"Kenapa masak banyak sekali Bu?" Tanya Maisya pada ibu mertuanya. Ibu Dini tersenyum, "Nanti kita bagi juga pada Diajeng dan suaminya." Maisya yang mendengarnya pun langsung cemberut. Sejak pagi ibu mertuanya sudah sibuk berkutat di dapur. Ketika masakan sudah jadi, malah Diajeng yang akan menikmatinya. Maisya merasa selalu sakit hati ketika ada yang menyebut nama Diajeng. Masa indah yang di jalaninya bersama Diajeng selama ini berujung kebencian. "Kenapa harus berbagi pada Diajeng Bu?" "Tak ada, Ibu hanya ingin bertetangga dengan baik saja." "Kan kasihan Ibu, sudah capek masak." "Ibu senang kog jika harus berbagi dengan Diajeng. Diajeng itu anaknya sangat ramah dan baik sekali." Maisya memberengut, ibu Dini tak menyadari kalau menantunya cemburu akan perlakuannya pada Maisya. Sifat sensitifnya karena hamil mungkin lebih dominan daripada ketika sebelumnya. Maisya selalu ingin di manja dan orang lain tak boleh merasakan apa yang di rasakannya. Maisya menghentakkan kakinya menu
Mobil yang di Kendarai oleh Ayman di tabrak dari belakang oleh seseorang. Mobil dengan laju santai itu sampai berjalan dengan cepat sendiri. Ayman pun langsung menghentikan mobilnya ketika di rasa mobil belakang yang menghantamnya sudah sedikit menjauh. Beberapa orang yang berada di warung-warung pinggir jalanan juga menghampiri mobil yang menabrak mobil Ayman. Terlihat seorang perempuan paruh baya merintih karena jidatnya menatap stang setir. Tak sedikit orang-orang yang malah memarahi perempuan tersebut. Ayman dan Diajeng yang baru sampai di pinggir mobil itu pun langsung di hujani berbagai pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya. "Gak papa Mas? Mbaknya jugak gak papa?""Ini sedikit gesrek penglihatannya kayaknya Mas, sudah tahu ada mobil di depannya malah di serodok saja.""Keluar Bu, jangan sok nangis!" "Sudah pak, bicara baik-baik saja. Ini saya dan istri saya tak apa-apa kog," sahut Ayman dari belakang bapak-bapak. "Loh, itu kan ibunya Sifa." Seloroh Diajeng sambil celingu
Ibu Tutik sudah berada di depan tempat parkir cafe apung. Sejak pagi ibu Tutik merengek ingin ikut anak bungsunya itu ke tempatnya bekerja. Berbagai alasan tak mampu untuk menolak sang ibu untuk tak mengikutinya bekerja. Pada akhirnya ibu Tutik di tinggal sendiri oleh anaknya. Ibu Tutik pun mengitari semua penjuru cafe. Dari Playground, tempat lesehan yang langsung menyajikan pemandangan pada hamparan sawah. Tak tertinggal juga tempat duduk kursi yang bisa untuk satu keluarga maupun pribadi, bersama teman ataupun sendirian. Di cafe tersebut juga di lengkapi dengan ruangan VVIP dan VIP untuk yang menginginkan private. Setelah puas mengelilingi cafe tersebut, ibu Tutik pun duduk di lesehan dan memesan makanan yang menarik di lidahnya. Tak perlu menunggu lama, semua makanan yang di pesannya pun datang. Tanpa mencari putra bungsunya, ibu Tutik langsung menyantap hidangan yang tersedia di depannya. Ibu Tutik terdiam sejenak ketika mendengar suara ribut di belakangnya. Awalnya ibu Tutik
"Mbak Ajeng kan?" Tanya seorang perempuan paruh baya di tengah keramaian ibunya Sifa. "Iya benar, Ibu siapa ya?" tanya Diajeng."MaasyaAllah Tabarakallah, ternyata Mbak Ajeng cantik sekali. Ramah dan terlihat lembut penyayang." Diajeng tersenyum sungkan, sebab dia tak mengenal perempuan yang berada di depannya. Ibu tersebut tak memperkenalkan dirinya, dia malah mengucapkan terimakasih terimakasih sejak tadi. Diajeng yang kebingungan itu malah di tinggal suaminya entah kemana."Ibu… Ibu ini siapa? Saya tak mengenal Ibu," kata diajeng. "Ya Allah Mbak Ajeng, saking senangnya saya bertemu sampeyan Sampek lupa diri. Saya Ratih Ibunya Riri mbak, saya baru sempat jenguk Riri." Jelas ibu Ratih semringah."Ya Allah Ibu, maaf ya. Ibu mau pulang atau mau kemana ini?" "Saya mau keluar sebentar Mbak, soalnya mau menginap di pesantren. Mumpung lagi jenguk Mbak, di puasin sekalian. Terimakasih banyak ya mbak, sudah berbaik hati dengan Riri. Apalagi kemarin katanya di kasih amplop juga sama suami
Jarum jam masih di angka 05.20 dan Diajeng sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya juga suaminya. Ayman pun telah selesai menyapu rumahnya. Keduanya segera sarapan dan berangkat ke pesantren. Ustadz Faris semalam mengabarkan kalau akan ada kunjungan dari pesantren lain dan mereka akan datang jam 8 pagi. Ustadz Faris juga memasrahkan semua ramah tamah kepada Ayman. Jadilah Diajeng yang memesankan semua makanan di cafenya agar mengantarkannya sebelum jam makan siang.Ayman yang menjadi tangan kanan kiai Dahlan itu mempunyai peran penting di setiap sudut pesantren. Putra pak kiai hanya dua dan putri pertamanya sudah mempunyai pesantren sendiri yang berada di pelosok desa dengan diminta oleh warganya sendiri. Sedangkan putra keduanya lah yang nantinya akan menggantikan posisi kiai Dahlan. "Mas nanti kita mampir di laundry dulu ya, aku sudah chat admin semalam." "Siap ndroro ayu," jawab Ayman."Ish.. gak romantis banget," Kekeh Diajeng."Lho, tunggu saja kalau kita pulang nanti."
Sesampainya di rumah, ibu Tutik di bantu pak supir membawa Maisya yang tengah tidur karena kelelahan. Berulangkali Maisya bergumam ketakutan dalam tidurnya. Ibu Tutik memahami putrinya, hormon seorang ibu hamil yang tak bisa di tebak. Walaupun sedikit kesal dengan tingkah anaknya, namun ibu Tutik juga tak bisa menyalahkannya."Ibuuuu," panggil Maisya. "Kamu sudah bangun," jawab itu Tutik. "Kog sudah di rumah saja Bu, mas Rudi mana? Bu, kalau aku di selingkuhin bagaimana ini huhu," rengek Maisya."Di selingkuhin ya cari laki lain toh Sya. gitu aja dipikirin," sewot ibu Tutik."Tapi Bu…""Kamu mau makan gak? Ibu sudah siapin." ***"Kamu pesan segini banyaknya? Menyala kasirku," gerutu Diajeng."Aku kan pengen nyoba Jeng, kamu gitu banget kalo sama aku. Besok-besok juga kamu gak bakalan khilaf ngebolehin aku pesan sendiri," Sendu Sifa."Ini mah ngrampok namanya," kekeh Diajeng.Sifa memesan 10 menu dan 5 nasi di cafe Diajeng. Tak hanya itu, dia juga memesan
Sesampainya di rumah sakit terdekat, Diajeng panik sendiri melihat kondisi Risma. Dr Mila belum menjelaskan apapun, Risma yang tampak lemas tak berdaya dan pucat itu membuatnya bingung sendiri. Hanya Sifa saja yang dengan santainya menunggu dokter keluar dari ruang IGD. "Sifa, adik kamu sebenarnya sakit apa? Kog gejalanya seperti orang hamil," celetuk dr Mila."Emang hamil Dok, ya wajar kalau pendarahan. Mungkin mau melahirkan," jawab Sifa."Hamil? Risma hamil? Kamu kog malah membiarkan dia berada di pesantren. Kamu tahu sendiri resiko yang akan di tanggungnya kan," geram dr. Mila."Aku sendiri aja baru tahu pagi tadi dari Diajeng," cicit Sifa."Diajeng," cecar dr. Mila."Ibunya sendiri yang bilang Dok, baru tadi malem. Nanti kita tanyakan dia saja ya Dok," pungkas Diajeng."Saudari Sifa," panggil dokter. "Lah, kenapa harus aku sih Dok." Protes Sifa sambil beranjak dari duduknya. "Maaf Dok, kita perwakilan dari saudari Risma, jadi kalau untuk penjelasannya kita harus tahu semuanya.
Hujan deras tetap di terobos oleh Rudi, dalam hati dan otaknya hanya terpusatkan akan kegaduhan istrinya. Maisya yang sejak hamil selalu cemburu padanya itu membuat Rudi semakin mencintai istrinya. Gadis yang mampu separuh mencuri separuh hatinya, sampai dia bisa menjadi pemenang hingga menikahinya. Sesampainya di rumah sang istri, Rudi mendapati Maisya sedang makan rujak di temani kedua orangtuanya. Perempuannya itu langsung menyambut suaminya dengan berhambur memeluknya. Lelah seharian dengan pikiran buntunya itu pada akhirnya berbuah kebahagiaan. Rudi bisa tersenyum lega melihat istrinya bermanja lagi kepadanya. Tanpa rasa malu ataupun sungkan, Rudi menggendong istrinya bak anak kecil yang baru bertemu dengan ibunya. Ayah mertuanya hanya terkekeh sedangkan ibu mertuanya tersenyum bahagia. "Assalamualaikum, widiiih. Bayinya mintak nen," celetuk Bagas tiba-tiba, "Kalau lihat yang tadi dan sekarang, jadi bimbang mau nikah.""Hust, mulutnya." "Sono ke kamar," usir Bagas. "Sewot ba
Koridor rumah sakit tetap sepi seperti biasanya. Ruang ICU hanya boleh di tunggu di luar ruangan, sedangkan pasien di dalam hanya ada Risma saja. Bisa di pastikan tempat yang saat ini hanya ada Diajeng saja itu akan terasa sangat mengerikan. Diajeng keluar begitu saja dari ruang bayi. Adu mulut antara Bu Siska dan ibunya Joko membuatnya tak ingin menambah masalah bagi mereka. Diajeng lebih leluasa sendirian seperti itu, timbang banyak orang hanya ada omongan unfaedah saja. Tetesan air hujan telah merata membasahi bumi. Suara guntur saling bersahutan antara yang satu dengan lainnya. Angin kencang ikut terlihat dari lantai dua tempat yang Diajeng saat ini.Diajeng, perempuan bertubuh mungil itu masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Apalagi kalau bukan karena pernikahannya dengan sang Ustadz. Namun bukan itu yang sedang panas di telinga orang lain, kekayaan Aymanlah yang menjadi kunci dari semua ucapan dari satu mulut ke mulut yang lain. Jika bagi mereka Diajeng orang pilihan
Tangan Sifa di genggam erat oleh seseorang. Tangisnya tak bisa di bendungnya lagi. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya mempermalukannya di depan umum dan dia hanya tersenyum saja. Hari ini, semua perasaan Sifa serasa hancur lebur tak berbentuk. Sifa mendongakkan kepalanya, melihat sosok yang tengah memegangnya. Tangisnya kembali pecah ketika orang yang di ajaknya bicara pun tengah berurai air mata. Keduanya beradu pandang tanpa sepatah kata apapun. Benar, Risma tersadar dari kritisnya. Setelah dua hari tak sadarkan diri. Walaupun tampak lemas tak berdaya, Risma mampu menggenggam saudara SE ayah itu dengan erat. "Maafkan aku Mbak," lirih Risma. Sifa bangkit dengan mengusap pipinya yang basah. Dia memanggil perawat yang berjaga di ruang ICU. Sifa juga menyempatkan diri untuk membasuh mukanya ke toilet. "Apa yang di rasakan Mbak?" tanya perawat. "Sakit semua Kak." "Di buat istirahat dulu ya. Biar nanti langsung di pindahkan ke ruang rawat inap saja." "Kenapa baru bangun kamu, a
Ayman datang bersama ustadz Faris yang karena Diajeng berulangkali tak bisa di hubungi oleh Ayman. Ayman yang awalnya ingin datang ke rumah sakit sendirian, namun ustadz Faris malah mengintil di jok belakang. Mau tak mau Ayman pun datang berdua lagi bersama ustadz Faris. Diajeng tak menyadari suaminya yang duduk di sampingnya. Dr Mila pun sama, mereka berdua mengobrol sembari memejamkan mata. Tanpa menghiraukan Sifa yang bersitegang dengan kawan bicaranya, Diajeng begitu menikmati kedamaiannya."Sayang," panggil Ayman. Sontak Diajeng membelalakkan matanya. Di lihatnya pula Sifa yang wajahnya tampak pucat. Merasa kebingungan, Ayman tersenyum kecil sembari mengedipkan matanya. "Aneh," celetuk Diajeng. "Tetep gantengan aku dong," kekeh Ayman."Loh, Ustadz kog kesini lagi?" Tanya dr Mila ketika menyadari kebisingan di sampingnya. "Iya Dok, tadi Diajeng gak bisa di hubungi. Mau telpon Dokter, saya gak ada nomernya." "Hah? Ada apa Mas? Tadi aku habis jagain Risma di dalam, jadi gak b
Seorang perawat memanggil Diajeng karena masa penungguan pasien sudah habis. Diajeng harus keluar dan nanti akan di panggil lagi kalau sudah waktunya jam menunggu pasien. Perawat juga memberitahu Diajeng kalau Risma sudah menunjukkan perkembangannya. Diajeng keluar di sambut Sifa dengan keinginan tahuannya. Walaupun Sifa tak menyukai sifat adik tirinya itu, namun dia juga sebenarnya merasa kasihan. Bagaimanapun juga, ada darah yang sama di dalam tubuh Risma dan dirinya. "Belum sadar juga?" "Belum Fa, tadi aku ajak dia baca Yasin. Terus aku genggam tangannya dan kudekatkan bibirku di telinga Risma. Alhamdulillah dia respon, dia menangis kayaknya. Soalnya ada air mata yang menetes gitu." "Kamu mencoba berbicara dengannya gak Jeng?" Gantian dr Mila yang penasaran. "Iya Dok, aku bilangin tuh adeknya Sifa. Tak suruh insaf, kalaupun dia enggak selamat kan minimal sudah ada niatan baik gitu. Jangan marah ya Fa hehe," kekeh Diajeng. "Kamu betul sih, soalnya dia juga banyak dosa. Kayakny
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan ICU. Belum ada perkembangan yang lebih baik pada Risma. Keadaannya masih sama, kritis.Orang tua Risma tampak kusut berada di depan ruang ICU. Mata mereka juga sembab. Ibu Risma tak lagi menampakkan wajah garangnya. "Makan dulu Yah, Mah. Habis ini kalian pulang saja, nanti sore baru kesini lagi. Biar kita saja yang menunggu Risma," ujar Sifa. "Kita langsung pulang saja Nak, kasihan Mama nangis terus semalam. Ini nasinya kita bawa pulang saja ya," kata pak Udin. "Oh, bawa saja semuanya kalau begitu Yah. Biar kalian gak beli lagi," kata Sifa. Kedua pasangan paruh baya itu pun beranjak untuk kembali ke rumah mereka. Tanpa menyapa lagi ataupun sekedar senyum. Dr Mila hanya melirik Diajeng sembari tersenyum kecut. Seorang perawat keluar dan mencari keluarga Risma. Di tangannya nampak membawa sebuah kertas yang di serahkan pada Sifa. Perawat hanya meminta Sifa untuk mengambilkan obat yang saat ini sangat di butuhkan ya oleh adi
"Oalah mbak, cantik-cantik kog senengnya merebut calon orang. Mbok ya sing kreatif gitu loh," ujar seorang perempuan muda di toko sayur dan kebutuhan rumah tangga depan komplek. Diajeng yang sedang menemani Sifa itu mengerutkan keningnya. Ibu muda tadi melototkan matanya dengan tajam di hadapan Diajeng. Merasa tak mempunyai masalah, Diajeng pun mengacuhkannya. "Ya begini kalau terlahir dari keluarga tak berpendidikan tinggi, diajak berbicara saja melengos. Sudah merasa menjadi perempuan paling cantik," lanjutnya lagi.Diajeng membuntuti Sifa yang tengah sibuk mencari berbagai kebutuhan yang akan di bawanya ke rumah sakit. Toko sedang ramai, banyak ibu-ibu yang berbelanja sayur saling berbisik. Semua mata mengarah pada Diajeng, dengan mulut mereka berkomat-kamit sangat bising. Dari rumah Diajeng tak berniat membeli apapun. Dia hanya mengantarkan Sifa yang belum tahu Tutik letak toko di daerah sini. Sifa yang keukeh ingin berbelanja itu pada akhirnya meminta Diajeng untuk mengantarka
"Tapi Buk, kenapa harus di samakan sih." Gerutu Maisya mengejar mertuanya."Terserah Ibu dong. Kamu sudah Ibu belikan juga, kenapa harus marah toh Saya." Kedua mertua dan menantu itu berbicara sangat keras sembari berjalan ke arah rumah Diajeng. Baik Diajeng maupun dr Mila hanya terdiam mendengarkan saja. Sifa yang baru hendak ke rumah Diajeng itu malah cengengesan melihat drama yang ada di depannya. "Ya jangan samakan dengan oarang lain dong Bu," kesal Maisya. "Kamu kog ngatur Ibu, terserah Ibu dong. Uang juga punya Ibu sendiri," ucap Bu Dini tak mau kalah. Diajeng menjadi kikuk di datangi oleh tetangga sebelah rumahnya. Bukan tak suka atau tak memperbolehkan orang lain berkunjung, namun Bu Dini datang dengan menantunya yang seakan tak suka pada Diajeng. Tatapan sinis Maisya membuat Diajeng ingin menutup pintunya saja, daripada terjadi kerusuhan antar teman. "Nak Ajeng, maaf ya malah ribut di rumah kalian." "Iya Bu, tak masalah. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu?" tanya Diajeng.
"Sayang, kalau kamu hamil nanti. Aku gak mau jadi yang ke dua," celoteh Ayman. Diajeng yang sudah merem pun kembali melek. Matanya melihat suaminya yang masih setia membelai lembut pipinya. Diajeng pun melanjutkan tidurnya yang tertunda. "Aku bakalan kesepian banget kalau kita nanti punya anak." Ayman berbicara lagi. Diajeng yang memang belum bisa Langsung tidur itu hanya mendengarkan saja. Ayman seolah tahu kalau istrinya belum jadi tidur. "Sayang, kita kapan ya punya anak." "Ambigu banget sih Mas," ujar Diajeng. "Bikin anak yuk," kata Ayman. "Gak pengertian banget jadi suami," jawab Diajeng. Ayman pun terbangun dari posisi tidurnya. Dipijitnya kaki sang istri. Bahkan Ayman memijit Dnegan sangat hati-hati. "MaasyaAllah, terimakasih suamiku. Aku tidur dulu ya," pamit Diajeng. "Ya enggak gitu juga konsepnya Sayang," lirih Ayman yang membuat Diajeng terkekeh bahagia. *** Maisya di temani sang suami berjalan santai di komplek perumahan mertuanya. Udaranya yang seju
Maisya bersama suaminya tengah mengantri untuk cek kandungan di rumah sakit terdekat. Mereka sangat bersemangat karena ingin sekali mengetahui perkembangan sang janin di dalam perut. Banyak sekali perubahan yang di rasakan oleh Maisya, walaupun masih dia masih trimester awal.Dokter yang akan menangani maisya masih belum datang. Walaupun mendapatkan nomor antrian pertama, jam terbang sang dokter molor hingga satu jam lebih. Bahkan maaiya sudah berulangkali mengeluh kecapekan duduk. "Makan dulu," ucap Rudi. Dengan senang hati Maisya membuka mulutnya menerima suapan dari suami tercinta. Pasangan yang menjadi pusat perhatian banyak orang karena sifat maisya yang selalu manja pada suaminya. Bahkan ada yang senyum-senyum malu sendiri melihat kelakuan Maisya. "Manis mas, seperti cintamu yang tak pernah pudar untukku." "Dan kamu adalah obatku agar tak sampai menderita diabet." Maisya tertawa mendengar gombalan Rudi yang garing tanpa ekspresi di dalamnya. Sampai mereka tak menyadari kala