Fibrela tergeletak di atas tanah kering kemerahan. Tubuhnya utuh, tapi sebagian bersimbah darah. Beberapa tembakan melukai punggung dan wajahnya. Untungnya itu hanya luka bakar kecil.
“Sial! Barang rongsokan!” umpatnya gusar. Fibrela berusaha menegakkan punggungnya sambil melempar tas kaltornya. Ternyata dia masih punya cukup tenaga untuk melempar benda rusak itu.
Nod turun selang beberapa detik kemudian. Dia langsung berlari ke arah Fibrela. Gerakan semak di sekeliling Fibrela dan sisa asap dari tas kaltor tersebut segera dikenali Nod. Dia menghampiri Fibrela yang duduk mengenaskan di atas tanah. Kekhawatirannya memuncak ketika melihat kepala dan kaki Fibrela bercucuran darah. Nod memperhatikan mata Fibrela yang masih meringis menahan sakit.
Fibrela membalas tatapan tadi dan langsung memarahi Nod, “Kenapa kau turun? Kan sudah kubilang pergi!”
Bahkan Fibrela masih cukup kuat untuk memarahi orang. Tapi Nod tidak menggubris makian Fibrela. Dia segera me
Nod terengah-engah mencoba meraup oksigen dari sekelilingnya. Paru-parunya kembang-kempis dengan cepat memekik kelelahan.“Kau bohong!” ujar Nod yang masih terengap dan mencoba berkata-kata.Fibrela didudukan pada gundukan batu di pinggir jalanan. Matanya sibuk memadangi jalan yang sepi dan suram itu.“Aku tidak bohong.”“Kau bilang kita akan menemukan jalannya setelah bukit itu,” kata Nod. “Itu bukan bukit. Itu gunung.”Senyum kecil tersembul dari wajahnya yang pucat. Dia bahkan tidak punya tenaga lagi untuk tergelak.“Tapi caraku manjur, kan?” dalih Fibrela. “Paling tidak itu memotivasimu untuk berjalan lebih cepat.”Nod menghembuskan napasnya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Kau ini,” katanya sebal, “benar-benar menyebalkan.”Fibrela menatap sepanjang jalan utama beraspal itu sayu. Mereka sudah sampai di pinggir jalan, tetapi sej
“Kau sudah menerima kabar dari mereka?” tanya Brevis. “Semua akses dari dan menuju ke Luxavar ditutup. Mereka terjebak di Luxavar. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada mereka,” jawab Likos seraya membanting tubuhnya ke sofa teras depan rumahnya. “Apakah kita harus kembali ke Luxavar?” tanya Brevis. “Bagaimana caranya?” tanya Likos. “Kita bisa menghubungi Louie?” tanya Brevis. “Ah, rokern bodoh itu. Dia tak berguna. Fibrela dan Nod tidak mungkin berada di dekat mereka,” kata Likos. “Kita hanya bisa menunggu dan berharap mereka bisa selamat.” “Ya, mudah-mudahan mereka bisa selamat,” kata Brevis. “Dan kita akhirnya harus terjebak di sini.” “Hei, ini bukan terjebak,” kata Likos. “Kita bebas.” “Kau yang bebas,” kata Brevis. “Aku seperti makhluk asing di sini.” Likos tertawa. “Baiklah, aku ajari kau biar tidak jadi makhluk asing di sini.” “Tidak berminat,” kata Brevis. “Kau tidak tertarik dengan orang
Saat terbangun, Fibrela mendapati kedua tangannya masih terikat. Kakinya tak bisa banyak bergerak karena memang sudah patah. Dia bisa melihat tempat ini berbentuk kubus dengan seluruh dinding berwarna putih. Tidak ada jendela yang bisa menempel di dindingnya. Bahkan Fibrela gagal mengidentifikasi pintu tempat para atlic itu masuk. Seorang pria berjalan pelan mendekati Fibrela. Dia mengambil tempat di dekat Fibrela. Wajahnya licin dengan rambut yang tersisir rapi. Kulitnya yang gelap kontras dengan ruangan yang tengah ditempati Fibrela sekarang. Dia mengenakan kemeja hitam dengan puluhan lencana yang menempel di dada kanannya. “Kau salah satu orang yang kupercayai di Luxavar. Tetapi kau melakukan hal ini. Kebodohan macam apa yang sudah merasukimu, Greinthlen?” Dua orang atlic datang lagi mendekatinya. Agrenta salah satu di antaranya. Laki-laki bertubuh jangkung berjalan di belakang Agrenta dengan memegang alat seperti stempel besar. Fibrela menyipitkan kedua m
Pesan yang dikirim Fibrela terlambat lima menit dari yang diperkirakan. ‘LARI’ Punggung tangan Nod berpendar membentuk tulisan singkat tersebut. Fibrela baru saja menjelaskan tentang akses ini bisa digunakan untuk mengirim pesan di saat darurat. Nod mematikan akses identitas tadi seketika setelah pesan itu muncul. Nod melirik sekilas dan segera mencari jalan keluar dari rumah Eremus. Dia menyelinap melewati dapur dan memelesat secepatnya ke pepohonan di belakang rumah Eremus. Eremus menahannya untuk tidak keluar saat Nod melihat Fibrela dibawa oleh Para Kanselir. “Apa yang mereka lakukan padanya?” Nod menyingkirkan cekalan Eremus. Ketidakpercayaan samar-samar terbesit dari sorot matanya. Seharusnya dia memang tidak semudah itu memercayai atlic tua ini. “Para Kanselir sudah mencurigai keberadaan kalian di tempatku,” ucap Eremus. “Oh ya? Bagaimana aku bisa percaya padamu setelah semua ini terjadi padanya?” “Kau berhak tidak perca
Fibrela dikawal oleh tiga orang rokern dan satu Atlic memasuki pintu utama menara. Dia berharap Nod bisa menerima pesannya dan segera menemukan bantuan. Nod tahu apa yang harusnya dilakukan. Edvard mungkin bisa membantunya keluar dari tempat ini. Dua rokern masih mencengkeram kedua lengannya sangat erat. Bagaimana bisa mereka begitu tidak berbelas kasihan padanya yang tak berkekuatan lagi ini. Luka yang baru mengering di sekujur tangannya, kini harus berdarah lagi. Kakinya yang patah kemarin kembali bergeser saat kedua rokern itu mengentak tubuhnya berulang kali. Dia tidak mendapat obat nyerinya sejak tadi pagi. Dan kakinya belum diapa-apakan sejak kemarin. Hanya dibidai dari plastik tipis itu. Tubuh lunglai Fibrela diseret melewati bagian demi bagian ruang periksa itu. Dia bisa melihat sekeliling tempat ini dijaga sedemikan ketat sejak insiden kaburnya tahanan Luzav. “Kirim dia ke daratan,” kata Atlic yang ikut meringkusnya ke atas. Rokern penj
Fibrela akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di atas ranjang rumah sakit setelah berhasil melakukan perjalanan panjang dan melelahkan melewati dua dunia. Nod bertengger di balik kaca berulang kali menengok Fibrela dari kejauhan. Dari ujung koridor, seorang pemuda berjalan menghampirinya. Pakaian putih dengan bau yodium menyeruak di sekelilingnya.“Jadi, sejak kapan kau punya anak?” tanyanya sembari ikut duduk di samping Nod.Nod terhenyak dengan pertanyaan tadi. Dia kenal dengan si penanya, tapi tentu saja menjelaskan tentang keberadaan Luxavar pada pria itu terdengar sangat absurd. Nod menghela napas pelan berusaha membuat alasan yang masuk akal. Walau akhirnya dia hanya diam karena enggan meladeni pertanyaan temannya itu.“Lebih baik kau tangani kakinya terlebih dahulu. Aku tidak bisa membiarkan anak ini cacat karena aku.” Nod berkata tanpa menjawab pertanyaan Yoris.Ada dua perawat yang berjalan masuk hendak mengganti cairan
Nod duduk membaca bukunya seraya sesekali melirik ke arah Fibrela yang kembali tertidur. Likos, Vabian, dan Brevis sudah datang lagi membawa banyak makanan serta kantung belanjaan yang terisi penuh.“Nod, aku bawa banyak makanan untukmu. Vabian membeli beberapa pakaian untuk Fibrela. Aku dan Brevis juga membeli pakaian,” kata Likos. Dia mengeluarkan makanan yang baru dibelinya kepada Nod. “Makanlah. Kau belum sempat makan dari kemarin, kan?”“Dia sudah tidur dengan pulas,” kata Brevis berdiri di sisi Fibrela menatap matanya yang tertutup rapat. “Kasihan Fibi.”Brevis membenarkan posisi kepalanya yang masih miring. Teman lama yang sekarang akan berjuang bersamanya di daratan. Brevis sendiri tak sempat terpikir tentang apa yang akan mereka hadapi di daratan yang asing ini.“Kau mulai menyayanginya, heh?” goda Likos pada Nod.Nod mengernyit risih dengan arah pembicaraan ini.“Sud
Jauh di dalam Samudera Atlantik, di bawah kedalaman lautan yang gelap, di bawah selubung kaca yang melingkupi kehidupannya, di atas sebuah gedung di tengah Kota Mercendia, di dalam ruangan baca terbesar di gedung megah bertuliskan Brugaden, di atas sofa empuk itu, duduklah seorang Atlic laki-laki bersama dua orang lainnya yang berdiri tegap di kedua sisinya.“Jadi, ada berita apa kalian kemari?” tanyanya. Suaranya terdengar kejam dan berkuasa. Matanya memunculkan aura kegelapan yang dalam. Pandangannya menyoroti seorang pria yang baru masuk dari pintu ruangan itu.Atlic yang disorotinya langsung menjawab, “Tentang keamanan gerbang utama Luxavar, Presiden.”“Oh, kasus pelarian lagi?” tanyanya sinis.Dia membuka telapak tangannya dan melihat layar di dalam telapak tangannya dengan serius.“Jadi siapa dalangnya kali ini?” ucap sang presiden dengan tenang.“Dia… Profesor Greinthlen,&rd
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak