Untuk visum, dia memang berharap visum bisa segera dilakukan. Tanda-tanda penganiayaan masih terlihat jelas di tubuhnya. Lebam bekas tendangan Tibra, telapak tangannya yang membiru dan terluka karena diinjak, bibirnya yang bengkak dan pecah, bahkan kulit kepalanya terasa perih karena Tibra menarik sisir dengan kasar sehingga rambutnya ikut terseret kencang.Namun di atas semua itu, hatinya jauh lebih sakit karena pengakuan Tibra tentang pernikahannya dengan Andhira, wanita yang sudah dia anggap saudara sendiri. Seseorang yang tidak tahu cara berterima kasih pada orang yang telah mengangkat derajat hidup dan menolongnya dari kesulitan dan kesengsaraan.Bukan dia egois hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jauh sebelum ini dia telah berpikir matang. Dia bahkan masih bertahan di rumah, bersikap seolah semua baik-baik saja di depan anak-anak setelah memergoki suaminya dan sang wanita penggoda tengah bermesraan.Namun, kejadian tadi malam benar-benar mengikis habis kebesaran hati Aruna. T
“Mas!” Andhira menerobos masuk ke ruangan Tibra. Wanita terlihat panik sehingga lupa kalau mereka sedang dalam suasana kerja. “Maaf, Pak Tibra, ada masalah genting di luar.” Andhira sedikit salah tingkah karena ternyata Tibra sedang ada tamu. Dia berdiri kikuk di depan pintu. Dengan sebelah tangan, Andhira menyibakkan rambut panjangnya yang terurai untuk menetralisir rasa gugup dalam dada. Tibra mengangguk pada Andhira dan memberi kode pada wanita itu untuk meninggalkan ruangannya dengan pandangan mata. Dia bisa melihat wanita bertubuh sintal dengan pakaian membentuk tubuh itu bergegas meninggalkan ruangan.“Maaf, boleh Saya izin sebentar?” Tibra menunjuk arah pintu dengan jempol tangannya. Wajahnya menampilkan senyum lebar pada beberapa tamunya. Mereka memang sedang ada pertemuan khusus.Jauh sebelum pertengkarannya dengan Aruna. Mereka memang berencana membuka usaha baru di luar pulau jawa. Menurut pengamatan Aruna, prospek usaha ini cukup menjanjikan. Wanita itu ingin melakukan p
“Apakah ada kemungkinan masuknya pihak ketiga?”Tibra melihat Lendra tersenyum menanggapi pertanyaan dari salah satu awak media. Sementara di sebelahnya, Andhira mencengkram lengannya kencang. Suara napas wanita itu mendengus cepat, terdengar tidak beraturan karena gugup.“Tadi anda mengatakan masalah ini sudah tidak bisa diselesaikan melalui jalan kekeluargaan. Apakah itu berarti akan ada perceraian antara Aruna dan Tibra? Bukankah kejadiannya baru tadi malam? Tidakkah terlalu cepat Aruna mengambil keputusan? Atau masalah yang mereka hadapi sangat serius?”“Betul. Setelah dari sini kami akan melakukan visum terlebih dahulu sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan kepolisian pada saat laporan ini dibuat. Begitu proses visum selesai, kami akan langsung menuju kantor pengadilan agama untuk memasukkan berkas pengajuan gugatan cerai.Mengenai alasan kenapa cepat sekali klein kami mengambil keputusan, masih akan dibicarakan nanti. Namun, dari keterangan yang saya dapat, dia sudah mant
“Jadi, tadi malam Mbak Aruna sudah pulang? Jangan-jangan saat hujan-hujan aku datang itu kalian sedang berseteru, Mas?” Andhira berdiri dan mempersilakan Tibra duduk.“Sebelum itu, hujan turun deras setelah Aruna keluar dari rumah.” Tibra menarik Andhira hingga wanita itu terduduk di pangkuannya. Aroma minyak wangi yang dikenakan wanita itu memenuhi hidungnya.“Untung tadi malam aku telat datang, Mas. Kalau aku datang di jam biasa, bisa-bisa Mbak Aruna memergoki kita berdua.” Aruna menoleh pada Tibra yang memeluk pinggangnya erat.“Hmm ….” Tibra hanya berdehem pelan. Tubuh Andhira terasa hangat hingga membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Dia butuh pelepasan agar tidak pening memikirkan permasalahan yang sangat semrawut dan tidak bisa dia kendalikan lagi.“Ini di kantor, Mas. Lagi pula, Mas sedanga da rapat penting tadi.” Andhira melepaskan tangan Tibra di pinggangnya. Wanita itu langsung berdiri dan tersenyum lebar menatap suaminya. “Kemana Mbak Aruna? Kenapa hanya kuasa hukumnya yang
“Assalamualaikum.” Aruna memencet bel sekali lagi setelah menunggu beberapa lama belum ada jawaban dari dalam. Wanita itu memperhatikan teras rumah. Dua gelas dengan sisa air teh dan setangkai melati di dalamnya terletak di atas meja.Aruna tersenyum tipis. Sudah menjadi kebiasaan Ibu dan bapaknya sejak dulu menikmati pagi sambil menunggu matahari terbit di teras mereka. Selepas shubuh, ibunya akan menyeduh dua gelas teh dan meletakkan setangkai melati segar di dalam gelas teh.Sambil menikmati suasana pagi yang sejuk ditemani segelas teh hangat dan sepiring kudapan, Ibu dan bapaknya akan menghabiskan waktu dengan bercerita. Tentang masa muda saat masih sekolah, kehidupan awal saat pengantin baru, membahas tentang anak dan cucu bahkan mereka juga membahas berita terkini terkait kabar-kabar yang sedang banyak dibicarakan.“Waalaikum Salam.” Aruna menarik nafas lega saat mendengar suara yang sangat dia rindukan. Suara kunci diputar terdengar khas. Tidak lama, pintu dengan ukiran lama it
Kesadaran itu akhirnya datang setelah kini bahtera rumah tangganya hampir karam. Perasaan bersalah karena menentang kedua orangtuanya bertahun-tahun lalu menghujam setiap titik di relung terdalam perasan Aruna.Dia bahkan sempat sesumbar pada keluarga besar, mengatakan keputusannya dulu memilih Tibra adalah benar. Aruna terisak kencang saat mengingat peristiwa itu. Ibu dan Bapaknya hanya mengangguk dan tersenyum, saat dia dengan wajah yang sumringah di acara peresmian cabang kelima mereka setengah tahun lalu mengatakan beruntung dulu dia mengikuti hatinya.Tidak disangka, satu bulan kemudian peristiwa itu terjadi, seolah Tuhan menjawab kesombongan Aruna pada kedua orangtuanya. Aruna yang saat itu melakukan kunjungan mendadak ke cabang luar kota yang bisa ditempuh dengan jarak kurang dari dua jam perjalanan harus mendapati kenyataan pahit.Dia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri Tibra memeluk Andhira dari belakang sambil menciumi leher wanita tidak tahu terima kasih itu, memb
Sementara Adya menunggu dengan wajah harap-harap cemas di samping suaminya, berharap ada kabar dari anak semata wayang mereka. Wanita itu sangat hafal sifat Aruna. Putri mereka itu tidak pernah menceritakan masalah apapun yang sedang menimpanya. Aruna selalu bercerita justru setelah masalah yang dia hadapi berhasil diselesaikannya.Wajar, karena itu hasil dari didikan Wira. Lelaki itu tidak mau Aruna menjadi anak yang manja karena hanya anak satu-satunya. Dari kecil dia sudah memberi pemahaman pada Aruna, jika menginginkan sesuatu maka dia harus berusaha untuk mendapatkannya. Bukan dengan rengekan, tangisan, ataupun amukan tetapi dengan kerja keras.Aruna tumbuh seperti yang diharapkan bapaknya. Dia menjadi gadis yang tangguh dan pantang menyerah. Karena didikan ayahnya juga dia menjadi berbeda dari teman-teman wanitanya yang gampang menangis karena diganggu teman lelaki sebaya. Saat dijaili, dia bukannya menangis tetapi malah menyusun rencana bagaimana cara membalas mereka agar jera
“Kamu yakin tidak apa-apa kesana sendirian?” Adya menatap Aruna yang sedang mengisikan ayam rica-rica ke dalam wadah. Sejak pagi tadi, anaknya itu memang sudah sibuk di dapur memasak makanan kesukaan kedua anaknya. “Tunggu Bapak pulang saja ya? Biar ada yang menemani?”“Tidak apa-apa, Bu.” Aruna mengelus bahu Adya. “Mas Tibra paling masih kerja, siang jarang di rumah. Lagi pula, kalau pun ada orangnya ya nggak apa-apa. Kami belum bicara lagi sejak malam itu. Mungkin saja setelah masalah ini masuk ke kantor polisi dan menjadi pemberitaan, kami jadi bisa bicara baik-baik demi anak.”“Alah! Kamu itu seperti tidak tahu saja suamimu seperti apa.” Adya berdecak sebal.“Doakan saja yang terbaik untuk kami, Bu.” Aruna terkekeh. “Aku sudah kangen sekali sama Zahir dan Zafar. Belum pernah kami berpisah selama ini. Paling lama tiga hari kalau aku ke luar kota.” Aruna mengulurkan tangan untuk berpamitan. Dia langsung mengambil tas tangan dan wadah yang berisi lauk kesukaan Zahir dan Zafar.“Hati-
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus