tertawa kemudian meminta sendok pada kasir. "Makasih, Mbak." Pria itu memberikan sendoknya pada sang istri, saat ini Hilma baru bisa menikmati mie nya. Gadis itu terdiam sebentar, ia belum pernah menemukan mie senikmat itu. "Enak ya? Itu lah, makanya aku sampe gak ngeh kalau kamu belum makan. Haha, maaf ya."Hilma tersenyum, ia akui mie ini memang enak. Sampai dia sendiri juga diam karena kaget. "Beda ya sama mie di warung-warung," ujar Hilma. "Ya jelas, Ibu. Ini harganya aja berapa."Hilma yang sedang mengunyah melirik suaminya itu. "Memangnya berapa?""Dua puluh lima ribu semangkok itu."Uhuk!"Mie yang terasa pedas itu membuat tenggorokan Hilman rasanya terbakar karena tersedak mendengar jawaban Zafar. Pri
"Kamu tak perlu tau orang itu siapa. Yang jelas, Paman kecewa pada kalian berdua. Mulai sekarang, Paman tidak mau berurusan dengan kalian lagi.""Tapi aku akan cari tau siapa orang yang sudah memfitnah istriku!" tekan Zafar, ia menarik Hilma saat wanita itu hendak berbicara. Zafar pergi dengan emosi yang meluap-luap di dadanya. Ia yakin sekali, jika dalang dari semuanya adalah Santi. Karena tidak ada lagi orang yang tidak menyukai istrinya itu kecuali dia."Aa aku belum sempat bicara sama Pak Haji.""Ngapain. Biarin aja dia, lama-lama juga bakalan ketauan iblis apa yang ada di rumahnya itu. Memfitnah orang lain agar dia bisa menikmati semuanya!"Hilma diam. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang Zafar katakan, jika memang bukan Santi siapa lagi, karena di desa hanya dia yang berurusan dengannya."Mungkin karena dia suka sama Aa, makanya menghalalkan segala cara agar kalian bisa dekat."Mendengar itu Zafar langsung ngerem mendadak. Ia melirik sang istri yang juga tengah menatapnya."J
Sebelum menuju ke rumah Haji Burhan, mereka makan siang lebih dulu karena merasa lapar setelah kehujanan. Zafar yang berusaha menenangkan istrinya itu dengan mencoba menyuapi makanan pada Hilma, tapi wanita itu seakan enggan untuk menerima.Belum pernah ia melihat Haji Burhan semarah itu padanya, tapi kenapa setelah ada anak perempuannya, Hilma rasa banyak yang berubah dari bos ayahnya itu.Padahal dulu ia orangnya sangat lembut dan penyayang. Bahkan orang yang salah di mata yang lain pun, ia selalu membela dan memilih untuk berdamai. Tapi sekarang, hal yang bahkan tidak Hilma ketahui hal buruk apa yang sudah ia lakukan, Haji Burhan nampak tidak menyukainya."Hilma...." Suara Zafar membuat wanita itu buyar dari lamunannya. Ia hanya bisa menarik napas pelan dengan wajah yang muram."Kamu tau paman, kan? Mungkin dia cuma mau mastiin aja.""Tapi... kata-kata dia tadi sangat tidak enak aku dengar, A. Kapan aku punya niat busuk padanya, sedangkan aku selalu berdoa agar dia hidupnya sejaht
Santi melirik dari ujung matanya, kemudian dia tersenyum miring melihat sang ayah yang nampak emosi sekali. Wanita itu berhasil membuat seorang Haji Burhan yang dulunya rendah hati dan baik pada semua orang, kini ia nampak menjadi orang yang perhitungan."Tenang, Ayah... aku akan bantu untuk bikin mereka menyesali semuanya."'Lihat aja, setelah ini Hilma pasti akan kena marah habis-habisan sama Ayah. Aku harus menyusun rencana baru agar Zafar membela Ayah dan hubungan dia dengan istrinya itu renggang,' batin Santi."Ternyata wanita selugu dia bermuka dua. Padahal dulu siapa yang sering menolongnya kalau bukan saya!" tekan Haji Burhan, membuat hati Santi semakin gembira mendengarnya."Minta aja modal yang pernah Ayah berikan pada Zafar. Biar mereka tau rasa!"Haji Burhan menatap anaknya itu, ia kemudian duduk kembali setelah tadi berdiri karena emosi."Ayah gak bisa kalau lakuin itu, karena modal yang diberikan pada Zafar, itu uang ibunya dulu yang Ayah pinjam.""Jadi....""Kalau soal
"Akhirnya selesai, sekarang aku tinggal mandi dan ngasih bekal ini buat Aa." Hilma tersenyum melihat menu-menu makanan yang sudah tersaji di meja. Ia sudah memisahkan mana yang akan di bawa dan untuk sarapan sang ayah di rumah.Wanita itu naik ke kamar untuk mandi gan berganti baju, kemudian sedikit memoles wajahnya dan memakai lipstik agar lebih segar.Setelah rapi ia turun lagi dengan suasana hati yang gembira. Pokoknya nanti ia harus meminta maaf atas perilakunya yang semalam. Hanya karena cemburu ia jadi mengacuhkan sang suami. Yang padahal Zafar sama sekali tidak ada niat untuk berdekatan dengan Santi.Sepeda ia goes menuju ke Konveksi setelah berpamitan dengan sang ayah yang sedang menikmati hidangannya. Semilir angin menabrak wajah membuat wanita itu tersenyum. Menarik napas dalam menghirup udara desa yang masih sangat segar.Dari kejauhan matanya menatap sang suami yang sedang membantu menurunkan bahan-bahan kain yang sangat besar itu. Membuat suaminya sampai membungkuk memba
"A, yakin beli sebanyak itu?" Komar yang tadi hanya melongo kini bertanya saat melihat penjual dodol itu mulai menimbang dan memasukan dodol ke dalam kresek hitam yang cukup besar."Yakin dong... hanya dengan cara ini aku bisa meluluhkannya!""Meluluhkan siapa, A?"Zafar yang keceplosan langsung tutup mulut, kemudian meminta Komar untuk diam. Berisik sekali dia sedari tadi terus bertanya.Wajah Zafar berbinar dan dia membayangkan raut wajah sang istri saat mendapatkan dodol-dodol ini. Pria itu bergegas membayar dan mengajak Komar untuk pulang. Sepanjang jalan ia berharap semoga Kanjeng Putri itu tidak merajuk lagi.Malam semakin larut, mereka berdua kini sudah sampai di depan rumah, Zafar memberikan satu kilo dodol itu untuk Komar, dan juga uang sebagai tanda terima kasih untuknya."Kok, pake segala ngasih uang, A. Kan saya jadi enak," kata Koma r sambil nyengir. "Makasih ya, Mar. Udah kamu sekarang pulang, kasian istri kamu nungguin.""Iya, A. Makasih, ya. Kalau butuh bantuan lagi,
Hujan kembali deras lagi setelah tadi agak sedikit reda. Zafar menembusnya karena sang paman berbicara dengan sangat panik di telfon tadi. Dia terpaksa datang karena sang paman memohon, sedangkan hatinya merasa berat untuk meninggalkan Hilma yang masih belum mau bicara dengannya. Pria itu bergegas turun dari motor dan mengetuk pintu dengan tubuh yang kedinginan. Haji Burhan datang, ia melihat Zafar basah kuyup, kemudian meminta Santi untuk mengambilkan anduk. Santi tersenyum saat mengalungkan handuk itu padanya, sedangkan Zafar langsung menepis tangan wanita itu yang sangat tidak sopan. "Apa yang bunyi, Paman?" tanya Zafar, sambil masuk ke dapur, karena tadi sang paman bicara bahwa gasnya bocor karena mengeluarkan bunyi dan bau. "Gak tau, tadi bau sama ada bunyi, ya kan, Santi?""I–iya, Aa, tadi bunyi gitu. Aku jadi takut...." Santi memanfaatkan situasi sambil memegangi tangan Zafar, membuat pria itu menatapnya tajam. "Kamu cek deh, paman mau ke atas dulu, sakit pinggang rasanya.
Hilma kembali menikmati makanan yang sudah tidak mengunggah selera, tapi karena sayang jika di buang, maka ia harus menghabiskannya. Dengan wajah yang ditekuk, matanya melirik Zafar yang kembali turun mengenakan jaket. Karena posisi baru jam sembilan, bahkan matahari belum sepenuhnya muncul di langit. Membuat udara menjadi dingin. "Aku pergi dulu, ya." Zafar menghampiri kemudian mengecup kepala istrinya itu. Saat mengulurkan tangan, ia melihat istrinya itu berubah, tidak seperti tadi yang nampak segar sekali wajahnya. "Boleh kan aku pergi?""Kalau pun di larang, kamu bakalan tetap pergi, kan?"Zafat tersenyum, ia tau kenapa istrinya itu menjadi seperti ini. "Sayang... Aku ke rumah paman cuma mau membicarakan pembuatan alat untuk menarik air sungai ke sawah. Gak aneh-aneh, kok.""Hmm, ya udah pergilah kalau begitu. Nanti telat."Zafar menghela napas pelan melihat istrinya yang berbicara tanpa menatap dirinya. Karena waktu sudah semakin lambat, akhirnya ia kembali mengecup kening Hil
"Ayah tau punya ponakan modelan Zafar kenapa gak dinikahkan dengan Santi? Kenapa harus memilih perempuan kampungan itu? Kan aku juga bisa menikah sama dia, Ayah.""Mereka juga menikah karena tak sengaja, bukan murni saling suka.""Maksudnya gak sengaja?"Haji Burhan menaruh sendok yang sedang ia pegang, kemudian menceritakan awal mula Zafar dan Hilma menikah karena apa."Gitu, mana bisa ayah larang mereka. Ini sudah menjadi tradisi di sini."Santi mengangguk paham. Dia tersenyum miring memikirkan suatu hal gila apa yang akan wanita licik itu lakukan. "Sayang sekali, ya. Padahal aku lihat-lihat Zafar tertarik sama aku. Kemarin aja dia lihat aku sampai segitunya. Cuma ya... Istrinya aja itu, si Hilma yang suka tiba-tiba muncul kayak kunti!""Kamu jangan berharap apa pun sama dia. Zafar sudah bisa menerima Hilma, bahkan mereka sedang bahagia ini, karena telah mengandung anak pertama.""Apa!" Santi melotot tak percaya mendengar penuturan sang ayah, karena Haji Burhan kemarin tiga hari se
Zafar memancing untuk istrinya itu berbicara, padahal dia sudah tau pasti yang sedang Hilma pikirkan adalah Haji Burhan. Pria itu menggenggam tangan sang istri lembut, kemudian menciumnya. "Aku tau, kamu mikirin ucapan Paman, kan? Sudah aku bilang, gak usah dimasukin ke hati, jangan terlalu dipikirkan. Dia begitu pasti karena hasutan Santi.""Tapi kenapa dia jahat banget, A. Santi itu dari awal datang seperti tak suka sama aku. Apalagi kalau kita lagi berdua, terlihat jelas raut wajah sinisnya.""Maklumin aja, mungkin karena dia baru menikmati hidupnya sebagai anak dari Paman, dulu kan dia sembunyi-sembunyi dari warga, ya sekarang mungkin dia sudah bebas berperilaku. Dan itu lah sifat aslinya.""Apa mungkin juga dia suka sama kamu, A?"Mendengar penuturan sang istri, Zafar terdiam memandangnya. Ia mengingat kejadian saat pulang dari masjid tadi, seseorang menghadangnya saat di jalan, yang ternyata dia adalah Santi. Karena kebetulan wanita itu ada di sana, Zafar turun dengan niat ing