Satu Minggu meliburkan diri dari aktivitas pesantren, kini Ayman juga Diajeng kembali pada kegiatan mereka masing-masing. Rumah mereka yang bisa di tempuh dengan berkendara selama 10 menit itu membuat Ayman tak mau lagi bermalam di pesantren. Diajeng pun menyetujui jika setelah kegiatan mereka selesai, akan langsung pulang ke rumah. Kebahagian mereka sebagai pengantin baru masih terasa hangat. Bahkan Ayman sudah terbiasa bermanja-manja dengan sang istri. Hidup berdua dalam satu atap memang rencana Ayman dari dulu ketika berumah tangga. Namun siapa tahu, kalau tulang rusuknya saat ini adalah gadis cerdas yang selalu berada di depannya di setiap kajiannya. Diajeng di sambut Ning Maya dengan penuh drama. Tangis kepalsuannya sukses membuat para santri yang berseliweran di sana ikut terharu. Diajeng tahu dan sudah sangat hafal, Ning Maya hanya ingin membuatnya di baperin banyak orang. Padahal dalam hatinya tertawa karena sudah berhasil mengerjainya. Di lain sisi, Ayman mendapatkan sambu
"Kamu kenapa ingin menjadi maduku?" Tanya Diajeng pada Risma."Siapa sih mbak Ajeng yang gak mau jadi istrinya ustadz Ayman. Perfect dari berbagai sisi, Baik dan pengertian lagi." Diajeng juga Sifa berpandangan. Risma tak pernah tahu bagaimana keadaan rumah tangga seseorang. Apa yang ddi rasakannya saat ini hanyalah sebuah "Misal suamiku itu miskin bagaimana?" "Saya support lagi agar bisa kaya""Sudahlah jeng, jangan dengarkan kaleng berkas seperi dia. Kaleng bekas seperti dia hanya pantasnya di luar sana." ***Maisya hanya memutar bola matanya saja ketika ibu Tutik mengajaknya berbicara. Ibu Tutik yang kerap kali melihat putrinya itu selalu memesan makanan lewat aplikasi ojek. Bahkan Maisya bisa berkali-kali hanya untuk membeli sesuatu yang bisa di capainya tanpa harus menggunakan kendaraan. "Kalau di kasih uang suamimu itu jangan langsung di habiskan nak, ingatkah ketika kamu sedang tak memiliki uang sama sekali.""Berisik banget sih Bu," jawab Mais
"Kenapa masak banyak sekali Bu?" Tanya Maisya pada ibu mertuanya. Ibu Dini tersenyum, "Nanti kita bagi juga pada Diajeng dan suaminya." Maisya yang mendengarnya pun langsung cemberut. Sejak pagi ibu mertuanya sudah sibuk berkutat di dapur. Ketika masakan sudah jadi, malah Diajeng yang akan menikmatinya. Maisya merasa selalu sakit hati ketika ada yang menyebut nama Diajeng. Masa indah yang di jalaninya bersama Diajeng selama ini berujung kebencian. "Kenapa harus berbagi pada Diajeng Bu?" "Tak ada, Ibu hanya ingin bertetangga dengan baik saja." "Kan kasihan Ibu, sudah capek masak." "Ibu senang kog jika harus berbagi dengan Diajeng. Diajeng itu anaknya sangat ramah dan baik sekali." Maisya memberengut, ibu Dini tak menyadari kalau menantunya cemburu akan perlakuannya pada Maisya. Sifat sensitifnya karena hamil mungkin lebih dominan daripada ketika sebelumnya. Maisya selalu ingin di manja dan orang lain tak boleh merasakan apa yang di rasakannya. Maisya menghentakkan kakinya menu
Mobil yang di Kendarai oleh Ayman di tabrak dari belakang oleh seseorang. Mobil dengan laju santai itu sampai berjalan dengan cepat sendiri. Ayman pun langsung menghentikan mobilnya ketika di rasa mobil belakang yang menghantamnya sudah sedikit menjauh. Beberapa orang yang berada di warung-warung pinggir jalanan juga menghampiri mobil yang menabrak mobil Ayman. Terlihat seorang perempuan paruh baya merintih karena jidatnya menatap stang setir. Tak sedikit orang-orang yang malah memarahi perempuan tersebut. Ayman dan Diajeng yang baru sampai di pinggir mobil itu pun langsung di hujani berbagai pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya. "Gak papa Mas? Mbaknya jugak gak papa?""Ini sedikit gesrek penglihatannya kayaknya Mas, sudah tahu ada mobil di depannya malah di serodok saja.""Keluar Bu, jangan sok nangis!" "Sudah pak, bicara baik-baik saja. Ini saya dan istri saya tak apa-apa kog," sahut Ayman dari belakang bapak-bapak. "Loh, itu kan ibunya Sifa." Seloroh Diajeng sambil celingu
Ibu Tutik sudah berada di depan tempat parkir cafe apung. Sejak pagi ibu Tutik merengek ingin ikut anak bungsunya itu ke tempatnya bekerja. Berbagai alasan tak mampu untuk menolak sang ibu untuk tak mengikutinya bekerja. Pada akhirnya ibu Tutik di tinggal sendiri oleh anaknya. Ibu Tutik pun mengitari semua penjuru cafe. Dari Playground, tempat lesehan yang langsung menyajikan pemandangan pada hamparan sawah. Tak tertinggal juga tempat duduk kursi yang bisa untuk satu keluarga maupun pribadi, bersama teman ataupun sendirian. Di cafe tersebut juga di lengkapi dengan ruangan VVIP dan VIP untuk yang menginginkan private. Setelah puas mengelilingi cafe tersebut, ibu Tutik pun duduk di lesehan dan memesan makanan yang menarik di lidahnya. Tak perlu menunggu lama, semua makanan yang di pesannya pun datang. Tanpa mencari putra bungsunya, ibu Tutik langsung menyantap hidangan yang tersedia di depannya. Ibu Tutik terdiam sejenak ketika mendengar suara ribut di belakangnya. Awalnya ibu Tutik
"Mbak Ajeng kan?" Tanya seorang perempuan paruh baya di tengah keramaian ibunya Sifa. "Iya benar, Ibu siapa ya?" tanya Diajeng."MaasyaAllah Tabarakallah, ternyata Mbak Ajeng cantik sekali. Ramah dan terlihat lembut penyayang." Diajeng tersenyum sungkan, sebab dia tak mengenal perempuan yang berada di depannya. Ibu tersebut tak memperkenalkan dirinya, dia malah mengucapkan terimakasih terimakasih sejak tadi. Diajeng yang kebingungan itu malah di tinggal suaminya entah kemana."Ibu… Ibu ini siapa? Saya tak mengenal Ibu," kata diajeng. "Ya Allah Mbak Ajeng, saking senangnya saya bertemu sampeyan Sampek lupa diri. Saya Ratih Ibunya Riri mbak, saya baru sempat jenguk Riri." Jelas ibu Ratih semringah."Ya Allah Ibu, maaf ya. Ibu mau pulang atau mau kemana ini?" "Saya mau keluar sebentar Mbak, soalnya mau menginap di pesantren. Mumpung lagi jenguk Mbak, di puasin sekalian. Terimakasih banyak ya mbak, sudah berbaik hati dengan Riri. Apalagi kemarin katanya di kasih amplop juga sama suami
Jarum jam masih di angka 05.20 dan Diajeng sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya juga suaminya. Ayman pun telah selesai menyapu rumahnya. Keduanya segera sarapan dan berangkat ke pesantren. Ustadz Faris semalam mengabarkan kalau akan ada kunjungan dari pesantren lain dan mereka akan datang jam 8 pagi. Ustadz Faris juga memasrahkan semua ramah tamah kepada Ayman. Jadilah Diajeng yang memesankan semua makanan di cafenya agar mengantarkannya sebelum jam makan siang.Ayman yang menjadi tangan kanan kiai Dahlan itu mempunyai peran penting di setiap sudut pesantren. Putra pak kiai hanya dua dan putri pertamanya sudah mempunyai pesantren sendiri yang berada di pelosok desa dengan diminta oleh warganya sendiri. Sedangkan putra keduanya lah yang nantinya akan menggantikan posisi kiai Dahlan. "Mas nanti kita mampir di laundry dulu ya, aku sudah chat admin semalam." "Siap ndroro ayu," jawab Ayman."Ish.. gak romantis banget," Kekeh Diajeng."Lho, tunggu saja kalau kita pulang nanti."
Sesampainya di rumah, ibu Tutik di bantu pak supir membawa Maisya yang tengah tidur karena kelelahan. Berulangkali Maisya bergumam ketakutan dalam tidurnya. Ibu Tutik memahami putrinya, hormon seorang ibu hamil yang tak bisa di tebak. Walaupun sedikit kesal dengan tingkah anaknya, namun ibu Tutik juga tak bisa menyalahkannya."Ibuuuu," panggil Maisya. "Kamu sudah bangun," jawab itu Tutik. "Kog sudah di rumah saja Bu, mas Rudi mana? Bu, kalau aku di selingkuhin bagaimana ini huhu," rengek Maisya."Di selingkuhin ya cari laki lain toh Sya. gitu aja dipikirin," sewot ibu Tutik."Tapi Bu…""Kamu mau makan gak? Ibu sudah siapin." ***"Kamu pesan segini banyaknya? Menyala kasirku," gerutu Diajeng."Aku kan pengen nyoba Jeng, kamu gitu banget kalo sama aku. Besok-besok juga kamu gak bakalan khilaf ngebolehin aku pesan sendiri," Sendu Sifa."Ini mah ngrampok namanya," kekeh Diajeng.Sifa memesan 10 menu dan 5 nasi di cafe Diajeng. Tak hanya itu, dia juga memesan
Sesampainya di rumah sakit terdekat, Diajeng panik sendiri melihat kondisi Risma. Dr Mila belum menjelaskan apapun, Risma yang tampak lemas tak berdaya dan pucat itu membuatnya bingung sendiri. Hanya Sifa saja yang dengan santainya menunggu dokter keluar dari ruang IGD. "Sifa, adik kamu sebenarnya sakit apa? Kog gejalanya seperti orang hamil," celetuk dr Mila."Emang hamil Dok, ya wajar kalau pendarahan. Mungkin mau melahirkan," jawab Sifa."Hamil? Risma hamil? Kamu kog malah membiarkan dia berada di pesantren. Kamu tahu sendiri resiko yang akan di tanggungnya kan," geram dr. Mila."Aku sendiri aja baru tahu pagi tadi dari Diajeng," cicit Sifa."Diajeng," cecar dr. Mila."Ibunya sendiri yang bilang Dok, baru tadi malem. Nanti kita tanyakan dia saja ya Dok," pungkas Diajeng."Saudari Sifa," panggil dokter. "Lah, kenapa harus aku sih Dok." Protes Sifa sambil beranjak dari duduknya. "Maaf Dok, kita perwakilan dari saudari Risma, jadi kalau untuk penjelasannya kita harus tahu semuanya.
Sesampainya di rumah, ibu Tutik di bantu pak supir membawa Maisya yang tengah tidur karena kelelahan. Berulangkali Maisya bergumam ketakutan dalam tidurnya. Ibu Tutik memahami putrinya, hormon seorang ibu hamil yang tak bisa di tebak. Walaupun sedikit kesal dengan tingkah anaknya, namun ibu Tutik juga tak bisa menyalahkannya."Ibuuuu," panggil Maisya. "Kamu sudah bangun," jawab itu Tutik. "Kog sudah di rumah saja Bu, mas Rudi mana? Bu, kalau aku di selingkuhin bagaimana ini huhu," rengek Maisya."Di selingkuhin ya cari laki lain toh Sya. gitu aja dipikirin," sewot ibu Tutik."Tapi Bu…""Kamu mau makan gak? Ibu sudah siapin." ***"Kamu pesan segini banyaknya? Menyala kasirku," gerutu Diajeng."Aku kan pengen nyoba Jeng, kamu gitu banget kalo sama aku. Besok-besok juga kamu gak bakalan khilaf ngebolehin aku pesan sendiri," Sendu Sifa."Ini mah ngrampok namanya," kekeh Diajeng.Sifa memesan 10 menu dan 5 nasi di cafe Diajeng. Tak hanya itu, dia juga memesan
Jarum jam masih di angka 05.20 dan Diajeng sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya juga suaminya. Ayman pun telah selesai menyapu rumahnya. Keduanya segera sarapan dan berangkat ke pesantren. Ustadz Faris semalam mengabarkan kalau akan ada kunjungan dari pesantren lain dan mereka akan datang jam 8 pagi. Ustadz Faris juga memasrahkan semua ramah tamah kepada Ayman. Jadilah Diajeng yang memesankan semua makanan di cafenya agar mengantarkannya sebelum jam makan siang.Ayman yang menjadi tangan kanan kiai Dahlan itu mempunyai peran penting di setiap sudut pesantren. Putra pak kiai hanya dua dan putri pertamanya sudah mempunyai pesantren sendiri yang berada di pelosok desa dengan diminta oleh warganya sendiri. Sedangkan putra keduanya lah yang nantinya akan menggantikan posisi kiai Dahlan. "Mas nanti kita mampir di laundry dulu ya, aku sudah chat admin semalam." "Siap ndroro ayu," jawab Ayman."Ish.. gak romantis banget," Kekeh Diajeng."Lho, tunggu saja kalau kita pulang nanti."
"Mbak Ajeng kan?" Tanya seorang perempuan paruh baya di tengah keramaian ibunya Sifa. "Iya benar, Ibu siapa ya?" tanya Diajeng."MaasyaAllah Tabarakallah, ternyata Mbak Ajeng cantik sekali. Ramah dan terlihat lembut penyayang." Diajeng tersenyum sungkan, sebab dia tak mengenal perempuan yang berada di depannya. Ibu tersebut tak memperkenalkan dirinya, dia malah mengucapkan terimakasih terimakasih sejak tadi. Diajeng yang kebingungan itu malah di tinggal suaminya entah kemana."Ibu… Ibu ini siapa? Saya tak mengenal Ibu," kata diajeng. "Ya Allah Mbak Ajeng, saking senangnya saya bertemu sampeyan Sampek lupa diri. Saya Ratih Ibunya Riri mbak, saya baru sempat jenguk Riri." Jelas ibu Ratih semringah."Ya Allah Ibu, maaf ya. Ibu mau pulang atau mau kemana ini?" "Saya mau keluar sebentar Mbak, soalnya mau menginap di pesantren. Mumpung lagi jenguk Mbak, di puasin sekalian. Terimakasih banyak ya mbak, sudah berbaik hati dengan Riri. Apalagi kemarin katanya di kasih amplop juga sama suami
Ibu Tutik sudah berada di depan tempat parkir cafe apung. Sejak pagi ibu Tutik merengek ingin ikut anak bungsunya itu ke tempatnya bekerja. Berbagai alasan tak mampu untuk menolak sang ibu untuk tak mengikutinya bekerja. Pada akhirnya ibu Tutik di tinggal sendiri oleh anaknya. Ibu Tutik pun mengitari semua penjuru cafe. Dari Playground, tempat lesehan yang langsung menyajikan pemandangan pada hamparan sawah. Tak tertinggal juga tempat duduk kursi yang bisa untuk satu keluarga maupun pribadi, bersama teman ataupun sendirian. Di cafe tersebut juga di lengkapi dengan ruangan VVIP dan VIP untuk yang menginginkan private. Setelah puas mengelilingi cafe tersebut, ibu Tutik pun duduk di lesehan dan memesan makanan yang menarik di lidahnya. Tak perlu menunggu lama, semua makanan yang di pesannya pun datang. Tanpa mencari putra bungsunya, ibu Tutik langsung menyantap hidangan yang tersedia di depannya. Ibu Tutik terdiam sejenak ketika mendengar suara ribut di belakangnya. Awalnya ibu Tutik
Mobil yang di Kendarai oleh Ayman di tabrak dari belakang oleh seseorang. Mobil dengan laju santai itu sampai berjalan dengan cepat sendiri. Ayman pun langsung menghentikan mobilnya ketika di rasa mobil belakang yang menghantamnya sudah sedikit menjauh. Beberapa orang yang berada di warung-warung pinggir jalanan juga menghampiri mobil yang menabrak mobil Ayman. Terlihat seorang perempuan paruh baya merintih karena jidatnya menatap stang setir. Tak sedikit orang-orang yang malah memarahi perempuan tersebut. Ayman dan Diajeng yang baru sampai di pinggir mobil itu pun langsung di hujani berbagai pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya. "Gak papa Mas? Mbaknya jugak gak papa?""Ini sedikit gesrek penglihatannya kayaknya Mas, sudah tahu ada mobil di depannya malah di serodok saja.""Keluar Bu, jangan sok nangis!" "Sudah pak, bicara baik-baik saja. Ini saya dan istri saya tak apa-apa kog," sahut Ayman dari belakang bapak-bapak. "Loh, itu kan ibunya Sifa." Seloroh Diajeng sambil celingu
"Kenapa masak banyak sekali Bu?" Tanya Maisya pada ibu mertuanya. Ibu Dini tersenyum, "Nanti kita bagi juga pada Diajeng dan suaminya." Maisya yang mendengarnya pun langsung cemberut. Sejak pagi ibu mertuanya sudah sibuk berkutat di dapur. Ketika masakan sudah jadi, malah Diajeng yang akan menikmatinya. Maisya merasa selalu sakit hati ketika ada yang menyebut nama Diajeng. Masa indah yang di jalaninya bersama Diajeng selama ini berujung kebencian. "Kenapa harus berbagi pada Diajeng Bu?" "Tak ada, Ibu hanya ingin bertetangga dengan baik saja." "Kan kasihan Ibu, sudah capek masak." "Ibu senang kog jika harus berbagi dengan Diajeng. Diajeng itu anaknya sangat ramah dan baik sekali." Maisya memberengut, ibu Dini tak menyadari kalau menantunya cemburu akan perlakuannya pada Maisya. Sifat sensitifnya karena hamil mungkin lebih dominan daripada ketika sebelumnya. Maisya selalu ingin di manja dan orang lain tak boleh merasakan apa yang di rasakannya. Maisya menghentakkan kakinya menu
"Kamu kenapa ingin menjadi maduku?" Tanya Diajeng pada Risma."Siapa sih mbak Ajeng yang gak mau jadi istrinya ustadz Ayman. Perfect dari berbagai sisi, Baik dan pengertian lagi." Diajeng juga Sifa berpandangan. Risma tak pernah tahu bagaimana keadaan rumah tangga seseorang. Apa yang ddi rasakannya saat ini hanyalah sebuah "Misal suamiku itu miskin bagaimana?" "Saya support lagi agar bisa kaya""Sudahlah jeng, jangan dengarkan kaleng berkas seperi dia. Kaleng bekas seperti dia hanya pantasnya di luar sana." ***Maisya hanya memutar bola matanya saja ketika ibu Tutik mengajaknya berbicara. Ibu Tutik yang kerap kali melihat putrinya itu selalu memesan makanan lewat aplikasi ojek. Bahkan Maisya bisa berkali-kali hanya untuk membeli sesuatu yang bisa di capainya tanpa harus menggunakan kendaraan. "Kalau di kasih uang suamimu itu jangan langsung di habiskan nak, ingatkah ketika kamu sedang tak memiliki uang sama sekali.""Berisik banget sih Bu," jawab Mais
Satu Minggu meliburkan diri dari aktivitas pesantren, kini Ayman juga Diajeng kembali pada kegiatan mereka masing-masing. Rumah mereka yang bisa di tempuh dengan berkendara selama 10 menit itu membuat Ayman tak mau lagi bermalam di pesantren. Diajeng pun menyetujui jika setelah kegiatan mereka selesai, akan langsung pulang ke rumah. Kebahagian mereka sebagai pengantin baru masih terasa hangat. Bahkan Ayman sudah terbiasa bermanja-manja dengan sang istri. Hidup berdua dalam satu atap memang rencana Ayman dari dulu ketika berumah tangga. Namun siapa tahu, kalau tulang rusuknya saat ini adalah gadis cerdas yang selalu berada di depannya di setiap kajiannya. Diajeng di sambut Ning Maya dengan penuh drama. Tangis kepalsuannya sukses membuat para santri yang berseliweran di sana ikut terharu. Diajeng tahu dan sudah sangat hafal, Ning Maya hanya ingin membuatnya di baperin banyak orang. Padahal dalam hatinya tertawa karena sudah berhasil mengerjainya. Di lain sisi, Ayman mendapatkan sambu