Pukul 12 lewat 20 menit Kara sudah melenggang masuk ke dalam lobby kantor Dean dengan membawa paper bag berisi makanan yang dimasak Gilang. Ia berjalan riang sambil bersenandung ke arah meja Reseptionis untuk meminta izin masuk ke ruangan Dean.
“Selamat siang Bu.” sapa petugas Reseptionis.
“Siang Mbak, saya mau ketemu Pak Dean.” sahut Kara.
“Maaf sebelumnya, ini dengan Ibu siapa?” tanya petugas itu lagi, sepertinya ia karyawan baru jadi tak mengenali Kara.
“Bu Dean, eh maksudnya Bu Kara.” ralat Kara cepat. Gara-gara Ibu-ibu Winter Garden, ia jadi lupa dengan namanya sendiri.
“Baik sebentar saya konfirmasi ke Pak Dean dulu.”
Kara pun menunggu beberapa saat sambil memperhatikan lobby kantor yang tampak besar dan memiliki arsitektur yang mewah. Pantas saja Dean mati-matian merencanakan pernikahan palsu demi warisan sebesar ini.
“Bu Kara.” panggil petugas reseptionis
Kara melihat ke arah Dean yang masih berusaha membuat alasan untuk para Om dan Tantenya. Namun hari ini ia sudah banyak melakukan kesalahan di depan ketiga Tante Dean. Hingga ia memikirkan sebuah cara untuk menebusnya. Ia pun meraih jaket Dean dengan sebelah tangannya hingga pria itu menghadap ke arahnya, lalu dengan tenang Kara mendaratkan bibirnya di atas bibir Dean hingga pria itu berhenti bicara.Dengan mata yang tertutup, kara kemudian melingkarkan kedua tangannya di belakang leher Dean dan meringkan kepalanya sedikit agar seluruh permukaan bibirnya bisa menjangkau seluruh permukaan bibir Dean juga.Sementara itu berbeda dengan Kara, mata Dean malah masih terbuka lebar karena kaget. Ia tak menyangka jika Kara akan menciumnya. Namun rasa kagetnya cepat menghilang karena ia mulai menikmati sentuhan bibir Kara yang membuat rasa menggelitik di perutnya semakin menjadi. Tanpa sadar ia pun memejamkan matanya, meraih kedua pipi Kara dengan tangannya dan ikut menggerakkan
“Rileks aja Ndre, jangan tegang, pokoknya lo percaya aja sama gue.”“Hm… ini tinggal dimajuin aja Mbak Rumi?”“Iya, lo abis itu lo teken pelan-pelan deh, jangan kenceng-kenceng.”Andre menghela napas panjang sebelum akhirnya ia mengarahkan perseneling mobil ke arah huruf D.“Nah ayo teken gasnya pelan-pelan.” arah Rumi dengan sabar yang duduk di kursi samping.Andrea pun menekan pedal gas dengan kaki kanannya dengan perlahan hingga mobil yang mereka tumpangi bergerak perlahan.“Oke, pertahankan, terus di depan nanti lo siap-siap belok.”Andre pun mendengarkan arahan Rumi dengan seksama, matanya terus fokus melihat jalan kosong yang ada di depannya.“Nah ayo puter stirnya ke kanan dikit.” suruh Rumi saat mereka bertemu belokan.“Kaya gini Mbak?” Andre memutar stirnya ke arah kanan, namun ia memutarnya terlalu banyak hingga mobil itu
“Jadi…” Dean menggantung sejenak kata-katanya sambil melihat tumpukan barang-barangnya yang berserakan di depannya. “Gue tidur di sini? sama lo? Di kamar ini?” tanyanya dengan wajah super malas. “Mau gimana lagi, kalo Ayah gue tau kita tidur beda kamar, bisa heboh!” bisik Kara. “Tapi… arggh… kenapa gak barang-barang lo aja yang di pindahin ke kamar gue. liat nih barang-barang gue, berantakan, lo tau berapa harga jam ini?” geram Dean gemas karena Kara meletakkan koleksi jam tangan mahalnya begitu saja di atas karpet kamarnya tanpa dialasi apapun. “Gak ada waktu, barang-barang lo lebih sedikit dari gue, jadi gampang dipindahinnya.” “Tapi seenggaknya susun barang-barang gue dengan benar!” sengit Dean. “Heh kuping lo budeg apa gimana sih, udah gue bilang gak ada waktu, Ayah gue keburu dateng!” sahut Kara tak kalah sengit. Dean mengatur napasnya sesaat. Ia sudah merasa lelah karena harus lembur hari ini, namun kini Kara malah menamb
Kara setengah berlari saat melihat tiga Ibu-ibu Winter Garden melambaikan tangan ke arahnya. Ia memang membuat janji dengan Trio itu untuk bertemu setelah makan siang di taman yang ada di samping Apartemen.“Gimana? Udah dipasang?” tembak Kara langsung begitu sampai di depan mereka.“Udah dong Bu Dean, nih Bu Dean liat sendiri.” sahut Bu Bambang lalu menyuruh Bu Rudi untuk menunjukan laptopnya.“Nih Bu Dean, CCTV-nya sudah di taro di depan pintunya, di selipin di pot tanaman.” jelas Bu Rudi yang menunjukan tampilan situasi depan rumah Jojo dengan laptop Suaminya.“Hm… bagus, berarti sekarang kita tinggal tunggu aja, tetap awasi, kalau ada yang mencurigakan kabari saya ya Ibu-ibu.” ucap Kara mantap.“Beres Bu, eh tapi Bu Dean mau kemana? Rapi banget?” tanya Bu Haikal.“Saya mau pergi sebentar, ada urusan, nanti malam kita ketemu lagi ya Ibu-ibu, pokoknya kita harus dapet
“Ayo pergi dari sini Rumi!” bentak Hadi sambil menyeka darah di sudut bibirnya.Andrea mendengus kasar, “Lo masih gak ngerti, dia itu gak mau pergi sama lo!”“Diam kamu! Anak kecil jangan ikut campur!”“Kalo anda merasa dewasa, harusnya jangan main kasar sama perempuan!” Andrea langsung menarik tangan Rumi yang tengah mabuk berat ke belakang tubuhnya.Hadi meringis sambil bertolak pinggang, “Saya pacarnya, kamu siapa? Kamu cuma karyawannya kan?” sinisnya.“Ini bukan Aprodite, di luar saya teman Mbak Rumi, udah kewajiban saya melindungi dia dari orang Berengsek macam anda!” sengit Andrea yang tak takut menatap langsung ke mata Hadi.Rumi berusaha sekuat mungkin mengumpulkan kesadarannya, ia tak mau dua pria ini saling memukul lagi. Namun sepertinya Hadi tak mau menggubris kata-kata Andrea. Ia terus berusaha menarik tangan Rumi hingga Andrea terpaksa melayangkan kembali se
Bunyi alarm membangunkan Dean tepat pada pukul 6 pagi. Dengan malas ia mematikan alarm di layar ponselnya lalu mengangkat punggungnya untuk mengambil posisi duduk. Ia memijat pelan keningnya yang terasa pusing karena ia baru tidur selama 2 jam. Kejadian semalam membuatnya tak bisa tidur. Berciuman dengan Kara adalah hal yang tak pernah ia bayangkan. Namun anehnya kenyataan bahwa ia juga menikmatinya juga tak pernah ia bayangkan.Bagaimana bisa ia dan Kara melakukan hal yang justru harus mereka hindari. Mereka berdua sama-sama tak percaya dengan yang namanya cinta. Lantas apa arti ciuman mereka semalam? Apakah itu hanya dorongan hawa nafsu seksual mereka? ini tentu tak baik, apalagi dalam hubungan palsu seperti ini."Hhh... Apa dia udah bangun sekarang?" gumam Dean.Dean pun memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Meski ia tak siap bertemu Kara, namun ia harus melihat keadaan wanita itu, bagaimanapun semalam ia dalam pengaruh alkohol. Namun saat ia baru sa
Sekotak Donat berisi selai Bluberry ada di atas pangkuan Karin yang sedang duduk santai menikmati angin sore di taman Rumah Sakit. Ia memakan Donat itu dengan lahap hingga selainya tertinggal disudut bibirnya.“Jangan buru-buru makannya Bu Karin.” ucap Dean sambil menyeka selai itu dengan tisu.Karin pun tersenyum malu lalu merebut tisu dari tangan Dean dan mengelap mulutnya sendiri.“Hari ini Donatnya terasa lebih enak.” sahutnya sambil tersenyum.“Itu karena Bu Karin lapar aja kali.” ledek Dean.Karin pun terkekeh, “Ah iya, bukanya Pak Pengacara mau bawa Istrinya ke sini? Katanya mau dikenalin ke saya.”Dean tersenyum getir, Ibunya benar-benar tak mengingat kejadian waktu itu?“Hm… Bu Karin mau ketemu Istri saya?”Karin mengangguk, “Mau, ayo ajak dia ke sini.”Dean lagi-lagi tersenyum, namun kali ini senyumnya tampak tulus, “Oh iya say
Jantung Dean langsung berdebar begitu melihat Kara muncul di depannya. Ia tak tau apa sebabnya, ditambah mendengar suara Kara yang memanggil namanya barusan membuat rasa menggelitik muncul di perutnya. Apakah karena sudah lama ia tak mendengarnya?“Ngapain lo di sini?” tanya Kara yang membuat Dean kembali fokus.“Em….” Dean jadi gugup di tempat.Kara yang tak kunjung mendapat jawaban dari Dean pun melangkah masuk ke ruang tengah, ia memang baru kembali dari minimarket di dekat rumahnya. Namun ia melewati Dean begitu saja dan menghampiri teman-teman Gilang yang masih asik sendiri menyaksikan pertandingan sepak bola.“Nih titipan kalian, abis makan di rapihin lagi ya, jangan berantakan.” pesan Kara sambil memberikan sekantung plastik berisi snack dan minuman kaleng.“Makasih Kak Kara.” sahut dua orang yang membantu Kara mengeluarkan semua jajanan itu.Setelah itu Kara kembali melihat Dean
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.“Ke rumah Jojo?”“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Kara mengintip dari balik pintu kaca Aprodite Café yang masih tertutup rapat, padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi. Harusnya Café ini sudah buka sejak satu jam yang lalu.“Sepi banget sih?” gumam Kara, ia memang sedikit khawatir pada Rumi makanya ia memutuskan untuk datang menemuinya saja dari pada mendengarnya bicara lewat telepon.Namun baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelepon Rumi, Andrea keburu datang dan menepuk pundaknya dari belakang.“Mbak Kara.” sapa Andrea.“Eh kaget!” Kara sedikit melenjit, “Gak ada suaranya lo Ndre ah!” protes Kara.“Heheh maaf Mbak, Mbak Kara ngapain?”“Kok masih tutup Cafenya? Rumi mana?” tanya Kara langsung.“Mbak Rumi masih di jalan katanya, tadi abis dari salon dulu katanya.” jelas Andrea.Kara pun mengangguk mengerti, “Em… lo masih kerja di Club waktu itu Ndre?&rdq
Hubungan Dean dan Kara benar-benar berubah 180º. Kontrak penuh poin perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya seperti sengaja mereka lupakan begitu saja tanpa ada yang berniat membahasnya. Kini tak ada lagi batas kontak fisik, keduanya bisa saling menyentuh satu-sama lain kapanpun mereka mau. Kini mereka tak lagi berpisah saat malam datang. Entah itu di kamar Kara, atau di kamar Dean, melewati malam bersama kini sudah menjadi hal rutin yang tak bisa mereka lewatkan, baik hanya untuk saling bercengkrama, berkeluh kesah, berpelukan, atau bercinta sampai lelah.Satu bulan pun terlewat begitu saja dengan bertambahnya kisah Kara dan Dean yang sedang dimabuk cinta.“Lo lagi baca apa?” tanya Dean yang dari tadi merasa dicueki.“Buku baru.” sahut Kara yang masih asik membaca Novel berbahasa Inggris yang baru ia beli.Dean menyentuh lengan Kara dengan jari telunjuknya dan mengusapnya lembut, sambil mengamati wajah Kara dari samping.
Pintu ruangan Dean terbuka setelah diketuk dua kali. Lalu masuklah seorang Pria yang membawa tumpukan kertas tebal di tangannya.“Siang Pak Dean, ini print out kasus Pak Hendra yang tadi Pak Dean minta.” ucap Pria kurus itu yang bernama Dikta, dia adalah Junior Dean di Fakultas Hukum dulu, dan kini ia menjadi asisten Dean di Alpha Law Firm.“Hm, taro aja di meja.” sahut Dean sambil menunjuk meja sofa dengan dagunya.“Ah iya Pak, sidang kasus perceraian Bu Sarah itu saya kasih ke siapa ya? Pak Dean udah gak bisa urus itu kan?” tanya Dikta.Dean berhenti sejenak untuk berpikir, “Hm… kamu lagi ngerjain kasus apa?”“Saya masih bantuin kasus sengketa tanah Apotek yang di Ancol.”“Kamu bisa kalo pegang kasusnya Bu Sarah sekalian?”Mata Dikta langsung berbinar, “Beneran Pak? Saya boleh pegang kasus ini?”Dean mengangguk, “Ya, pela
Kara mengekori Dean begitu Pria itu masuk ke dalam rumah setelah kembali dari unit Apartemen Bu Bambang yang ada di lantai 11.“Gimana? Lo gak di laporin Polisi kan?” tanya Kara penasaran.“Gue gak akan bisa masuk penjara, itu kan bentuk pertahanan diri, yang penting udah ada buktinya dia nyerang lo duluan.” sahut Dean sambil mengambil air dingin dari kulkas.“Tapi tuh orang sampe babak belur hampir mati begitu, kalo dia nuntut lo gimana?”“Bodo, salah sendiri mancing emosi gue.” sahut Dean enteng, namun setelah itu ia mendelik ke arah Kara.“Yak! Udah gue bilang, segalak-galaknya lo, jangan coba-coba cari masalah sama orang jahat, kenapa lo hobi banget nantangin orang? Seandainya gak ada gue semalem bisa-bisa lo yang ada di rumah sakit sekarang.” omel Dean.Kara langsung melengos, pasti ada saja ocehan Dean yang hinggap padanya.“Itu karena lo gak percaya sama gue, kan