Malam sudah larut saat Hendri merebahkan tubuhnya di atas ranjang kamarnya. Kebiasaannya mengonsumsi minuman beralkohol akhir‐akhir ini telah membuat badannya sering sakit. Bukan sebab minumannya tapi ia menjadi sering berurusan dengan orang yang merasa terganggu dengan tindakannya. Beberapa kali ia terlibat baku hantam dengan sesama pengunjung atau diseret paksa oleh pelayan kedai karena ia terus saja meracau yang tentu saja bisa mengganggu pengunjung lainnya.“Arghhh ...!” pekik Hendri sembari meremas rambutnya.Sudah dua kali kepalanya berdarah karena di pukul oleh seseorang yang tak ia kenal karena ia kerap kali berteriak di depan kedai. Sedangkan ia tahu sendiri jika hampir semua orang yang datang ke kedai itu dipengaruhi alkohol yang membuat mereka tak sadar akan tindakannya.Hendri menyalakan ponsel yang langsung menampilkan sebuah gambar seorang wanita yang diambil secara diam-diam. Ia tersenyum sembari membayangkan jika wanita itu sebentar lagi pasti tak akan bisa menolaknya.
Danu hanya bisa terdiam saat mendengar kedua anaknya yang begitu antusias menceritakan jika mereka menginginkan mamanya untuk segera menikah. Dan lebih parahnya lagi mereka sendiri yang berniat menjodohkan Rena dengan seseorang yang sebenarnya pernah ia temui sebelumnya.“Kok kamu enggak pernah cerita sih, Ren? Tega banget!” protes Bela yang merasa ketinggalan informasi tentang Rena.“Bu-bukan begitu, Bel, sebenarnya aku juga enggak tahu masalah ini.” Rena terlihat kikuk karena ia memang tak tahu sama sekali tentang rencana anaknya. Ditambah lagi dengan tatapan Danu yang begitu tajam, membuat nyalinya semakin menciut.Danu memutuskan untuk meninggalkan meja makan dan berpura-pura menelepon. Dadanya begitu terbakar saat tahu jika akan ada seorang lelaki yang berhasil menggantikan dirinya dihati Rena dan kedua anaknya. Meski begitu ia sudah tak berhak marah karena Rena bukan lagi tanggung jawabnya dan wanita itu juga berhak berhubungan dengan siapa pun. “Selamat ya, Nak. Semoga kamu
Huda meneguk sisa kopi digelasnya sebelum beranjak pergi sembari menyulut rokok yang baru saja diselipkan dimulutnya. Ia memutuskan untuk keluar untuk sekedar mencari udara segar berharap bisa sedikit menenangkan pikirannya yang kacau sejak pulang dari rumah Rena siang tadi. Seumur hidup baru kali ini perasaan Huda diporak-porandakan oleh seorang anak kecil yang baru menginjak bangku SMP. Semenjak menyandang status sebagai duda, sebenarnya ia sudah sering kali dijodohkan bahkan dilamar seorang wanita. Bahkan keluarganya pernah berpuluh kali mengatur pertemuan dengan seorang wanita berharap Huda dirinya segera memiliki pendamping hidup namun hingga saat ini semua wanita itu tak ada berhasil menggetarkan hatinya.Tapi siang tadi semua berubah tepatnya saat seorang anak laki-laki secara langsung memintanya sebagai ayahnya. Bak turun hujan setelah kemarau panjang, permintaan itu berhasil menyejukkan hatinya yang telah lama gersang. Setelah memutuskan bercerai dengan mantan istrinya, Huda
Tubuh Rena mematung saat melihat rumah megah yang terhampar di depannya. Seumur hidup baru kali ini ia melihat secara langsung sebuah tempat tinggal yang biasanya hanya bisa dilihat di sebuah gambar atau situs internet dengan kata kunci rumah mewah. Rumah dua lantai bercat putih itu terlihat megah dengan dua pilar penyangga teras yang menjulang tinggi serta beberapa ukiran yang terlihat membingkai pintu dan jendelanya. Belum lagi halaman luas serta taman yang berisi banyak bunga berharga mahal cukup menunjukkan golongan sang pemilik rumah.Beberapa saat berdiri, Rena semakin terperanjat saat melirik merek mobil yang baru saja naikinya. Bukan model atau penampilannya, melainkan merk yang terpampang dalam bumper depan mobil tersebut. sebuah mobil SUV kelas tertinggi berharga fantastis yang tentunya hanya bisa dibeli oleh orang berpenghasilan selangit. Jangan tanya mengapa ia hafal harga mobil, karena tak jarang nasabahnya menggunakan surat-surat kendaraan sebagai agunan pinjaman.“Aku
Danu menatap tajam seorang lelaki yang kini tengah bergurau dengan kedua anaknya. Dari tingkah mereka, ia tahu jika Hana dan Hafiz begitu akrab dengan lelaki yang selalu mereka sebut sebagai calon ayahnya pun dengan Rena yang kini mulai bisa tersenyum. Meski merasa sesak, namun ia harus mencoba mengikhlaskan wanita yang hingga kini masih begitu dicintainya telah menemukan bahagianya bersama orang lain.Danu mencoba tersenyum saat lelaki yang telah menyelamatkan anak dan mantan istrinya itu datang menghampiri dengan menggendong Hana, ia paham jika sebentar lagi lelaki itu pasti akan menyapanya.“Apa kabar, Mas?” tanya Huda menyalami Danu.“Baik. Terima kasih sudah membantu Rena dan anak-anak sampai sejauh ini.” Danu menyambut uluran tangan lelaki yang ia taksir sebaya dengannya.“Tak masalah, lagi pula aku dan Rena sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan yang lebih serius.” Rena yang mendengar jelas obrolan lelaki di depannya memilih diam karena ia sudah terbiasa dengan omongan Hu
Dengan sigap Rena merapikan meja yang sudah lebih dari lima tahun menemaninya. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja ditempat yang selama ini menjadi lantaran jalan rezekinya. Setelah mengonfirmasi keadaan Bapak melalu orang suruhan Huda, Rena jadi tahu jika Bapaknya sudah hampir setahun menderita komplikasi penyakit dalam dan sudah hampir tiga bulan ia hanya tergeletak tak berdaya menunggu antara hidup atau mati. Oleh karena itu Rena memutuskan berhenti bekerja demi menemui orang tuanya. Meskipun terasa berat karena ia hanya mengandalkan bantuan Huda, tapi ia tak menjadi anak durhaka yang enggan merawat dan memedulikan ayahnya.“Kamu yakin, Ren? Bukan hanya masa depan kamu yang menjadi taruhannya, loh, tapi masa depan anak-anakmu juga,” ucap Shela mencoba menasihati wanita yang telah dianggapnya sebagai saudara.“Aku enggak punya pilihan lain, Shel. Selama ini aku belum pernah berbakti pada Bapak dan mungkin inilah saatnya,” jawab Rena.Sebagai seorang sahabat, tentu Shela tahu
“Bapak,” lirih Rena yang langsung duduk di sebuah kursi di samping ranjang tempat Bapak berbaring.Ia meraih tangan lelaki itu yang kini hanya tulang berbungkus kulit lalu menciumnya sekilas. “Ini Rena, Pak, anak bapak. Rena datang, Pak.” Rena membawa tangan itu menyentuh wajahnya.Anak macam apa yang tak pernah peduli bahkan sampai tak mau tahu keadaan orang tuanya. Mungkin semua cobaan dalam rumah tangga yang Rena terima selama ini adalah teguran dari Tuhan yang menunjukkan jika tak ada orang tua yang sempurna. Ada kalanya seseorang harus mengorbankan seorang anak untuk mendapatkan kebahagiaannya sendiri dan nahasnya sekarang ia tengah mengalaminya.Tak kuasa melihat keadaan Bapak, Rena akhirnya mengambur memeluk lelaki itu. Air matanya kini tak terbendung, dadanya terasa sesaki melihat tubuh lelaki yang dulu sering menggendongnya kini hanya bisa terbaring tak berdaya. Jangankan memandang, bahkan untuk membuka mata saja su
Setelah berbicara dengan Bu Sati, akhirnya pernikahan Rena dan Huda dilaksanakan saat itu juga. Mereka menikah di hadapan Bapak dan pemuka agama yang sengaja di undang sebagai perantara sekaligus saksi pernikahan mereka. Suasana bahagia sekaligus haru menyelimuti saat para saksi mengatakan kata ‘sah’ yang berarti Rena dan Huda kini telah resmi menjadi suami istri. Meski baru secara agama, paling tidak hubungan mereka kini telah terikat. “Terima kasih, Pak.” Rena memegang tangan Bapaknya yang semakin hari semakin lemah.Rena tak kuasa menahan air matanya saat melihat lelaki itu berusaha tersenyum seolah ikut merasakan kebahagiaan yang Rena rasakan. Meski dengan pandangan kosong, namun ia tahu jika Bapaknya pasti ikut mendoakan yang terbaik untuk anaknya.“Bu, apa enggak sebaiknya Bapak kita bawa ke kota untuk berobat? Kami akan tanggung semua biayanya. Paling tidak, kami bisa membantu merawat Bapak di sana,” ucap Huda setelah semua rangkaian acara ijab qobul selesai.“Terima kasih,
“Ka-Kamu hamil? Hamil anak siapa?”Bagaikan tersambar petir, pertanyaan itu berhasil meruntuhkan hati Rena. Bertahun-tahun mendamba dengan sebuah keyakinan jika keturunan mutlak pemberian Tuhan, tapi saat permintaannya dikabulkan, Huda seakan tak mempercayai jika janin dalam kandungan Rena adalah darah dagingnya.“Anak jin,” jawab Rena sinis.“Mak-Maksudku, bukankah aku mandul.”“Ya, kamu memang mandu dan tak mungkin bisa menghamiliku!”Rena melempar kasar benda pipih ditangannya. Entah keyakinan apa yang selama ini bercokol di kepala Huda jika nyatanya kini ia tak bisa menerima kebesaran dan kekuasaan Tuhan karena nyatanya semua yang Huda perjuangkan selama ini hanya untuk menutupi kekurangannya saja. Ia tak terima dianggap mandul karena setiap orang melihatnya sebagai lelaki sempurna.“Kamu mau kemana? Bukankah kita bisa tes DNA dulu untuk membuktikan itu anak siapa? Kalo benar itu anakku, tentu aku akan menerimanya,” ucap Huda saat melihat Rena memasukkan bajunya ke dalam koper.“
“Sah.”Suara itu menggema di pengeras suara diikuti dengan lantunan doa yang mengiringi kebahagiaan dalam suasana haru di rumah Bu Rahmi yang saat ini sedang dilaksanakan akad nikah Zain dan Tania.Acara yang bisa terbilang sederhana malah membuat suasana terasa lebih sakral. Tak ada dekorasi megah, hanya hiasan bunga-bunga berwarna putih serta pita-pita yang terpasang hampir di setiap sudut area rumah. Atas kesepakatan keduanya, Zain maupun Tania hanya mengundang beberapa keluarga serta teman terdekat yang seluruhnya tak lebih dari lima puluh orang. Meski begitu Bu Rahmi serta Rena tetap mempersiapkan semuanya dengan sangat baik dan teliti. Keduanya ingin Zain dan Tania tetap berkesan di hari pernikahannya.“Selamat, Sayang.” Bu Rahmi tersenyum lalu memeluk Zain.“Terima kasih, Ma. Terima kasih untuk semuanya.” Zain membalas pelukan Ibu angkatnya.Bu Rahmi tak menyangka bisa setulus ini mengurus anak yang tak lain adalah hasil dari perselingkuhan suaminya. Ia ingat betul saat pertama
“Mas Danu! Jangan tinggalin aku, Mas! Lihat, anak kita sebentar lagi lahir,” teriak Vani sembari terus mengguncangkan tubuh Danu.“Sudah, Sayang. Danu sudah tenang. Ikhlas, Nak, ikhlas.” Bu Siti terus menenangkan menantunya.Memang bohong jika mulutnya terus meminta Vani untuk ikhlas sedangkan hatinya sendiri terus menjerit tak terima dengan keadaan ini. Perpisahan yang paling menyakitkan adalah kematian, karena saat itu terjadi tak akan ada hal yang dapat mengobatinya rasa rindu yang suatu saat nanti dirasakannya. Namun jika Tuhan sudah berkehendak kita bisa apa?Danu terlibat kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pulang. Tubuh yang lelah dan pikiran tak karuan membuatnya tak fokus hingga motor yang dikendarainya hilang kendali setelah menyerempet sebuah truk. Meski langsung dibawa ke rumah sakit, namun dokter menyatakan nyawanya tak tertolong.“Bangun, Mas! Aku janji enggak akan minta apa-apa sama kamu lagi. Maafin aku, Mas.” Vani terus berteriak.Andai saja tadi ia tak berbicara m
“Kok mukamu pucat? Kamu sakit? Apa berantem sama Vani?”Danu hanya menggeleng. Niat hati ingin mencari ketenangan di luar rumah, perasaannya malah semakin tak jelas setelah bertemu dengan Rena barusan. Bagaimana tidak, bayangan wajah Rena kali ini benar-benar melekat dikepalanya. Ada perasaan tak rela saat ia melihat wanita itu tersenyum dan tertawa pada lelaki lain di depan matanya. “Woy! Ngelamun aja!” sentak lelaki yang duduk di depan Danu.“Apaan, sih?” “Kamu nyuruh aku datang ke sini, malam-malam ninggalin anak istri Cuma buat liatin kamu melamun?” geram lelaki bernama Bagas itu.“Sory, aku tadi ketemu Rena sama suaminya dan kamu tahulah apa yang aku rasakan saat ini,” ujar Danu.“Basi tau, enggak? Ingat, kamu itu udah punya Vani dan Rena hanyalah masa lalumu, dia sekarang udah bahagia ditangan lelaki yang tepat. Siapa suruh dulu main-main, sekarang rasakan sendiri akibatnya!”Bagas memang tahu sejarah hubungan Danu dan Rena sejak awal. Sebagai sahabat sekaligus Rekan kerja Dan
Danu mengusap wajahnya kasar, sudah hampir satu tahun ini usahanya menurun drastis. Memang benar kata orang jika beda istri beda rezeki nyata adanya. Meski ia dan Rena telah berdamai namun bukan berarti ia tak merindukan wanita masa lalunya serta semua kehidupannya dulu. Vani memang tak kalah perhatian dibandingkan Rena, namun tetap saja semua itu terasa berbeda.Hari ini dua toko retailnya berhenti beroperasi. Usaha yang ia rintis bersama Rena dulu untuk jaga-jaga di masa tua kini sudah tak ada lagi. Tentu saja hal itu sangat berdampak pada pendapatannya yang semakin hari semakin berkurang.“Mas, kapan kita membeli perlengkapan anak kita?” tanya Vani. “Besok, ya. Aku belum ada waktu.”Saat ini usia kandungan Vani sudah mencapai tujuh bulan, hal itu membuat keduanya harus mulai mencicil membeli perlengkapan bayi serta menabung untuk biaya persalinan. Danu ingat betul saat dulu setiap Rena mengandung entah saat Hana maupun Hafiz rejekinya selalu mengalir deras. Belum lagi Rena yang
“Tak usah datang jika hanya untuk menertawakanku.”Langkah Zain dan Huda terhenti saat lelaki tua itu bersuara. Meski belum menampakkan wajah, keduanya tahu jika Ayahnya telah mengetahui kedatangan mereka.“Apa kalian juga menginginkan nyawaku? Bukankah kalian telah puas menghancurkanku?” Lagi-lagi suara berat itu terdengar.“Kami datang dengan maksud baik. Jika saja bukan Huda yang memaksa, aku tak akan pernah mau melangkahkan kaki ke tempat ini seumur hidupku,” jawab Zain.Lelaki berperawakan kurus itu kemudian berbalik. Bagaimanapun ia bersembunyi, nyatanya kedua lelaki yang tak lain adalah darah dagingnya kini datang bersamaan untuk menemuinya. Kedua anak yang dulu ia telantarkan dan kini telah berhasil menghancurkannya.“Mau apa kalian?” tanya Pramono.Zain menoleh ke arah Huda yang kini tengah memandang tajam lelaki yang baru saja dipanggilnya dengan sebutan Ayah. Zain tahu jika Huda pasti punya kenangan tersendiri dengan lelaki tua itu, tak seperti dirinya yang ditinggalkan sej
“Ini Tania, calon istri Zain.”Bu Rahmi memindai penampilan wanita yang berdiri di hadapannya. Ia tak habis pikir jika Zain jatuh hati dengan wanita berpenampilan sederhana sama seperti Huda. Melihat penampilan Tania untuk pertama kali, Bu Rahmi seolah mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Rena. Wanita yang kini menjadi anak perempuan kesayangannya itu bahkan terlihat lebih sederhana dari penampilan Tania saat ini yang mengenakan blus berwarna peach dipadukan dengan kulot berwarna hitam.“Tania ini Mamaku, Mama Rahmi.” Zain memperkenalkan.“Halo, Tante, saya Tania.” Tania meraih tangan Bu Rahmi dan menciumnya.Sejak menapakkan kaki di pelataran rumah yang ditinggali Zain, Tania memang sibuk menata hati dan sikap agar tak terlihat memalukan di depan calon mertuanya. Meski Bu Rahmi bukan Ibu kandung Zain, namun Tania tahu jika wanita itu adalah seseorang terpenting dalam hidup lelaki yang sebentar lagi akan menikahinya.“Panggil Mama saja. Ayo silakan duduk, mama udah nunggu k
“Sayang, kata temenku ada seorang tabib yang bisa mengusahakan pasangan yang belum memiliki keturunan, bagaimana kalo kita ke sana?” ucap Huda setelah memosisikan diri berbaring di samping Rena.“Enggak usah aneh-aneh deh, Mas. Udah berkali-kali aku bilang, aku udah bahagia dengan hidup kita sekarang.” Rena meletakkan ponselnya lalu memiringkan tubuhnya menghadap suaminya.“Tapi selama ini kita belum pernah konsultasi, kan? Siapa tahu setelah sama kamu aku bisa punya anak.”“Mas! Cukup!” Rena meninggikan suaranya namun sesaat kemudian ia terdiam.Sebenarnya Rena sangat malas membahas semua ini, sejak awal menikah ia tak terlalu memikirkan ada atau tidaknya anak di antara ia dan Huda. Di tambah lagi dengan kondisi suaminya yang sudah ia tahu sejak awal, Rena sudah sangat pasrah dan siap jika di antara mereka memang tak akan pernah ada anak lagi. Rena bahkan sempat berpikir untuk melakukan KB steril agar kondisinya sama dengan Huda.“Maaf, tapi jujur saja aku masih berharap bisa mempuny
“Terima kasih.”Zain melirik pada wanita yang kini duduk di jok sebelahnya. Satu tangannya terus memegang tangan Tania sedangkan tangan yang lain memegang kemudi. Sesekali ia melempar senyum pada wanita yang sering kali mengenakan kostum berwarna hitam. “Kita mau kemana?” tanya Tania sedikit bingung saat mobil yang Zain kendarai memasuki area rumah sakit dipinggir kota.“Ketemu Ibuku,” jawab Zain.Tania hanya mengangguk, ia sudah tahu jika lelaki yang baru saja melamarnya itu ingin membagi kebahagiaannya pada wanita yang melahirkannya. Tania terus memandang wajah Zain yang tengah serius menyetir sembari mencari tempat parkir. Ia tak menyangka jika rumah sakit jiwa saat ini terlihat begitu ramai, itu berarti semakin hari semakin banyak orang yang menderita penyakit kejiwaan. “Kamu mau, kan, ketemu Ibu?” tanya Zain memastikan.“Te-Tentu saja.” Tania mencoba menyunggingkan senyum.“Kamu enggak akan berubah pikiran, kan, kalo nanti tahu kondisi Ibuku yang sebenarnya?” Zain bertanya lag