“Boleh aku sendiri yang masuk? Aku harus menemukan putriku!" Tanpa menunggu persetujuan. Aku menerobos masuk ke dalam rumah, diikuti Jingga. “Una! Una, Sayang! Ini Papa!” Kupanggil dengan suara lantang. “Una! Una! Ini Papa, Nak!” Aku terus-terus saja memekik seperti orang gila dan kesetanan. Kucari dia di ruang tengah, tapi tak ada. Kulirik mantan Ibu mertuaku yang tampak terkejut. Aku seperti orang lepas kendali. “Mana Aluna?!” Suaraku penuh penekanan. “Kamu tunggu sebentar. Ibu nanti panggilin dia. Tenang, dia ada, kok, Banyu.” “Bawa dia ke sini sekarang!” “Kalian tunggu di sini. Mama sendirian dari tadi. Papanya Misye lagi ketemuan dengan pengacara.” Aku bergeming, tak hendak menanggapi apapun. Namun, ketika langkahnya menjauh dariku. Aku dan Jingga mengekorinya. Rupanya dia menuju kamar paling belakang. Di sana setahuku tempat ART mereka dulu. Dia yang tak sadar diikuti, membuka pintu kamar itu yang dia kunci. Deg!Hati rasa terbentur godam. Tubuh kecil itu meringkuk di
Pov 3[Mas, tolong! Kamu masih bisa akses admin sosial media Mbak Misye ‘kan?] Pesan diterima oleh Huda. Nomor tersebut tak asing. Dia adalah manager Bu Misye yang dulu sempat menginterviewnya. Pertemuan secara virtual tersebut dikarenakan dengan dirinya yang melamar menjadi admin sosial media Misye. Dulu … sebelum akhirnya berubah kedudukan jadi mata-mata.[Saya akan coba. Sudah lama saya gak ngakses lagi, Mbak.] Huda menjawab pesan tersebut. [Tolong bentu lagi kerjakan sekarang, ya! Genting! Pantau akun-akun yang mungkin menandainya dengan kabar miring. Saya masih hectic. Masih cari ahli IT juga buat handel berita-berita yang mungkin berseliweran.] Huda tak paham, apa yang Mbak Vina maksudkan. Namun, tak urung juga dia lakukan. Dia tetap menurut dan mencoba mengakses akun official Misye yang memang beberapa waktu lalu dia pegang. Walaupun hatinya dipenuhi seribu tanya. Memangnya ada kejadian apa? “Kamu gak masuk lagi, Bestieee! Ya sudah deh, ya! Semoga lekas sembuh Alunanya.” Hu
Pov Banyu“Saya bilang pergi! Pergi! Tak akan pernah bisa saya memaafkan kamu jika sampai cucu saya kenapa-kenapa gara-gara ulah kamu! Pergi!” Mama memekik cukup kencang. Aku baru saja mendorong pintu ruangan rawat ketika Misye dan Mama tengah bersitegang. “M--Mas!” “Tolong jangan buat keributan!” “Aku … hanya ingin bertemu Aluna, Mas! Kata ART kamu, Aluna sakit panas.”Aku terdiam. Kulihat wajahnya tampak penuh kesungguhan. Kulirik wajah Mama, tapi dia tampak menggeleng dengan raut wajah yang menentang. Namun, aku tahu … Misye memang salah. Namun, dia tetap ibunya. Dia juga rela bertaruh dengan karir dan kehidupannya. Setidaknya aku tahu, naluri seorang Ibu yang dia miliki, belum mati.“Masuklah! Jangan buat gaduh!” Aku bergeser, sengaja memberinya jalan. “Makasih, Mas.” Misye menyeka air mata. Tetap terlihat kuyu, meskipun sebagian wajahnya ditutup masker. Tatapan matanya sayu. Semangat yang biasanya membara pun, kini tak ada. Rambutnya yang biasanya modis, kali ini disisir pun
“Setidaknya, kini Una sudah mau makan dengan lahap lagi, Jen! Sudah juga gak takut ketemu orang juga, alhamdulilah.” Satu bulan sudah aku mengajak Aluna rutin kontrol ke seorang psikolog. Meskipun belum maksimal hasilnya, tapi sudah terlihat progres yang cukup baik. Aku tersenyum ketika baru saja selesai sesi konsultasi dengan Jeni. Sebuah rumah di kawasan Karawang Kota dijadikannya kantor. Beruntung dapat antrian awal, jadinya bisa lebih dulu selesai sebelum jam makan siang. ”Ya Alhamdulilah, Jingga. Kamu juga jangan kebanyakan pikiran, ya! Noh kasihan yang dalam perut!” tukasnya seraya melirik perutku yang sudah menyembul dari balik gamis. Aku tersenyum sambil mengusap perutku. Biasanya dia akan nendang. Tuh 'kan bener? “Insya Allah.” Hanya itu yang kuucapkan. Kugamit tangan Una dengan hangat. Aku ingin dia tahu, kalau ada aku untuknya. Dia tak sendirian. Meskipun kini dia masih jadi pendiam, tapi setidaknya … dia sudah sedikit tenang. Berbeda seperti awal-awal, melihat Mang Par
“Mohon perhatian parkes semuanya! Kita kedatangan teman baru, nih! Nyonya Indra, nih … Eh, namanya siapa, ya, Bu! Lupa saya, inget nama suaminya saja ….” Mbak Riva terkekeh ringan sambil menepuk bahu seseorang. Perempuan yang sudah lama tak pernah bertemu denganku dan kini ada dalam satu ruangan yang sama. Hanya saja, kenapa dia dipanggil Nyonya Indra dan bukan Nyonya Bara? Apakah mereka?Pikiranku yang tengah menerka-nerka, kembali terfokus padanya. “Salam kenal semuanya! Saya Rani.” Pandangan matanya beredar, lalu berhenti ketika sepasang manik hitamnya bersitatap denganku. Senyumannya yang tadi terkembang, perlahan redup. Berubah menjadi tarikan garis bibir yang hanya, datar. Mbak Riva mempersilakan Rani berbaur bersama kami. Dia tampak memilih tempat yang masih kosong. Kami pun bersiap di atas matras masing-masing dan mengambil posisi. Untuk kelas senam yoga yang kuikuti khusus para bumil yang sudah masuk trimester tiga. Mbak Riva terdengar mengarahkan. “Easy pose! Siap!” Kam
“Iya Mamang juga sama, penasaran pengen ikut. Katanya pelanggan tokonya rata-rata para cewek cantik.” Mang Parmin malah terkekeh. Aku pun tertawa sambil berjalan menuju toko kue yang baru buka itu. Selain penasaran rasa kue yang kata Mang Parmin enak, juga penasaran sama sosok yang katanya pernah viral karena status duda ganteng yang disematkan padanya. Cuma pengen tahu, gantengan mana sama Papanya Unda? Toko kue tersebut tak terlalu besar. Hanya kisaran tiga kali empat. Berada di dekat salah satu area podomoro yang sudah berdiri sejak beberapa tahun silam. Keluar dari mobil, hembusan angin pesawahan terasa menerpa wajah.Di wilayah yang aku lewati sekarang masih tersisa area-area pesawahan. Hijau terhampar selang-seling dengan bangunan perhotelan, restoran dan deretan pemukiman. Kotaku tumbuh pesat semenjak dua kawasan industri besar cukup mendominasi di area barat kabupaten ini. Mengubah hutan-hutan menjadi bangunan-bangunan kokoh. Perlahan peradaban berubah seiring dengan berubahn
Pov 3Bara menghela napas panjang, lalu melirik ke arah Jingga. Setelah itu gegas beranjak dan mengajak Jingga keluar dari kamar Mama. Ya, di kamar itulah setiap hari Mama menghabiskan waktu. Pekerjaannya hanya menangis dan meratap. Sikapnya yang biasanya dominan, kini tak ada lagi. Sikap angkuhnya yang dulu sudah menghancurkan mimpi Bara untuk hidup bersama Jingga, kini sudah hancur lebur bersama keputusan pahit dari Papa. Lelaki itu lebih memilih istri mudanya. “Makasih, Jingga.” “Sama-sama.”“Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Bara mengusap wajah dan menghentikan ucapan. Sengaja, ingin melihat reaksi Jingga. Beribu kali sudah ikhlas. Bara tak semudah itu move on … nama Jingga masih memenuhi relung istimewa dalam kalbunya.Bara menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Masih saja terkenang, padahal perempuan di depannya sudah jadi istri orang. Bahkan Jingga tampak sudah bahagia. Mungkin tak ada lagi sedikitpun tentang Bara tersisa dalam benak memorinya.Ada rasa
Pov Bu FeraAku pun hendak membuka paket itu ketika Mang parmin kembali muncul, “Paketan lagi, Mang?” Lelaki dengan kaos partai warna kuning itu terkekeh, “Bukan, Bu! Itu ada tamu.” Mang Parmin bicara . “Tamu?” “Iya, Bu! Perempuan! Katanya mau ketemu Ibu.” Aku urung membuka paketan yang dibeli Banyu. Lekas bangun dan mengikuti langkah Mang Parmin ke arah luar. Daun pintu terbuka ketika tampak seorang perempuan dengan dress selutut dan rambut digerai tengah berdiri di teras. Dia tampak tengah mengedarkan pandangan ke sekitar rumah dengan matanya yang tampak sembab. “K--Karissa?” Suaraku tersekat. Terdiam sejenak. Ini seperti mimpi. “M--Mama? Mama sehat?”Dia tersenyum dan berhambur memelukku. Aku bergeming. Kuusap punggung lembutnya. Lebih dari sepuluh tahun, bukanlah waktu yang singkat. Selama itu juga aku mencoba mengobati rasa sesak. "Mama sehat, Risa! Mama sehat.” Aku sekuat tenaga menahan agar air mata ini tak tumpah. Harusnya, harusnya aku bahagia. Dia akhirnya kembali se
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo