Keramaian yang terjadi hanyalah sampai sore. Usai Pak Panghulu pergi dan tim MUA selesai mencobot semua riasanku. Para tetangga yang tak banyak itu pun berangsur pulang. Setelah itu, aku sibuk membantu Ibu membereskan sisa semua kekacauan hari ini. Piring, gelas dan semua panci kotor yang berserakan sibuk kami bereskan. Imelda, sudah sejak sore pulang. Mana mau dia membantu urusan seperti ini. Tangannya terlalu berharga untuk berkenalan dengan sabun pencuci piring.Bu Fera pun sudah pulang bersama Aluna dan rombongan. Meski tadi ada sedikit drama, Aluna mau di sini bareng Papanya. Namun Bu Fera membisiki entah apa, hingga Aluna bersemangat pulang. Kini hanya tertinggal satu lelaki asing di sini yang semenjak akad nikah tadi, lebih banyak diam. Mungkinkah dia menyesal? Entahlah … aku tak bisa menebak isi hatinya.“Jingga, sudah … ini biar Ibu saja. Kamu temani suami kamu.” Ibu bicara sambil menata piring-piring yang sudah bersih pada rak piring. Hanya untuk ditiriskan seaat pastinya.
Aku mulai menyuap dan berkenalan dengan sensasi rasa baru yang kurasa cukup unik ini. Namun, keindahan dan kedamaian ini tak berlangsung lama karena sebuah keributan yang tiba-tiba terjadi di meja pojokan. Aku dan Pak Banyu menoleh ke asal suara. Mencari tahu apa yang sedang terjadi di sana.“Fu*k kamu, Mas! Jadi ini yang kamu bilang ada side job!” Histeris terdengar suara seorang perempuan. “Sayang, dengerin dulu penjelasanku!” Suara seorang lelaki yang membela diri. Plak!“Mbak, kamu berani nampar aku?!” Terdengar suara perempuan lainnya. “Kamu! Lont*! Jal*ng! Aku pecat kamu sekarang!” Aku dan Pak Banyu saling lempar pandang. Karena beberapa pegawai hotel berkerumun untuk memisahkan, jadinya tak terlihat jelas wajah para pelaku yang terlibat keributan.“Jangan gitu dong, Sayang! Dia itu manager aku.”“Pokoknya! Aku gak mau tahu! Kamu pecat dia, Mas! Kamu itu tunangan aku sekarang! Dia itu cuma manager kamu!” Suara itu terdengar histeris. Beradu dengan suara para pegawai restoran
“Shalat dulu.” Aku kembali hendak beringsut pergi. Sepasang matanya terbuka lalu menatapku dengan sayu. “Maaf untuk sore tadi. Apa kamu marah?” Aku bergeming. Kukira dia tak sadar akan perubahan sikapku. Rupanya dia pun tahu. Namun aku ingin mendengar versi lengkapnya.“Maaf untuk apa?” tanyaku sok polos dengan memasang wajah tanpa dosa. Namun bukannya jawaban yang kuterima, tapi sebuah kecupan yang dia labuhkan pada keningku dengan pelukan yang kian erat. “P--Pak, saya engap.” Aku berusaha mendorong dada bidangnya. Dia terkekeh lalu melepas bibirnya yang sejak tadi menempel lama pada keningku. “Maaf.”Hanya itu kata yang dia ucapkan sebelum akhirnya pelukannya perlahan dia urai. Aku pun segera menarik diri. Jujur, senyum tak bisa kusembunyikan. Rasanya perlakuannya barusan benar-benar membuatku merasa bahagia. Sayangnya, dia tak seperti Bara yang ekspresif. “Ah … Bara lagi. Buat apa pula pandai mengungkapkan kata-kata cinta dengan ucapan, kalau faktanya menyakitkan. Heyyy, move o
Aku melongo dibuatnya. Tak menyangka kalau dia datang ke sini hanya untuk mendukung aku kembali dengan Bara. Lalu, dia sebahagia itu mendengar adik sepupunya mau bercerai? Kakak macam apa sebetulnya dia? “Terima kasih atas perhatiannya, Bu Misye. Cukup kaget juga, saya kira Bu Misye sedih kalau sepupunya berpisah, rupanya malah mendukung saya dengan orang yang sedang saya lupakan. Hmmm ... apa ada lagi yang ingin dibicarakan, saya buru-buru soalnya.” Aku sudah berdiri ketika mengucapkan kalimat itu. Semoga dia paham membaca gesture tubuh. Aku tak ingin berlama-lama dengannya. Namun dia malah bicara lagi. "Saya hanya kasihan dengan Rani saja. Dia hanya memiliki raga suaminya, tapi hatinya milik mantannya."Aku tertegun sejenak. Gak nyangka dia akan bicara seperti itu."Setiap orang punya masa lalu, tapi hidup tak berjalan mundur. Sebaiknya semua orang bertanggungjawab atas pilihan hidupnya masing-masing. Termasuk, Bara, Rani, Bu Misye dan Saya. Hmmm, saya buru-buru, permisi."Hanya
“Astagaaa!” Aku yang sadar kalau hanya mengenakan lilitan handuk, hendak masuk kembali ke kamar mandi. Namun, suaranya menghentikkan langkahku. “Jingga … s--saya ….” Suaranya menggantung, membuatku menoleh kembali dan menatap wajahnya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan mata yang membuatku berdebar hebat. “Nanti saja bicaranya, Pak. Saya dingin, belum pake baju.” Aku hendak menarik pintu kamar mandi ketika dia menahanku. “Jingga, bolehkah?” Suaranya kudengar sedikit parau. Kulihat dia tak berkedip menatapku dengan napas yang sedikit memburu.Glek!Aku menelan saliva. Aku bukan orang yang begitu polos sehingga tak paham arti tatapannya saat ini. Namun, logikaku menolak. Jangan-jangan dia hanya menginginkannya karena tak kesampaian dengan mantannya itu. Mereka kan habis pergi bareng tadi. Hanya saja, belum sempat aku mengatakan apa-apa. Jarak sudah terpangkas habis. Bibir itu terasa lembut menyentuh kulit polosku.“P--Pak, t--tolong, jangan sekarang.” Aku berusaha memberontak. Namu
Oh, jadi deru mobil yang sore itu, bukan Pak Banyu yang pergi nganter lagi? Tapi Bu Misye dijemput? Pantesan dia sudah ada di kamar dan nungguin aku mandi. Mana lama sekali. Kok aku jadi malu sendiri. Aku menunduk dalam. Rasanya wajahku memanas. Malu sudah salah paham. Apalagi tadi sempat bicara soal perceraian. Duh, Pak Banyu ngerti gak ya kalau tadi itu aku cemburu?Diam-diam kucuri-curi pandang. Namun dia tampak asik mengunyah dan terlihat biasa saja. “Dasar es batu!” gumamku seraya ikut menyendokkan makanan ke mulut. Setelah mendengar semuanya dari Bu Fera, rasanya beban yang tadi berkelindan, kini lebih ringan. Ah, sudah sebucin itukah aku padanya? Usai makan malam aku tak langsung ke kamar. Rasanya aku masih tak punya muka untuk bertatap langsung dengan Pak Banyu. Kemarahanku sore tadi, jelas-jelas menunjukkan kalau aku cemburu. Gimana kalau dia tahu? Malu, benar-benar malu. “Bu, biar Bibi saja.” Bi Sesa tampak sungkan ketika aku sibuk membereskan piring bekas makan malam.
Pov BanyuDi kantor sedang sibuk-sibuknya. Hari ini ada persiapan kunjungan dari kemenaker. Alhir-akhir ini tengah ada kendala ketika mengajukan perijinan dokumen lartas untuk import. Beberapa persyaratan memang cukup complicated. Entah kenapa, pemerintah begitu membatasi import bahan untuk tekstil. Bahkan sudah dua bulan lebih, Alea---staff bagian ekspor import bolak-balik ke kemenaker dan juga disperindag untuk mengurusi kelengkapan dokumen. “Kemarin saya sudah submit untuk dokumen VKI (Verifikasi Kemampuan Industri), hanya saja seperti biasa, approvalnya kan memang lama, Pak. Dulu saja sudah nunggu satu bulan, eh ditolak pula.” “Berapa lama kita menunggu? Permintaan naik banyak untuk model ini bulan depan! Dibantu dipercepat untuk import bahannya, ya!” “Baik, Pak! Selalu saya pantau dan follow up!” “Terima kasih.” Alea mengangguk, lalu bangun dan meninggalkan ruang meeting. Aku pun gegas beranjak menuju ruanganku. Di sinilah setumpuk pekerjaan lain sudah sedang menanti. Dulu,
Beberapa hari berlalu sudah dari pertemuanku dengan Bu Misye. Meskipun kalimat itu masih terngiang, tapi sudah tak terlalu kupikirkan. Masalah dia yang minta ketemuan dengan Aluna, aku pun tak bisa melarang. Mereka ibu anak, meski sebetulnya aku merasa sedikit keberatan karena seringnya itu. Hanya saja masalah Pak Banyu dan tukar pasangan, aku tak setuju. Kenapa semudah itu dia bicara. Apa dia pikir pernikahan ini hanya sebuah permainan? Lalu setelah bosan boleh semaunya bertukar pasangan?Tidakkah dia berpikir, jika janji yang terucap saad akad itu suci? Apa memang demikian pemikiran manusia modern seperti dia. Entahlah … yang jelas ketika aku sudah melangkah dan mengambil keputusan, maka kecuali takdir benar-benar berkata lepaskan, aku tak akan melepaskan. “Pak, hari sabtu dan minggu, Imelda minta dibantu untuk pengurusan pensi untuk kenaikan kelas dan perpisahan. Apa boleh?” Aku tengah menyematkan jarum pentol sambil berdiri di depan cermin. Sementara itu, Pak Banyu baru keluar
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo