“Kau pernah melihat pantai yang sesungguhnya?” tanya Nod pada gadis kecil di sampingnya, “maksudku sebelum kau ke daratan.”“Ayah dan ibuku pernah bercerita tentang hal itu saat aku masih sangat kecil. Aku tidak percaya dengan cerita mereka.”Alis Nod terangkat.“Dan terakhir kali ke daratan, aku terluka. Aku tidak sempat melihat pantai yang kalian katakan sangat indah itu.”“Aku akan membawamu melihat matahari terbenam di tepi laut. Aku berani bertaruh kau tidak akan pernah lupa pemandangan yang akan kau lihat nanti,” tantang Nod.Mobil tua Nod meluncur melewati bebatuan dan pasir di sepanjang jalan. Pepohonan menghiasi setiap pemandangan yang ada. Jika mereka berbalik dan melihat pemandangan di belakang mereka, mereka akan melihat jalanan yang meliuk-liuk membelah hingga ke lembah di antara dua gunung. Namun ketika mereka menghadap ke depan sambil terus melaju, maka perlahan-lahan mereka
Fibrela melangkah ke koridor depan rumah kayu Nod yang sederhana itu. Dia menatap rumah itu dengan bingung. Likos dan Brevis datang semenit setelah Fibrela memasuki koridor rumah Nod.“Ini rumahmu?” tanya Fibrela.“Kau kira ini apa? Kandang kuda?” tanya Likos.Fibrela mengernyit bingung. “Aku sempat berpikir kau punya usaha peternakan juga,” sindir Fibrela.Nod menyingkirkan dedaunan yang berjatuhan di teras depan rumahnya dengan kakinya. Debu dan berbagai daunan kering berserakan memenuhi lantai karena tempat ini sudah lama ditinggalkan.“Rumah ini memang agak tidak terawat,” kata Nod. “Semenjak dia pergi, hanya aku yang tinggal di sini.”Nod membuka pintu rumahnya dan mempersilakan mereka masuk ke dalam. Sofa berwarna hijau gelap memenuhi salah satu sisi ruangan. Di sudut ruangan ada pot bunga yang sudah layu dengan air yang berlumut di dalamnya. “Buka
Mregelen terduduk di hadapan jendela lebar terpaku memandangi pemandangan yang menampakkan suasana pusat kota yang padat. Meski keramaian memenuhi segala sisi kota, dia tetap saja merasa hidupnya hanya sebatas lingkaran selubung Luxavar ini saja. Hal berbeda yang tidak disadari oleh para atlic yang sudah ratusan tahun hidup dalam kedamaian di lantai samudera itu.Mregelen masih larut dalam perenungan yang dalam menembus dimensi ruang dan waktu saat seorang bocah laki-laki menyapanya dari belakang. Anak tersebut berdeham kecil sebagai tanda kehadirannya yang tak diundang.“Kau mau apa?” tanya Mregelen tanpa berbalik dan melihat wajah orang yang masuk itu.“Maaf mengganggu Anda, Profesor Trufer, saya Edvard dari Farmasi dan Bioteknologi Balorop,” kata Edvard.“Katakan saja kau mau apa?”“Saya ingin meminta izin Anda untuk menggunakan pemancar Tablec,” jawab Edvard tanpa berbasa-basi.“Edvar
“Di mana dia?” Pagi-pagi Nod sudah gaduh mendapati kamar Fibrela yang kosong. Segalanya masih seperti semula, hanya dirinya saja yang menghilang. Vabian di dapur tengah memasak sesuatu. Nod sendiri tidak tahu dari mana rokern itu bisa mendapatkan bahan makanan.“Dia tidak mengatakannya padaku,” jawab Vabian.Nod mencari ke halaman depan dan tidak menemukan siapa pun. Dia ke garasi dan melihat kalau mobilnya juga menghilang.“Ke mana Fibrela?” tanya Nod kalang kabut.Nod tak juga menemukan Fibrela di mana pun. Likos duduk melirik ke arah Nod yang gusar sambil menyerumput kopi hangatnya.“Kenapa? Dia pergi?” Likos bertanya santai.“Kau tahu?” tanya Nod.“Bukankah kau yang bersamanya di sini sepanjang malam?” tanya Likos. “Lagian waktu tidur kalian di daratan terlalu lama baginya. Mungkin dia bosan dan keluar.”“Aku tidak peduli dia terbiasa
