"Kenapa kamu bisa punya pikiran seperti itu?" Ekspresinya datar.
"Ya aku bingung. Hanya kamu dan Didan yang masuk ke kamar aku."
"Terus?"
"Jika orang itu adalah Didan, bukankah dia juga anak buahmu--"
"Gak ada alasan buatku untuk memfitnah apalagi nyelakai kamu," sela Iqbal terdengar tegas. Aku sendiri sampai merasa tidak enak hati karenanya.
Pemuda itu menandaskan minumannya. Setelah itu dia beranjak menuju kamarnya yang memang tidak jauh dari dapur ini.
Ahhh! Aku mendesah resah. Kenapa semuanya jadi rumit seperti ini?
Teringat dengan niat awal, aku langsung segera menyeduh ke sepuluh mie instan tersebut. Semuanya kumasukkan dalam satu panci. Untuk topping kutambahkan sayur cesim, sosis, dan telur mata sapi tentunya.
Anak-anak mendekat ketika aku tengah mengambil beberapa mangkok. Mereka paham saja masak
"Mita," bisikku lembut.Gadis lemah lembut itu langsung membuka matanya. "Kiran." Mita yang terharu lantas memelukku erat."Aku mau ngenalin teman-teman baruku," ujarku sembari melepas pelukan. "Kenalkan ini Iqbal dan ini Rain."Iqbal dan Rain masing-masing menipiskan bibirnya pada Mita.Mita sendiri tampak takjub menatap Rain. "Apa kita pernah bertemu?"Tidak hanya aku yang tergelitik mendengarnya. Iqbal pun tampaknya sama. Pemuda itu menatap Mita lamat-lamat, lalu beralih memindai sang bos.Sementara Rain diam dengan dahi mengernyit. "Entahlah ... tapi seingat saya, ini pertama kalinya kita bertemu," ujarnya kalem. Lelaki itu memang cukup santun. Dia bisa menempatkan diri, kapan waktunya bersikap santai, dingin, atau sedikit resmi seperti ini.Bibir Mita mengulas senyum. "Maaf, mungkin saya salah orang. Tapi sungguh, wajah
"Menjauhlah kalian dari Kiran!" Suara Rain terdengar lantang."Oh ... Jadi namanya Kiran?" Pria bernama Tama itu kembali melirik padaku dan menyeringai. "Kiran siapa nih? Kiranti? Ha ... ha ... ha." Dia kembali tergelak dengan gaya meremehkan. Sedangkan Ingga hanya tersenyum miring. Sama merendahkan aku juga.Rain menghampiri Tama. "Enyah. Dari. Meja. Ini!" usir Rain dengan penuh penekanan. Suaranya tidak selantang tadi. Namun, tatapannya yang menghujam menjadi pertanda jika dia amat membenci lelaki di hadapannya itu."Nape elu kaku banget kek gitu sih?" Tama kembali menyeringai. "Kita udah lama gak ketemu. Harusnya temu kangen gitu," kelakarnya berusaha sok akrab. Namun, saat tangannya coba menggapai pundak Rain, Rain menepisnya. "Hei ... masih galak aja. Ingat kita bertiga Nathan teman senasib sepenanggungan. Sama-sama anak pungutnya Bang Jack ," tutur Tama menyebut nama seseorang. Aku pikir itu pasti nama ayahnya Shila. Orang yang mengangkat mereka menjadi an
"Sebenarnya Rain, Nathan, dan Tama mendapat bagian dengan porsi yang sama. Namun, pada surat wasiat Rain berhak menjalankan dan menguasai warisan atas nama Shila selama anak itu belum ditemukan. Karena Bang Jack beranggapan bahwa Shila masih hidup." Ia memungkas kisah.Kami masing-masing terdiam kembali."Boleh tanya lagi, Bang?" Aku meminta izin. Takut saja dianggap lancang karena terlalu ingin tahu."Apa?" Tidak kuduga Bang Tigor santai menanggapi."Eum ... Ibunya Shila kalo boleh tahu apakah masih hidup?" tanyaku hati-hati.Lagi-lagi Bang Tigor terlihat menarik napas. "Mbak Sasmita pergi berpulang ketika melahirkan Shila. Ahhhh ... kasihan sekali hidup wanita itu." Bang Tigor menggeleng lemah."Nama istrinya Bang Jack Sasmita?" tanyaku memperjelas."Iya. Dia wanita yang lemah. Lima tahun menikah dengan Bang Jac
"Buat siapa buah sebanyak ini?" tegurku lumayan heran."Buat temanmu lah, semoga dia suka." Rain menyahut tenang, "kalo kamu mau tinggal ambil aja."Aku tercenung. Bagaimana bisa Rain tahu jika Mita sangat menggemari anggur hijau. Apakah suatu kebetulan?Kami menuju kasir. Rain melakukan transaksi. Setelah rampung kami keluar supermarket. Hatiku lumayan tersentuh karena Rain tidak mengizinkan aku membawa plastik belanjaan. Pria itu yang menjijingnya hingga mobil."Kenapa dari tadi kok diam? Biasanya banyak nanya," sindir Rain ketika mobil sudah melaju.Aku meringis kecil. "Anu, Bang, heran saja kok Abang bisa tahu kalo Mita sangat menyukai buah anggur hijau?"Rain menoleh. Dahinya terlihat melipat. "Benarkah?""He-eh. Mita bisa beli berkilo-kilo kalo habis bayaran dulu."Rain mengendikan bahunya perlahan. "Gak tahu, feeling aja pengen ambil anggur ijo tadi.""Wahhh ... intuisi Bang Rain lumayan tajam." Aku memuji sembari
"Elu gak akan bisa bertemu dengan bos tampan itu, Ran," cibir Didan meremehkan."Maksud kamu apa?" cecarku menahan emosi."Elu, mau kita bawa nemuin Bos Tama," jawab Didan dengan senyum dingin.Aku ternganga mendengarnya. Kepala ini menggeleng lemah saking syoknya. "Didan, kamu ....""Ya, gue orangnya." Didan menatapku tajam, "gue orang yang udah naruh extacy di kamar elu," terang Didan dingin.Aku membeku. Sementara Didan kembali menyeringai lebar Sedangkan teman-temannya tergelak puas."PLAK!"Muntab membuat aku menampar pipi kanan Didan. Pemuda itu terkejut."Dasar pengkhianat!" Aku mengecam sambil memukul-mukul dada Didan. "Bang Rain dan Iqbal udah baik sama kamu. Mungut kamu dari jalanan, tapi malah khianat, kenapa hah?!" gertakku sembari terus menyerang pemuda kurus itu."
POV 3Rain sedang berada di office salah satu gerai karaokenya. Dia, Nathan, dan juga Iqbal baru saja melakukan pengecekan terhadap pembangunan gerai karaokenya yang berada di Depok. Semuanya sudah finish. Rencananya mereka akan melakukan pemotongan pita tiga hari lagi."Napa sih? Mondar-mandir terus dari tadi?" tegur Nathan pada Rain lumayan heran. Sang sahabat yang biasa terlihat tenang, kini tampak gelisah. Di sofa Iqbal juga merasakan hal yang serupa.Rain menggeleng pelan. "Gak tahu perasaan gue gak enak banget hari ini. Gelisah tanpa alasan." Dia terdiam sejenak, "ini tuh persis kayak ...." Rain membuang muka dan tidak melanjutkan ucapannya."Kenapa Rain?" Nathan yang penasaran mendesak.Rain tidak menanggapi pertanyaan Nathan. Lelaki itu merogoh kantong celananya. Dia mengambil ponsel, lantas mencari nomor kontaknya Kiran.
Rain bergeming. Dia bingung harus menjawab apa. Di sisi lain dia sudah mulai menyayangi Kirani. Namun, di lain pihak hatinya tetap berpegang teguh jika Shila masih hidup. Rain tidak mungkin mengkhianati cinta pertamanya itu."Jawab, Rain!" Bambang kembali mengguncang tubuh Rain. "Ini adalah permintaan sederhana dari seorang ayah yang selalu merasa bersalah telah menyeret anaknya ke lembah dosa.""Kiran tidak melakukan dosa apa pun." Rain menyela."Tapi hubungan antara pria dan wanita tanpa adanya ikatan dalam satu atap tidak dibenarkan, Rain," sahut Bambang membeberkan alasannya. "Tolong jangan buat Kiran terlihat rendah di mata orang karena kumpul kebo dengan kalian semua," mohonnya dengan kedua tangan menangkup.Rain tercenung. Demi melihat wajah nelangsa Bambang, dia mengangguk perlahan. "Baiklah, akan kunikahi anakmu." Dia berjanji dengan serius.Bambang menipiskan senyum. "Sekarang cepat cari Kiran sampai dapat!" suruhnya tegas."Baik!"
"Elu, elu, dan elu semua akan mati di tangan gue. Ha ... Ha ... Ha," ancamnya dengan mengarahkan senjatanya pada Iqbal, Rain, dan Nathan. Sementara Bambang terus ia sekap.Anak buah Tama yang menyergap Kiran berhamburan keluar. Semuanya tampak siap berjaga-jaga membela sang bos. Tidak terkecuali Didan.Aliran darah Iqbal naik dua kali lebih cepat begitu melihat keberadaan Didan. Dia tidak menyangka pemuda kalem dan santun itu ternyata seorang pengkhianat. Andai Bambang dan Kiran sedang tidak jadi tawanan, sudah Iqbal hajar pemuda itu."Didaaan! Ikat tua bangka ini!" teriak Tama sembari menendang tubuh Bambang.Pria pertengahan empat puluhan itu terjengkal. Melihat itu Rain, Nathan, dan Iqbal sudah siap menolong. Namun, tangan Tama sudah lebih cepat mengarahkan moncong senjatanya pada dahi Bambang kembali.Terpaksa ketiga kawan itu harus bersabar menunggu situasi yang tepat. Mereka tidak mau gegabah yang dapat mengakibatkan kesalahan fatal. Ra
Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."
Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad
Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve
"Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b
Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri
Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh
Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany
Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan
Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel