Di rumahnya, Hanung berusaha untuk mengatasi sikap manja Alea. Berkali-kali ia meminta agar diantar ke rumah Rasti, tapi ditolak. Hanung yang sudah jatuh cinta pada janda beranak dua itu merasa kalau sikap Alea akan menjadi penghalang untuknya bisa lebih dekat dan menjalin hubungan yang spesial.“Aku tidak mau sekolah kalau tidak diantar Tante Rasti!” Begitu selalu yang diucapkan Alea pada sang ayah.Hanung duduk di kursi kerjanya. Memandang setumpuk kertas di hadapannya, tapi pikiran mengembara jauh pada sosok wanita yang ia sukai. Senyum Rasti dan sikap sopan wanita itu membuatnya semakin larut dalam perasaannya. Jarang ditemui wanita yang teguh pada pendiriannya. Kebanyakan wanita lajang yang tahu jika istrinya sakit keras, akan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatiannya dan mendekatinya. Namun, Rasti dengan status jandanya sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap seperti itu.Wanita yang unik dan langka. Patut diperjuangkan. Itu yang ada dalam pikiran Hanung. Ia lalu ba
“Anak-anakku belum tentu mau,” jawab Rasti jujur.“Harus dibujuk biar mau.”“Anak-anakku kuat pendiriannya. Mereka tidak gampang terpengaruh.”“Sikap yang bagus. Cocok bila menjadi pengacara. Akan aku ajari mereka,” canda Hanung sambil tersenyum.Rasti tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Mau jadi apapun, itu hak mereka. Aku akan mengikuti apapun yang mereka inginkan sejauh itu baik,” sahutnya.“Tapi, kita sebagai orang tua harus bisa memberikan arahan pada anak, apa yang baik dan yang tidak.”“Betul sekali. Akan tetapi, anak kita bukan boneka. Jangan sampai dia menjalani sesuatu hal yang tidak sesuai dengan hatinya. Pola didik yang memaksa, akan berakibat fatal pada sikap dia kelak saat dewasa.”Hanung semakin merasa takjub dengan cara pikir Rasti. Sebagai seorang duda beranak satu, ayah Alea menginginkan sosok yang baik dan cerdas untuk mendidik putri semata wayangnya.“Iya, Bu Guru,” ujar Hanung menggoda. Rasti menampakkan wajah datar atas godaan yang diberikan Han
Namun, saat dirinya memarkir kendaraan di halaman, motor Huda juga ikut berhenti. Rasti berusaha bersikap biasa. Ia juga bingung mengartikan apa perilaku Huda terhadapnya.Rasti mengulurkan kunci. Merasa lega karena Huda menunggu di luar. Ia masih diam tak mau menyapa.“Masih jalan bersama? Sudah diselidiki latar belakang lelaki itu? Jangan sampai salah langkah lagi. Aku tidak mau mendengar ada masalah lagi kalau kamu menikah lagi. Dan aku tidak mau jika Nadine dan Raline mendapatkan ayah yang tidak sayang sama mereka.” Sambil menerima kunci mobil, Huda berkata demikian.“Apa urusan kamu berkata seperti itu?” Kesal, Rasti bertanya dengan nada ketus.Huda adalah tipe lelaki yang terlihat ingin selalu memimpin dan mengatur orang lain. Itu yang Rasti lihat selama beberapa kali berinteraksi. Tidak hanya saat berbicara dengannya, tapi, pada orang lain pun demikian. Meski begitu, Rasti tetap saja tidak suka jika urusan pribadinya dicampuri.“Kalau ada orang yang mengingatkan, itu tandanya d
“Jangan mengajak anak-anak pergi bersama dulu,” ucap Rasti kala sudah berhadapan dengan Hanung. Mereka berdua bertemu di sebuah pantai. Memilih tempat yang benar-benar sepi dan leluasa untuk berbincang.“Kenapa?” tanya Hanung heran.“Belum waktunya. Hubungan kita, maksudnya kedekatan kita juga hanya sebatas teman.” Rasti menunduk. Teringat anak-anaknya yang jelas akan menolak bila ada sosok laki-laki lain hadir dalam hidup mereka secara tiba-tiba.“Aku ingin lebih dari sekadar teman. Makanya aku ingin anak-anak kita dekat. Agar suatu ketika, saat jodoh mempertemukan kita, mereka sudah siap menjadi keluarga.”Rasti mengatupkan bibir rapat. Pikirannya berusaha menyusun kata-kata yang pasa untuk dapat mengungkapkan isi hati dan gundahnya, tanpa menyakiti perasaan Hanung.Hanya ada suara ombak yang berdebur diantara keduanya. Hanung masih sabar menunggu wanita yang ada di hadapannya menjawab pertanyaan.“Tidak semua anak seperti Alea yang mudah menerima orang baru dalam kehidupan mereka.
“Aku sudah cerita sama Maryam. Jadi, sia-sia saja kalau kamu mau melakukannya,” jawab Huda enteng. Ia melanjutkan kembali aktivitasnya. Dan tidak peduli jika Rasti berteriak-teriak. Toh, suara wanita itu tidak bisa melebihi kerasnya suara pemotong rumput. Begitu pikir Huda.Kesal tidak mendapat tanggapan, Rasti masuk ke dalam rumah. Setengah jam kemudian, suara mesin berhenti. Rasti bernapas lega. Karena berpikir, Huda akan segera pergi dari rumahnya.Namun, perkiraannya salah. Huda malah mencuci mobil Rasti. Menyapu bekas potongan rumput dan membersihkan seluruh halaman rumah Rasti. Saat ia keluar, halaman sudah bersih, dan Huda tengah mengelap mobilnya. “Apa-apaan kamu, Huda?” tanyanya bengis.“Baru kali ini, ada orang dibantu malah protes,” sahut Huda asal.“Kamu sudah keterlaluan, Huda. Kamu racuni pikiran anak-anakku, dan kini, kamu bersikap dan melakukan sesuatu seolah apa yang ada di rumahku ini milik kamu,” ucap Rasti kesal.“Ambil kontak mobil, akan aku panaskan,” perintah Hu
Refleks, Rasti tersenyum. Menarik bibirnya panjang. Kejutan semacam itu dulu selalu Danang dan anak-anaknya berikan. Kini, hal itu dilakukan oleh Hanung. Tidak dipungkiri Rasti, Danang pria yang sangat baik dan menyayanginya.“Tiup lilin, Tante,” perintah Alea. Mata Rasti memanas. Berbagai rasa bercampur menjadi satu dalam hati.‘Ucapkan doa dulu!” titah Hanung.Rasti yang sebenarnya tidak pernah melakukan hal itu, hanya menambah senyumnya menjadi lebar, lalu meniup lilin.“Selamat ulang tahun, Tante Sayang. Semoga Tante bahagia selalu,” ucap Alea sambil memberikan buket bunga.“Terima kasih,” balas Rasti. Ia merentangkan tangan dan memeluk Alea.Gadis remaja itu menyambutnya dengan bahagia. Ia mendekap Rasti sangat lama. Menikmati aroma tubuh wanita yang ia anggap bisa menggantikan sosok ibu. Melepas semua kerinduan yang selama ini dipendam. Sekilas, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang bahagia. Karyawan Rasti tersenyum dan saling bisik. Mereka lalu mengucapkan permintaan maa
“Enak jalan sama lelaki kaya?” tanya Huda yang tiba-tiba datang ke butik Rasti, setelah memastikan Hanung pergi.“Mau enak mau enggak, itu bukan urusan kamu.” Rasti tersulut emosi.“Jelas urusan aku. Saat kamu berada dalam kesempitan dan membutuhkan bantuan, aku dan bapak yang menolong. Kamu meminta lelaki itu jadi pengacara kamu, itu karena dia dibayar makanya mau menolong kamu. Coba kalau dia tidak dibayar, pasti tidak akan pernah mau menolong kamu secara sukarela seperti kami. Dan seenaknya setelah itu, ia mendekatimu. Jangan bodoh, Rasti!”“Huda!” bentak Rasti. Tidak peduli seluruh karyawan butik memperhatikan mereka. “Kamu sudah keterlaluan. Aku meminta tolong, bukankah kamu bilang, bapak kamu mencariku? Bukankah kamu bilang, kamu tidak rela bila harta peninggalan orang tuaku dikuasai oleh keluarga mantan suamiku, haha? Apa kamu lupa itu? Mengapa diungkit? Masalah bayaran, aku memberikan kamu upah yang banyak saat kamu menjual mobil showroom. Itu sepadan dengan keringat yang kamu
Maryam datang ke rumah Rasti dengan mata sembab. “Mbak, apa yang Mbak ucapkan tadi benar? Mas Huda memberikan Mbak Rasti kado?” tanyanya setelah dibukakan pintu dan disuruh masuk.“Kakak, Adek, main di kamar kalian, ya? Mama mau ada bicara penting,” seru rasti pada Nadine dan Raline yang berada di ruangan dekat dengannya. Kedua anaknya sudah paham, bila sang ibu berkata demikian, itu artinya ada sesuatu yang tidak boleh mereka dengar.“Iya. Benar.”“Isi kado itu apa, Mbak? Kenapa Mas Huda tidak bilang sama aku?” tanya Maryam sambil terisak.“Tunggu sebentar.” Rasti berlalu masuk, kembali lagi dengan membawa sbuah kotak yang sudah robek sampul kadonya.Dengan tangan bergetar, Maryam menerima benda itu dari tangan Rasti. Membukanya dengan pelan-pelan lalu matanya membelalak. Beberapa detik kemudian ia menangis. “Mbak, ini gaun yang aku inginkan waktu kami jalan-jalan ke mall. Baju tidur yang aku kinta dia membelikannya. Kenapa dia membelikan untuk Mbak Rasti?” tanyanya sambil menangis.
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny