Mas Adam masih mengucek matanya, memperjelas penglihatan."Fatwa?"Akhirnya ia ingat juga. Dengan berlahan tanganya menopang tubuh untuk duduk. Aku ingin membantu namun ia tolak."Dengan siapa kamu kesini? Tari sudah tak ada dirumah ini!" ujarnya. Tentu aku sangat tahu apa yang di maksudkan oleh Mas Adam."Justru itu aku kesini. Semua karena Tari pernah tinggal di rumahku!" Terlihat wajah Mas Adam yang langsung terlonjak. Mungkin kaget atau apapun itu. Kentara sekali wajahnya."Kira-kira hampir tujuh bulan yang lalu. Dia datang kerumahku, saat tengah depresi." Aku menjelaskan."Depresi? Depresi kenapa, bukankah harusnya saat itu tengah berfoya-foya dengan semua uang yang ia bawa kabur?" Mas Adam berkata dengan heran."Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku penuh selidik. Aku ingin menguak semua yang ada di balik Tari."Ceritanya panjang. Intinya saja. Dia mengelapkan uang arisan para Ibu-ibu sosialita yang jumplahnya tak sedikit. Kemudian kabur setelah mengadaikan semua ruko milik kami
Ah, mungkin hanya pengrasaku saja. Tampilannya masih sama seperti dulu, bahkan baju yang ia kenakan saat ini saja masih bajuku yang kuhibahkan kepadanya saat ia tinggal disini."Ngimpi kamu, Tar!" ejekku lagi. Ia terlihat kesal."Semua bukan hanya mimpi kalau ada usaha. Aku dan Mas Damar akan melakukan program bayi tabung!" jawaban Tari membuat aku melonggo.Dia pikir program bayi tabung itu mudah? Selain memakan biaya yang cukup banyak sampai ber M - M, juga bisa gagal. Belum tentu langsung berhasil."Oh ... Mau program bayi tabung! Baguslah, semoga berhasil. Sekarang, suruh suamimu pulang! Jangan lagi kesini. Toh! Akan punya anak kan?" Aku kembali mengejek. Mas Damar terlihat makin kesal."Fat! Aku punya hak untuk bertemu dengan Aziz dan Wulan!" bentaknya. Tak lagi ada panggilan Dek yang biasa ia sematkan."Tapi sekarang mereka tak ingin bertemu! Apa kamu tuli, Mas! Kembalilah kalau mereka sudah mau di temui!" Segera aku masuk kedalam tepat saat Mbak Ani membukakan pintu. Tak kuberi
Mungkinkah benar? Jika Wulan pergi kerumah ayahnya. Segera saja aku memainkan Hp, tentu ada rencana yang kubuat sedemikian rupa."Sepertinya benar, Bun. Wulan pasti kerumah si Brengsek itu!" Aziz berkata dengan nada ketus dan termasuk tak sopan. Mengatai Ayahnya brengsek. Namun, aku bisa apa? Kebencian Aziz pada ayahnya semua karena perbuatannya sendiri."Iya, mungkin juga, Ziz. Kita sudah akan sampai. Kita coba lihat dulu apakah benar jika Wulan kerumah Ayahnya!""Iya, Bun. Lihat saja sampai benar. Nanti kalau Wulan pulang kerumah, Aziz kurung dia!" Aziz emosi."Huss, jangan begitu, Ziz. Semua tak harus di selesaikan dengan kekerasan." Aku mencoba menasehati. "Abis kesel, Bun. Kenapa si Wulan masih saja mengharapkan dia! Jelas-jelas ayah itu sudah tak menyayangi kita!"Kalau sudah begini, aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimanapun, Aziz sudah mulai tumbuh dewasa. Rasa yang ada itu semua murni dari tumbuh kembangnya.Hampir tiba di depan sebuah rumah kecil, rumah yang terlihat sama,
Aku mendekat, menajamkan mata melihat adegan demi adegan yang terpampang di layar berukuran 14 Ins. Aku menatap tanpa suara, saat Tari tengah malam terlihat sedang membuat minuman, bahkan juga makanan. Itu artinya?Aku mengkerutkan kening, mengingat kejadian enam bulan yang lalu. Saat Tari kulihat depresi bahkan tak sekalipun keluar kamar. Tapi ini?Aku mengelengkan kepala. Merasa tertipu pada sosoknya yang polos namun penuh tipuan.Si*l!Aku tertipu mentah-mentah ular berkepala tujuh itu. Ternyata saat malam hari, ia baru keluar kamar dan tak depresi sama sekali. Bahkan dengan santainya membuatkan Mas Damar makanan.Aku meremas tanganku sendiri. Geram? Tentu sangat geram. Kecolongan sampai segitu jauhnya."Ternyata dia itu wanita iblis, Bun! Nyatanya, dia baru beraksi saat malam hari. Saat siang ia akan bersembunyi di balik kamar. Menjadi wanita yang tak berdaya!" Benar juga apa yang di katakan Aziz. Tak salah sedikitpun. Ternyata Tari telah menipu dayaku selama ini. Kebaikanku dia
PoV DamarHidup bersama Tari itu bukan pilihan Sekarang, karena Fatwa sudah mengusirku dari rumah itu. Tentu, wanita mana yang bisa menerima di madu? Aku sangat tahu itu. Tapi, entah kenapa aku kasian melihat Tari kala itu.Konsekuensi yang aku terima memang berat. Aku kehilangan anak-anak. Beruntung, Wulan masih mau berhubungan denganku, berbeda dengan anak sulung laki-lakiku. Dia kuekeh tak mau bahkan mungkin sudah jijik melihatku."Ayah, Wulan kangen!" ucapnya via telfon. Tentu aku juga merindukannya tapi, aku sudah tak mungkin untuk kerumah tiap hari. Bahkan hari itu saja terjadi pertengkaran sengit saat aku ingin menemui Wulan."Ayah juga kangen, Wulan. Tapi, tak mungkin Ayah datang kesana!" Aku berkata dengan sendu."Kalau begitu, biar Wulan yang kesana, Yah. Ayah kirimkan alamatnya. Wulan mau ikut ayah saja!" Tentu aku senang mendengar ini. Namun, bagaimana dengan Tari? Aku melirik wanita yang tengah ngemil tak jauh dariku."Tar, Wulan mau ikut tinggal disini. Kamu senang kan?"
"Tolong bungkuskan 3 porsi ayam geprek!" Perintahku pada seorang pelayan. Sengaja aku meminta 3 agar nanti satu porsi bisa untuk Wulan."Baik, Mbak!" Dengan cekatan ia langsung berbalik meminta pesanan pada pekerja dibalik layar. Di bagian belakang maksudnya.Tak berapa lama pesananku sudah siap. Aku sangat suka kerja keras mereka. Cekatan dan profesional. Segera aku berbalik badan. Namun, Mas Damar sudah tak ada di tempat semula. Aku celingukan dan mendapati dia tengah berbicara dengan Mas Adam.Kok mereka seperti sudah kenal?Segera saja aku menuju mereka. Terdengar obrolan hangat dimana ternyata Mas Damar pernah menolong Mas Adam saat jatuh struk.Akupun memperkenalkan mereka, baik Mas Adam ataupun Mas Damar. Namun ada raut kaget saat aku bilang jika Mas Adam adalah suami Tari. Apakah dia tahu sesuatu?"Kenapa, Mas?" tanyaku pada Mas Damar yang seperti berfikir kosong."A-anu!" Dia gelagapan. Kaget karena kusenggol."Apa Bapak hanya menikah satu kali? Atau pernah menikahi wanita la
"Istri?" Aku berusaha menjelaskan. Jika aku tak salah dengar."Yahh! Istri bagi hatiku walau belum Syah sechara agama dan negara karena terkendala identitas," ucapnya dengan santai. Tanpa rasa bersalah ataupun dosa. Mungkin ... Ah! Sudahlah, lebih baik aku cari Tari dulu.Kuketuk pintu dengan keras. Memang tak ada sahutan. Seperti tak ada kehidupan didalam sana.Aku mencoba melihat kesamping. Aku melihat Tari yang tengah berjalan dengan berjinjit."Tari!" Panggilku menghentikan langkahnya. Dia berhenti tanpa menoleh."Ini aku bawakan makanan. Kata Mas Damar kamu pengen cobain ayam geprekku!" Sengaja aku berteriak menawarkan makanan. Semua itu agar Tari tak jadi pergi. Karena seratus persen aku yakin jika ia akan kabur.Dia membalikan badan, "sebentar!" Teriaknya yang langsung masuk kedalam rumah. Ucapannya yang terlihat sudah sedikit tenang membuat aku yakin dia ingin membuka pintu depan."Bersembunyilah dulu!" ucapku pada orang asing itu. Ia kelimpungan tapi kujelaskan jika kita buat
"Iya, Mas. Kenapa? Apa dia sudah di sel?" jawabku dengan santai."Justru itu! Tari kabur entah kemana. Sudah dua hari ini tidak kembali. Aku pusing karena di datangi polisi terus! Memang apa masalahnya? Polisi bilang dia berencana membunuhmu?" Mas Damar mengintrogasi. Aku hanya mengeleng pelan."Kamu masih ingat saat aku kecelakaan? Dialah biang keroknya. Menyuruh pacarnya yang bule itu untuk menyabotase mobilku!" Jelasku panjang lebar.Mas Damar melonggo, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Mungkin dia pikir Tari itu lugu!"Be-benarkah demikian? Apa kamu punya bukti!" ujarnya."Tentu! Laporan kepolisi tanpa bukti tentu hanya akan menyia-nyiakan waktu." "Bo-boleh aku lihat?" tanyanya penasaran.Sebenarnya aku malas, apa untungnya menjelaskan padanya. Paling juga ngga akan berpengaruh padanya."Baiklah! Akan aku tunjukan bukti itu!" Aku segera masuk kedalam. Duduk di kursi dan meletakan HPku. Kuputar dulu video rekaman saat Erix masuk kerumah. Saat CCTV tak menan
"Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"
"Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d
Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga
" Ya resto itu berdiri di jalan mangga. Kata pelanggan harganya jauh dibawah kita. Tadi sempat berbincang dengan para grabfood jika itu benar adanya. Mereka meminta kepastian jika itu benar-benar cabang kita." Aku terdiam. Jalan mangga? Itu artinya sekitar seratus meter dari Restoku. Kenapa? Apa benar itu milik Mbak Saras? Aku harus secepatnya mencari tahu."Baik, terima kasih, Luk. Biar aku cari tahu. Kamu tetap kerja dengan baik!" "Baik, Bu."Segera aku melajukan mobil dengan cepat. Menuju dimana resto itu berdiri. Aku sangat ingin tahu apa benar Resto itu meniru tempat usahaku."Macet lagi!" Aku menggerutu. Ingin cepat sampai malah terjebak macet.Cukup lama dan panjang. Entah apa yang ada didepan sana. Aku hanya bisa bersabar. "Ada apa ya, Pak. Di depan sana?" tanyaku pada seorang tukang sapu jalanan."Oh, ada truk guling, Bu. Mungkin akan memakan waktu lama. Soalnya alat berat belum datang!" Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada jalanan yang mulai terasa panas walau suda
Aku langsung menuju di mana sosok berdiri. Wulan. Ia menatapku dengan pandangan penuh amarah."Kamu belum tidur, Sayang?" tanyaku.Dia menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya. Kenapa?"Bunda apa-apaan? Pake jalan sama laki-laki lain! Bunda punya pacar?!" Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Wulan berkata demikian. Apa yang membuat dia menuduhku sedemikian rupa."Kamu ngomong apa, si Wulan?" Aku mencari penjelasan."Bunda jangan ngelak! Wulan sudah tahu semua dari ayah!" Nadanya ia naikkan.Kupastikan Mas Damar mengadu pada Wulan. Mencuci otak anak yang masih belum memiliki pikiran dewasa."Bunda cuma pergi sama anak temen Bunda. Dia anak kecil, baru sekolah paud. Ituloh, yang saat Bunda di rumah sakit. Anaknya pak dokter." Aku berusaha menjelaskan. Namun wajah kusut Wulan tak berubah."Iya, makanya Wulan tahu! Bunda dan Dokter tengil itu mulai pacaran kan?"Astaghfirullah. Aku menyebut, apa yang sudah di katakan Mas Damar pada Wulan?"Tidak, Wulan. Kita cuma sahabat. Maklum la
"Tari?" Apa aku tak salah lihat. Tari berada di Paud? Anak siapa? Jangan-jangan dia mau menculik?Ah! Kenapa aku jadi berfikir negatif. Kalau anak itu di culik pasti udan teriak.Aku ingin menyambanginya. Menanyakan bahwa aku sudah melaporkan dia pada polisi. Namun, aku tersadar saat akan membuka pintu."Tante!" Panggil Sifa. Aku tak mungkin meninggalkannya."Iya, Sayang." Aku urung keluar, Sifa terlihat juga menatap ke Tari."Sifa kenal anak itu?""Kenal, Tan. Dia namanya Ines.""Terus itu siapa?" tanyaku memastikan tentang Tari."Dia itu babycitternya. Galak banget!" ujar Sifa polos."Kok tahu kalau dia galak?" ucapku memancing."Iya, Ines sering kena marah-marah sama dia, dia itu kata Ines nenek lampir!"Aku tertawa mendengar penuturan Sifa. Bocah kecil sudah tahu maklampir. Setelah melihat Tari masuk sebuah mobil, akhirnya aku juga melajukan mobilku menuju pusat perbelanjaan. Ada beberapa kebutuhan yang memang ingin kubeli, sekaligus mengajak Sifa main di Playground. Menghabiskan
Aku terperangah karena tak menyangka jika yang datang itu si Bocah T3ngik. Lagian, kenapa coba tadi karyawan tak bilang. Aku menabok keningku sendiri."Kenapa kamu masuk kesini? Ini tempat pribadi! Tak ada yang boleh kesini kecuali keluarga dan karyawan!" gerutuku padanya.Dia tampak kelimpungan, "aku disuruh masuk kesini! Bukan inisiatif kusendiri."Aku mengkerutkan kening. Apa mungkin? Ah ... Sudahlah."Kan bisa nyuruh karyawan panggilkan bukan masuk." Aku masih mencoba mencari kesalahannya walau sebenarnya aku juga yang salah. Entah kenapa aku ingin dia serba salah. "Ada apa datang?" tanyaku padanya cuek."Tadinya mau bawa Sifa. Dia kepengen ketemu kamu katanya!" ujarnya.Aku celingukan. "Mana dia?""Dia sedang sekolah. Dia minta aku jemput kamu dan jemput dia saat pulang." Aku memijit pelipis. Bukan menolak, aku juga suka sekali dengan Sifa. Karena pada dasarnya aku pencinta anak-anak."Bagaimana?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk, tak dapat kutolak permintaan anak kecil yang m
Aku tak bisa menolak ibu mertua. Kubiarkan saja, aku hanya butuh memantau dan melihat gerak geriknya. Aku memiliki perasaan jika Ibu mertua memiliki niat tertentu.Dua hari sudah aku tidak meninjau Resto, juga Aziz, aku menyuruhnya fokus belajar karena akan menghadapi ujian. Jadi tak kuizinkan dia pergi ke Resto.Aku sudah merasa enakkan hingga ada keniatan untuk menghilangkan jenuh yang sudah hampir satu minggu tak melakukan rutinitas apapun. Aku pergi ke Resto.Tiba di sana suasana tegang tak seperti biasanya. Wajah pada karyawan yang biasanya ramah tersenyum kini serius bahkan terlihat takut.Ada apa ini?"Sisil! Bagaimana kondisi Resto?" tanyaku dengan ramah. Dia yang biasa paling supel."Alhamdulilah, Bu. Semua baik-baik saja! Permisi." Aku heran dengan perubahan mereka. Kenapa? Bahkan Sisil saja seperti ketakutan setengah mati."Kemana Lukman?" tanyaku kembali pada Sisil yang mau pergi."Dia-dia sudah di pecat kemarin, Bu." Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa karyawan seramah L
"Siapa, Si?" tanya Mas Damar penasaran."Lah kan tahu dari seragamnya? Dokter lah!" Aku tak mengatakan sejujurnya. Biarlah ini menjadi rahasiaku dulu. Toh, palingan Mas Damar tak peduli."Oh ... Kenapa si kamu masuk rumah sakit ngga kabarin aku?" Mas Damar kemudian menatap Aziz dan Wulan yang tengah duduk di sofa. "Wulan, Aziz, kenapa ngga beritahu ayah tentang ini?"Wulan terlihat membisu, sambil sesekali menatap kakaknya. Pasti sudah di setir oleh Aziz dan Wulan dilema."Kenapa kalian diam?" tanya Mas Damar kembali."Aku yang menyuruh mereka tak mengabarimu, Mas. Aku baik-baik saja!" ujarku agar dia Tek mencerca anak-anak.Aziz beranjak, kemudian langsung pergi meninggalkan ruangan ini dengan pintu sedikit dibanting."Sampai di rawat begini kok bilang ngga papa. Kamu kenapa? Sakit apa?" tanya Mas Damar memberondong."Cuma kelelahan saja, Mas. Ini juga udah membaik. Palingan besok sudah boleh pulang." Aku meriah HP, tak ingin terlalu serius menanggapi obrolan bersama Mas Damar."Lain