"Kalo mau ngen itu di tempat yang lebih berwibawa dong, Bal. Masa iya cewek semanis Kiran diajak main di semak-semak gini," canda Nathan sambil geleng-geleng.
Ingga tertawa mendengarnya. Perempuan itu melirik ke Rain. Dan Rain hanya diam membisu.
"Kak Nathan ngomong apa sih?" tukas Iqbal sambil menepuk-nepuk bahu dan celananya yang kotor. "Tadi itu aku cuma mau nolongin Kiran yang jatuh dari pohon mangga. Gak nyangka aja badan kecil gitu berat juga. Makanya kami oleng," paparnya sejelas mungkin.
"Kiran bisa manjat pohon?" tanya Nathan tampak terpukau.
"Dia bahkan bilang sering menang lomba balap panjat tembok sekolah."
"Kok kamu tahu aku ada di sini?" Walau kaget, tapi aku cukup senang Iqbal datang."Lho ... bukannya kamu sendiri yang ngeminta aku untuk datang?" Iqbal menyipit."Hah?" Aku melongo bingung. Kapan aku hubungi dia. "Kamu bercanda ya?""Gak." Iqbal menggeleng yakin. Pemuda itu lekas duduk di bench. Tangannya memegang remote, lalu mulai memilih lagu. "Aku bener-bener sibuk akhir-akhir ini, Ran. Capek banget ngawasin sana-sini," lapornya tanpa kutanya."Yodah ... rileks sejenak di sini."Iqbal tersenyum mengangguk.
"Bang, tolong panggilkan pelayan yang membawakan minuman buat kami." Tiba-tiba Iqbal meminta usul. "Akan kucecar siapa orang yang telah menyuruhnya untuk mencampur minuman kami dengan obat perangsang," tuturnya yakin.Seketika wajah Ingga kembali pias."Panggil saja, tapi gak ada intimidasi ya?!" Nathan berbicara tenang. Di sini terlihat sekali dia sangat membela Ingga."Sebentar aku panggil." Ingga meminta Izin.Wanita itu berlalu meninggalkan ruangan. Tujuh menit kemudian dia hadir lagi bersama pelayan yang mengantar minuman untukku dan Iqbal. Serta seorang pelayan laki-laki yang tidak kukenal.
"Kiran, turuuun!""Aku gak mau turun sebelum kamu mempercayai Iqbal dan mengusut kedua sahabatmu Ingga dan Nathan!"Rain bergeming. Sepertinya dia tengah berpikir. "Baiiik!" Rain berteriak begitu melihatku Kembali memanjat pembatas. "Aku akan segera usut Ingga dan Nathan secepatnya." Dia berjanji tegas."Kamu seriuskan?" tanyaku sedikit semringah."Kapan pernah aku bohong sama kamu?" ketus Rain terlihat sebal, "sekarang turun!" Dia memerintah serius."Baik." Aku menurut. Hati-hati aku menurunkan kaki. "AAa!" Aku memekik takut karena tergeli
"Ya kamulah ... kan cewek satu-satunya cuma kamu. Masa iya Ijong ato temannya." Penuturan dari Ayon membuat aku tersanjung. "Soto Betawi kamu suka kan?" tanya Ayon kemudian."Suka." Aku mengangguk senang. "Sekali lagi makasih banyak ya, Bang.""Iye, Nyonya ratu." Ayon membungkuk hormat.Aku terkekeh melihatnya. "Ya udah aku pergi mandi dulu sambil nungguin sotonya datang," pamitku kemudian."Silakan, Nyonya ratu."Aku kembali tergelak. Setelah itu meninggalkan Ayon menuju kamar kembali. Tanpa menunggu waktu lagi, gegas masuk ke kamar mandi. Air shower mulai menyiram badan ini.Setelah merasa segar, aku pun menyudahi kegiatan ini. Cacing yang berdemo di dalam perut membuatku secepatnya mengenakan makanan. Begitu turun ke dapur sudah berkumpul tiga orang preman yang sedang menyantap Soto Betawi. Termasuk Ayon di antara mereka.
"Ba-baik ... aku akan bicara jujur, Bang.""Katakan!" titah Rain datar."Dua kali aku masuk ke ruang kerja Mbak Ingga adalah agar Mbak Ingga bisa menuangkan obat perangsang itu tanpa terlihat kamera."Wajah Ingga seketika pias. Namun, lekas ia alihkan dengan mendelik pada Vita. "Hei ... jangan buat fitnah sembarang kamu, Vit!" bentak Ingga sambil mendepak tubuh perempuan itu hingga tersungkur."Ingga, biarkan dia menyelesaikan ceritanya dulu!" seru Rain mencegah Ingga berbuat kasar lagi."Tapi, dia sudah ngelantur bicaranya, Rain," kilah Ingga terus menatap Vita dengan sengit."Semua akan dapat jatah bicara." Rain berucap dengan tenang. Dia bangkit dari duduknya. "Kamu pun akan mendapatkan gilirannya. Jadi sekarang diamlah!"Wajah Ingga semakin terlihat keruh. Namun, dia tidak berani bicara lagi."Lanjutkan ceritamu!" suruh Rain pada Vita.Vita terlihat menarik napas perlahan. Seolah tengah mengumpulkan keberanian untuk
"Kiraaan! Ada paket nih." Suara Bang Ayon di lantai bawah.Aku yang baru saja membersihkan kamar Rain buru-buru turun untuk melihat. Sebuah kotak besar Bang Ayon angsurkan padaku."Dari siapa?" tanyaku penasaran."Coba aja buka," balas Bang Ayon santai.Penasaran dengan isinya, gegas kubuka kotak berpita merah muda itu. Tanganku terus menyobek kertas kado yang melapisi."AAA!" Aku menjerit begitu melihat isinya. Sebuah boneka tanpa kepala dengan pesan, 'KAMU HARUS MATI, KIRANI!'"Ada apa, Kiran?" Bang Ayon buru-buru mendekat. Pria itu langsung terbelalak melihat isi dari kado tersebut. "Coba sini aku lihat mungkin ada nama pengirimnya."Bang Ayon mengobok isi kotak tersebut. Namun, ia tidak menemukan apa pun. Saat dirinya membolak-balikkan kotak tersebut, hasilnya juga tetap nihil. Sama sekali tidak ada pertunjuk.
"Raiiin!" Bang Tigor datang dengan tergopoh-gopoh."Ada apa?" sahut Rain tenang."Polisi akan datang menggerebek markas kita.""Apaaah?" Aku, Iqbal, dan preman yang terlonjak kaget."Ada yang melaporkan jika kita menimbun narkoba di markas ini," terang Bang Tigor serius.Rain bergeming sejenak. "Sisir semua tempat! Cari sampai dapat barang laknat itu sebelum polisi datang!" titahnya tetap tenang."Baik, Bang!" Semua anak buahnya mengangguk patuh.Rain bangkit dari singgasananya. Tanpa bicara dia melangkah. Kakinya tertuju pada anak tangga. Sementara semua anak buahnya langsung berpencar guna mencari barang haram tersebut. Mereka meninggalkan makanan yang belum selesai dihabiskan ini.Tidak mau berdiam diri, aku ikut mengerjakan perintah Rain. Tanpa ragu kutuju kamar pribadi. Agak terkejut masuk ternyata a
Masih dengan mendesis aku bangkit berdiri. Tangan ini mengusap-usap pinggang. Sungguh sakit jatuh dari ranjang. Pinggang ini rasanya seperti hendak patah.Aku menggeliat sebentar untuk merenggangkan otot yang masih terasa kaku. Badanku terasa pegal-pegal karena kemarin lumayan lama membantu Rain bekerja.Kulirik jam kotak di tembok. Pukul empat pagi lewat lima puluh menit. Saatnya beribadah pagi.Dengan penuh kekhusyukan aku menghadap sang Khalik. Bersujud pada-Nya untuk memohon ampunan. Serta kebaikan dalam hidup. Baik untuk diri sendiri, keluarga, dan juga Rain.Ya ... akhir-akhir aku memang selalu menyempatkan namanya di setiap doa. Berharap agar dia selalu keselamatan di setiap langkahnya. Begitu juga dengan Iqbal. Pemuda baik itu juga menempati separuh hatiku yang lain. Doaku sama juga. Semoga Iqbal dan Rain selalu dijauhkan dari marabahaya.Usai meraup wajah aku melipat mukena dan sajadah. Dalam hati memang sudah bertekad. Bahwa apa pun
Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."
Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad
Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve
"Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b
Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri
Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh
Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany
Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan
Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel