“Pak Hartono dulunya adalah seorang kepala dinas perhubungan. Beliau mengajukan pensiun dini karena punya showroom yang sangat laris dan begitu kewalahan mencari barang. Tidak bisa membagi waktu antara keduanya. Suatu ketika, bisnisnya bangkrut. Dan gentian, tempat usaha orang tuamu yang maju pesat. Bisa jadi mereka iri sama Pak Rusdi. Karena selalu menolak bila diajak bekerjasama. Pak Rusdi selalu berpikir bahwa, lebih baik dan nyaman menjalani usaha atas hasil pemikirannya sendiri. Pak Hartono sering ke sini. Meski hanya sekedar nongkrong. Bapak kamu sebenarnya tidak suka. Namun, tidak enak kalau harus mengusir. Sepertinya memang setiap kedatangannya itu mengamati banyak hal. Sehingga saat orang tuamu pergi, ia bisa langsung mengambil tindakan dengan cara mengamankan kamu, Ras. Kami di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana bisa? Rumah yang seharusnya kamu jaga, kamu tinggal begitu saja. Jelas sekali orang itu bisa mengambil semua surat-surat penting. Saya dipecat dan diancam ak
Yasmin terus menangis, disusul Firna yang ikut memeluk Danang dari belakang.Pemandangan yang membuat hati Rasti sakit. Berkali-kali mengajak Raline pulang, tapi tidak mau. “Aku mau peluk Papa. Aku kangen Papa,” ucapnya sambil menangis.“Tolong lepaskan tangan saya, Pak. Saya tidak akan lari kemana pun. Buktinya, dari tadi saya menunggu kalian di sini. Kalau saya niat kabur, saya pasti sudah pergi. Tolong, lepas, Pak. Saya ingin memeluk anak dan istri saya,” pinta Danang.“Iya, Pak. Tolong. Saya yakin, suami saya tidak akan melarikan diri.” Firna ikut memohon.Ketiga polisi itu saling lempar pandangan. Dan akhirnya, sepakat untuk membuka borgol. Namun, mereka tetap siaga dengan pistolnya. Berjaga-jaga bila Danang kabur.Firna mundur beberapa langkah. Ia juga menarik Yasmin menjauh dari tubuh Danang, agar lelaki polisi dengan leluasa membuka borgolnya. Setelah borgol terlepas, Danang berlari memeluk Raline. Polisi yang sedianya hendak menodongkan pistol karena mengira Danang akan kabur
Danang spontan menarik Rasti ke dalam pelukannya. “Aku sangat mencintaimu. Aku menyayangimu sampai kapanpun. Maafkan aku. Aku sangat menyayangi anak-anak kita, Nadine dan Raline,” ucapnya terbata. Rasti membiarkan lelaki yang masih menjadi suaminya itu memeluknya dengan erat. Namun, tangannya tetap pada posisi semula. Tidak memberikan respon atas apa yang Danang lakukan. “Polisi sudah terlalu lama menunggu kamu, Mas,” ucapnya lirih. Nadine dan Raline ikut memeluk kedua orang tuanya. Danang mengangguk paham. Ia mengurai pelukan dan mulai menghapus air matanya. “Papa pamit, ya? Jenguk Papa di penjara ya, Sayang?” ujarnya pada Nadine dan Raline yang masih terisak. Kedua tangannya kini berpindah merangkul Nadine dan Raline. “Papa, aku mau tinggal sama Papa,” teriak Raline. “Tunggu Papa pulang ya, Sayang?” ucap Danang lirih sambil memeluk Raline. “Pak, sudah terlalu lama.” Polisi mengingatkan. Danang mengangguk. Ia mengulurkan kedua tangan ke hadapan polisi untuk diborgol. Tangis Nad
“Kamu baik-baik saja, Mas?” tanya Firna pada Danang di ruang besuk tahanan.“Iya, aku baik-baik saja,” jawab Danang datar.“Kamu tidak menanyakan Yasmin dan juga aku?” Firna bertanya ragu.“Aku yakin kalian baik-baik saja.” Jawaban dari Danang membuat Firna mengatupkan bibir dan menelan salivanya.Setidak berharga itulah ia di mata Danang.“Iya, Mas, kami baik-baik saja. Terima kasih sudah berpikir sepositif itu,” ucap Firna menutupi rasa malu.“Jangan pernah menungguku, Fir. Aku tidak tahu, kapan aku akan keluar dari tempat ini. Jadi, carilah pria yang dapat membuatmu bahagia. Aku yakin, di luar sana, kamu bisa menemukan kehidupan yang jauh lebih bahagia daripada bersamaku,” kata Danang samba menatap lekat wajah cantik di hadapannya. “Pernikahan kita tidak resmi secara hukum pemerintah. Jadi, kamu hanya perlu talak dari aku untuk bercerai denganku. Bila kamu menginginkan itu saat ini maka, aku akan mengucapkan ta—““Hentikan, Mas! Aku tidak mau mempermainkan sebuah pernikahan. Meski
Farhan mengepalkan tangan dan terlihat marah. Ia sangat ingin memberi perhitungan sama Rasti.Pagi itu, Cokro dan keluarganya kembali harus merasakan pahitnya diusir. Mirisnya, kejadian tersebut berlangsung saat satu keluarga itu tengan sarapan pagi di meja makan. Hingga makanan yang tengah mereka makan pun terpaksa ditinggalkan.Yasmin menangis lagi. Ia merasa tidak rela bila harus pergi di rumah yang sejak bayi ditinggali. Mereka diminta cepat mengemasi seluruh barang, dan akhirnya keluar dari rumah Hartono tanpa membawa barang apapun selain barang pribadi milik mereka.Awalnya Farhan mencoba melawan polisi, tapi akhirnya, ia menurut saat salah satu oknum pura-pura mengambil pistol dan hendak menembaknya.“Kita mau kemana?” tanya Rianti sambil menangis. Duduk di depan pintu gerbang yang sudah digembok rapat.“Aku kenal teman yang punya kontrakan. Ayo kita ke sana,” ajak Farhan yang masih terlihat emosi.“Pakai motor angkut barangnya?” tanya Firna dengan mata menatap banyak tas terge
Part 68“Kita besok bawa makanan yang banyak ya, Kak?” ucap Raline bahagia saat malam hari mereka belum tidur.“Kakak mau beli jajan buat Papa. Pasti di dalam penjara gak ada jajan,” balas Nadine.“Aku mau bawa selimut kesayangan Papa. Dan juga boneka aku buat Papa kalau Papa lagi kangen aku.”“Kakak juga, dong. Kakak mau bawa gambar buat Papa.”“Kita gambar sama-sama aja yuk, Kak. Nanti gambarnya ada aku, Kakak, Mama dan Papa sedang bergandengan. Terus di depannya ada pantainya. Kalau Papa sudah keluar, kita akan kesana sama-sama.” Ucapan terakhir Raline membuat dada Rasti sesak. Ia akui, Danang adalah sosok suami dan ayah yang sangat baik sebelumnya. Tidak pernah menggoreskan luka apapun untuk kedua putrinya. Bahkan, berkata dengan nada tinggi pun tidak pernah. Hanya saja, saat badai rumah tangga menghampiri, ia memilih menyerah pada tubuh molek Firna.“Sudah malam, bobok dulu. Biar besok bisa bangun pagi,” ucap Rasti sambil bersandar pada tembok. Matanya memperhatikan gerak gerik k
“Oma, kita pulang ke rumah Oma saja, ya?” pinta Yasmin lirih. “Aku takut,” sambungnya lagi. “Rumah mana, Sayang?” tanya Rianti lembut. “Rumah Oma yang besar yang dulu,” jawab Yasmin merujuk pada rumah Rasti. Seketika Firna memeluk erat tubuh Yasmin sambil berbisik, “rumah itu sudah diambil orang jahat, Sayang. Yasmin sabar ya? Jangan nangis, ayo bobok. Takut ada orang datang lagi.” “Mau bobok tapi gendong sambil diayun-ayun kayak Eyang Kakung waktu di rumah kita,” jawab Yasmin sambil sesenggukan. “Gendong Opa, ya?” sahut Cokro. “Gak mau. Maunya digendong Bunda,” jawab Yasmin. Dengan terpaksa, Firna menggendong tubuh Yasmin yang dirasanya sudah sangat berat. Mengayun-ayun dan berjalan bolak-balik di tengah ruangan yang penuh dengan barang mereka. Sesekali, ia berusaha menyeka air mata yang jatuh. Beberapa saat setelah Yasmin terlelap, ia merebahkan anak kesayangannya itu di atas kasur yang tidak seempuk kasurnya di rumah Hartono. “Panas, kipasi ….” Yasmin mengigau. “Kipasi Oma
Part 69Raline terus berceloteh menceritakan banyak hal yang dialaminya. Sementara Nadine, hanya sesekali saja menimpali. Namun, mata Danang selalu memandang pada Rasti yang hanya duduk terdiam.“Saatnya pulang ya, Sayang?” Rasti mengingatkan.Raline memasang muka cemberut.“Iya, besok-besok kesini lagi. Terima kasih ya, anak-anak Papa udah bawakan banyak oleh-oleh,” sahut Danang.“Aku memasak masakan kesukaan kamu. Dimakan sama teman-teman nanti. Ini bawa banyak.” Rasti berkata sambil menggandeng Raline.“Terima kasih sudah datang,” kata Danang.Perpisahan mengharukan kembali terjadi. Raline dan Nadine menangis sambil memeluk ayahnya. Rasti mencoba menguatkan hati , bahwa apapun yang terjadi di hadapannya tidak akan menyurutkan niat untuk bercerai dari lelaki yang telah memberinya dua anak itu.“Lain waktu, datanglah sendiri. Karena aku ingin berbicara berdua saja denganmu,” ucap Danang saat perhatian Raline dan Nadine beralih dari ayahnya.Rasti hanya menjawab dengan anggukan kepala
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny