“Ayo pergi dari sini Rumi!” bentak Hadi sambil menyeka darah di sudut bibirnya.
Andrea mendengus kasar, “Lo masih gak ngerti, dia itu gak mau pergi sama lo!”
“Diam kamu! Anak kecil jangan ikut campur!”
“Kalo anda merasa dewasa, harusnya jangan main kasar sama perempuan!” Andrea langsung menarik tangan Rumi yang tengah mabuk berat ke belakang tubuhnya.
Hadi meringis sambil bertolak pinggang, “Saya pacarnya, kamu siapa? Kamu cuma karyawannya kan?” sinisnya.
“Ini bukan Aprodite, di luar saya teman Mbak Rumi, udah kewajiban saya melindungi dia dari orang Berengsek macam anda!” sengit Andrea yang tak takut menatap langsung ke mata Hadi.
Rumi berusaha sekuat mungkin mengumpulkan kesadarannya, ia tak mau dua pria ini saling memukul lagi. Namun sepertinya Hadi tak mau menggubris kata-kata Andrea. Ia terus berusaha menarik tangan Rumi hingga Andrea terpaksa melayangkan kembali se
Bunyi alarm membangunkan Dean tepat pada pukul 6 pagi. Dengan malas ia mematikan alarm di layar ponselnya lalu mengangkat punggungnya untuk mengambil posisi duduk. Ia memijat pelan keningnya yang terasa pusing karena ia baru tidur selama 2 jam. Kejadian semalam membuatnya tak bisa tidur. Berciuman dengan Kara adalah hal yang tak pernah ia bayangkan. Namun anehnya kenyataan bahwa ia juga menikmatinya juga tak pernah ia bayangkan.Bagaimana bisa ia dan Kara melakukan hal yang justru harus mereka hindari. Mereka berdua sama-sama tak percaya dengan yang namanya cinta. Lantas apa arti ciuman mereka semalam? Apakah itu hanya dorongan hawa nafsu seksual mereka? ini tentu tak baik, apalagi dalam hubungan palsu seperti ini."Hhh... Apa dia udah bangun sekarang?" gumam Dean.Dean pun memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Meski ia tak siap bertemu Kara, namun ia harus melihat keadaan wanita itu, bagaimanapun semalam ia dalam pengaruh alkohol. Namun saat ia baru sa
Sekotak Donat berisi selai Bluberry ada di atas pangkuan Karin yang sedang duduk santai menikmati angin sore di taman Rumah Sakit. Ia memakan Donat itu dengan lahap hingga selainya tertinggal disudut bibirnya.“Jangan buru-buru makannya Bu Karin.” ucap Dean sambil menyeka selai itu dengan tisu.Karin pun tersenyum malu lalu merebut tisu dari tangan Dean dan mengelap mulutnya sendiri.“Hari ini Donatnya terasa lebih enak.” sahutnya sambil tersenyum.“Itu karena Bu Karin lapar aja kali.” ledek Dean.Karin pun terkekeh, “Ah iya, bukanya Pak Pengacara mau bawa Istrinya ke sini? Katanya mau dikenalin ke saya.”Dean tersenyum getir, Ibunya benar-benar tak mengingat kejadian waktu itu?“Hm… Bu Karin mau ketemu Istri saya?”Karin mengangguk, “Mau, ayo ajak dia ke sini.”Dean lagi-lagi tersenyum, namun kali ini senyumnya tampak tulus, “Oh iya say
Jantung Dean langsung berdebar begitu melihat Kara muncul di depannya. Ia tak tau apa sebabnya, ditambah mendengar suara Kara yang memanggil namanya barusan membuat rasa menggelitik muncul di perutnya. Apakah karena sudah lama ia tak mendengarnya?“Ngapain lo di sini?” tanya Kara yang membuat Dean kembali fokus.“Em….” Dean jadi gugup di tempat.Kara yang tak kunjung mendapat jawaban dari Dean pun melangkah masuk ke ruang tengah, ia memang baru kembali dari minimarket di dekat rumahnya. Namun ia melewati Dean begitu saja dan menghampiri teman-teman Gilang yang masih asik sendiri menyaksikan pertandingan sepak bola.“Nih titipan kalian, abis makan di rapihin lagi ya, jangan berantakan.” pesan Kara sambil memberikan sekantung plastik berisi snack dan minuman kaleng.“Makasih Kak Kara.” sahut dua orang yang membantu Kara mengeluarkan semua jajanan itu.Setelah itu Kara kembali melihat Dean
Kara melewatkan dering teleponnya yang ketiga karena ia baru saja selesai mandi. Ia melihat nama Bu Bambang di layar ponselnya. Ada apa Bu Bambang meneleponnya hingga berkali-kali seperti ini? Ia pun memutuskan untuk menghubungi Bu Bambang kembali.“Haduh Bu Dean kemana aja!” semprotnya yang membuat Kara menjauhkan ponselnya dari telinga.“Iya Bu, maaf tadi dari kamar mandi, kenapa ya?”“Cepet ke taman, saya sama ibu-ibu yang lain udah nunggu di sini nih, ada yang mau kami tunjukin di CCTV rumahnya Jojo.”Kara langsung menepuk dahinya, bisa-bisanya ia lupa soal Jojo.“Iya Bu, saya langsung turun, tunggu di situ, jangan kemana-mana ya!” tutup Kara cepat lalu keluar dari Apartemennya untuk menemui Trio Winter Garder di Taman.Sesampainya di taman, Kara celingukan mencari tiga Ibu-ibu itu, untungnya suara Ibu Haikal yang memanggil namanya bisa ia dengar. Sehingga Kara bisa bergab
Lampu neon box Aprodite Café sudah padam sejak 30 menit yang lalu. Namun Rumi masih berkutat di depan mesin kasirnya untuk menghitung pendapatan yang masuk hari ini. Andrea yang baru selesai memasukkan bangku di teras Café pun masuk kembali karena di luar mulai turun hujan lebat.“Mbak, papan menu di luar dimasukin aja kali ya, takut basah, ujannya gede.” tanya Andrea setengah berteriak karena suara hujan yang kencang.Rumi mengangguk sambil mengacungkan Ibu jarinya. Andrea pun keluar lagi untuk mengambil papan menu dan meletakkannya di dalam.“Kamu mau langsung pulang Ndre? Masih hujan.” tanya Rumi begitu selesai dengan hitung-hitungannya.“Iya Mbak, saya ada kuliah pagi besok.”“Oh gitu, yaudah hati-hati ya, bawa jas hujan kan?”“Ada kok Mbak di motor.”“Oke, sampai ketemu besok.”Andrea mengangguk, lalu mengambil tasnya dan berjalan ke luar
“Pak Pengacara!” seru Karin sambil melambaikan tangannya begitu melihat Dean masuk ke kamarnya.“Wah, kenapa? Bu Karin keliatannya senang banget.” wajah Dean jadi makin ceria saat melihat Ibunya tersenyum lebar seperti ini.“Saya sudah baca semua buku-buku Istrinya Pak Pengacara.” sahutnya antusias.Dean pun duduk di pinggir tempat tidur Karin sambil mengambil salah satu buku yang berserakan di atas kasur itu.“Semuanya?”“Iya, semuanya, kisahnya baguuuuus banget!” puji Karin.“Wah, saya baru tau kalau Bu Karin bisa baca secepat ini, kalau Bu Karin Pengacara, pasti Bu Karin bisa menghapal pasal dengan mudah.”Karin menepuk pelan lengan Dean, “Itu beda, saya pasti pusing bacanya hahaha!”“Hm… kalau gitu yang mana buku yang paling Bu Karin suka?”Karin pun mengambil sebuah buku yang memiliki ketebalan sedang, “Larch
Suara ketikan keyboard komputer terdengar dari dalam ruang kerja Dean. Selesai makan malam, Dean memang kembali melanjutkan pekerjaan kantornya yang sengaja ia bawa ke rumah karena file kasus yang sedang ia kerjakan tertinggal di rumah.Masih fokus meneliti kertas-kertas di depannya, Kara masuk dengan hebohnya ke dalam ruangan itu tanpa mengetuk pintu.“Heh, tadi gue ketemu Ibunya Jojo di lift!” seloroh Kara langsung sambil menarik kursi ke samping Dean.Dean meletakkan pulpennya lalu menatap sejenak ke arah Kara dengan wajah datar.“Terus kenapa?” tanyanya malas.“Dia punya luka yang sama kaya Jojo, gue yakin pasti ada apa-apa sama dia.”Dean mengurut keningnya, “Apa lagi sekarang? kemarin anaknya, sekarang Ibunya. Kalo lo penasaran sama keluarga itu, mending lo pindah sana ke rumahnya.”“Gue serius Dean! Gue yakin pasti ada yang gak beres sama keluarga itu.” ucap Kara yakin
Dean berjalan pelan di lorong rumah sakit untuk menuju kamar Ibunya. Suasana rumah sakit tampak lebih gelap dari biasanya karena hanya sebagian lampu yang menyala. Ia pun mempercepat langkahnya karena perasaannya tiba-tiba tak enak.Hati-hati ia membuka pintu ruangan Ibunya karena hari sudah malam, ia takut membangunkan Ibunya yang mungkin sudah tertidur pulas. Namun ia terkejut bukan main karena ada orang lain yang ada di dalam ruangan ini.“Kakek?!” pekiknya tertahan.Lesmana berdiri tegak memunggungi Dean yang masih terpaku di tempatnya. Dan di atas tempat tidurnya, Karin tampak menggigil ketakutan dengan tatapan Lesmana.“Wanita sialan! Kenapa bukan kamu saja yang mati!” umpatnya kasar pada Karin, “Kamu hanya menghancurkan hidup anak saya, gara-gara kamu dia mati percuma seperti itu.” cecarnya lagi yang membuatnya semakin menunduk dan menggigil ketakutan.Rahang Dean langsung mengeras, jarinya mengepal keras
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.“Ke rumah Jojo?”“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Kara mengintip dari balik pintu kaca Aprodite Café yang masih tertutup rapat, padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi. Harusnya Café ini sudah buka sejak satu jam yang lalu.“Sepi banget sih?” gumam Kara, ia memang sedikit khawatir pada Rumi makanya ia memutuskan untuk datang menemuinya saja dari pada mendengarnya bicara lewat telepon.Namun baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelepon Rumi, Andrea keburu datang dan menepuk pundaknya dari belakang.“Mbak Kara.” sapa Andrea.“Eh kaget!” Kara sedikit melenjit, “Gak ada suaranya lo Ndre ah!” protes Kara.“Heheh maaf Mbak, Mbak Kara ngapain?”“Kok masih tutup Cafenya? Rumi mana?” tanya Kara langsung.“Mbak Rumi masih di jalan katanya, tadi abis dari salon dulu katanya.” jelas Andrea.Kara pun mengangguk mengerti, “Em… lo masih kerja di Club waktu itu Ndre?&rdq
Hubungan Dean dan Kara benar-benar berubah 180º. Kontrak penuh poin perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya seperti sengaja mereka lupakan begitu saja tanpa ada yang berniat membahasnya. Kini tak ada lagi batas kontak fisik, keduanya bisa saling menyentuh satu-sama lain kapanpun mereka mau. Kini mereka tak lagi berpisah saat malam datang. Entah itu di kamar Kara, atau di kamar Dean, melewati malam bersama kini sudah menjadi hal rutin yang tak bisa mereka lewatkan, baik hanya untuk saling bercengkrama, berkeluh kesah, berpelukan, atau bercinta sampai lelah.Satu bulan pun terlewat begitu saja dengan bertambahnya kisah Kara dan Dean yang sedang dimabuk cinta.“Lo lagi baca apa?” tanya Dean yang dari tadi merasa dicueki.“Buku baru.” sahut Kara yang masih asik membaca Novel berbahasa Inggris yang baru ia beli.Dean menyentuh lengan Kara dengan jari telunjuknya dan mengusapnya lembut, sambil mengamati wajah Kara dari samping.
Pintu ruangan Dean terbuka setelah diketuk dua kali. Lalu masuklah seorang Pria yang membawa tumpukan kertas tebal di tangannya.“Siang Pak Dean, ini print out kasus Pak Hendra yang tadi Pak Dean minta.” ucap Pria kurus itu yang bernama Dikta, dia adalah Junior Dean di Fakultas Hukum dulu, dan kini ia menjadi asisten Dean di Alpha Law Firm.“Hm, taro aja di meja.” sahut Dean sambil menunjuk meja sofa dengan dagunya.“Ah iya Pak, sidang kasus perceraian Bu Sarah itu saya kasih ke siapa ya? Pak Dean udah gak bisa urus itu kan?” tanya Dikta.Dean berhenti sejenak untuk berpikir, “Hm… kamu lagi ngerjain kasus apa?”“Saya masih bantuin kasus sengketa tanah Apotek yang di Ancol.”“Kamu bisa kalo pegang kasusnya Bu Sarah sekalian?”Mata Dikta langsung berbinar, “Beneran Pak? Saya boleh pegang kasus ini?”Dean mengangguk, “Ya, pela
Kara mengekori Dean begitu Pria itu masuk ke dalam rumah setelah kembali dari unit Apartemen Bu Bambang yang ada di lantai 11.“Gimana? Lo gak di laporin Polisi kan?” tanya Kara penasaran.“Gue gak akan bisa masuk penjara, itu kan bentuk pertahanan diri, yang penting udah ada buktinya dia nyerang lo duluan.” sahut Dean sambil mengambil air dingin dari kulkas.“Tapi tuh orang sampe babak belur hampir mati begitu, kalo dia nuntut lo gimana?”“Bodo, salah sendiri mancing emosi gue.” sahut Dean enteng, namun setelah itu ia mendelik ke arah Kara.“Yak! Udah gue bilang, segalak-galaknya lo, jangan coba-coba cari masalah sama orang jahat, kenapa lo hobi banget nantangin orang? Seandainya gak ada gue semalem bisa-bisa lo yang ada di rumah sakit sekarang.” omel Dean.Kara langsung melengos, pasti ada saja ocehan Dean yang hinggap padanya.“Itu karena lo gak percaya sama gue, kan