Edvard melangkah ke ruang Mregelen yang berbau tanaman Orchixfilgh yang tercium seperti bau karet. Mregelen tengah memperhatikan layar besar di hadapannya. Pandangannya tak lepas dari benda itu. Dia menyaksikan bagaimana titik-titik merah itu bersinar terang dan kemudian bergerak. Titik-titik itu ada di setiap tempat dalam peta Luxavar yang besar.“Selamat siang, Profesor Trufer,” sapa Edvard.“Kau lagi,” desah Mregelen malas. “Mau menumpang menghubungi temanmu di daratan itu?”“Ehm, sebenarnya….”“Kenapa ada orang yang begitu menyebalkan seperti dirimu, Edvard?” tanya Mregelen.Edvard agak tersinggung mendengar ujaran Mregelen yang menusuk itu. Apa sebegitu menyebalkankah dirinya?“Aku tahu kau sama sekali tidak ingin bekerja sama dengan ayahku, untuk apa bersusah payah membujukku untuk meminta izin menggunakan pemancar Tablec?” tanya Mregelen.Ed
Bel sekolah berdering keras. Menandakan kalau sudah saatnya Fibrela dan Brevis terlepas dari segala kegiatan membosankan itu. Di hari pertama mereka sekolah, Fibrela tidak ikut pelajaran di kelas. Dia pergi ke laboratorium untuk melakukan percobaan tentang tanaman prunus itu.Sementara Brevis sibuk mengamati struktur jaringan seekor kucing di daratan. Salah satu pengajar memergoki mereka meninggalkan pelajaran. Untuk hari pertama mereka hanya pendapat hukuman menyalin catatan sebanyak 7 kali. Likos datang menyelamatkan Brevis dari hukumannya dengan membujuk para guru. Sementara Fibrela, karena Nod tak kunjung datang, mesti menyelesaikan hukumannya hingga sore hari.“Kau terlambat,” tukas Fibrela jengkel. “Aku akan pulang sendiri jika kau terlambat lagi.”“Maaf, aku pikir Likos bisa menolongmu. Katanya kalian dihukum karena tidak mengikuti pelajaran di sekolah?” tanya Nod mengalihkan pembicaraan.“Ada guru jahat di
Fibrela tidak bisa menemukan Brevis di lapangan ataupun di kelasnya. Dia berlari cepat mencari di tiap sudut sekolah dengan cemas. Sambil mengerutu gusar, Fibrela membuka seluruh pintu laboratorium tempat biasa mereka melakukan penelitian rahasia mereka. Hasilnya nihil.Brevis tidak bisa ditemukan di mana pun. Fibrela duduk di tepi taman menghela napasnya. Dia tahu Brevis tidak akan lenyap begitu saja dari tempat ini. Fibrela menerka-nerka lagi kemungkinan keberadaan Brevis.Setelah tidak bisa menemukan Brevis di seluruh ruangan di sekolah, Fibrela melangkah malas masuk ke kelas. Anak-anak tadi memandang mereka aneh.“Kau tidak lihat pembuat onar itu? Anak baru yang selalu dihukum para guru? Orang tuaku melarangku mendekati mereka,” ucap seorang anak dari balik kumpulan teman-temannya. Suaranya tidak cukup kecil untuk terdengar oleh telinga Fibrela.“Iya, kudengar mereka melakukan percobaan di lab. Mereka membunuh kucing sekolah dengan r
Di dalam kedalaman laut Luxavar, dua bocah laki-laki dan perempuan tengah mengutak-utik alat pemancar di hadapan mereka masing-masing. Sudah seharian mereka bertempur melawan kesabaran dalam upaya mencari sinyal keberadaan Likos. Mereka hampir menemukan sinyal ke daratan, tapi masih menunggu jawaban karena belum ada balasan dari Likos.Hingga pada suatu pagi yang cerah di Luxavar dan senja di daratan, Likos membawa serta Brevis dan Fibrela menuju ruang observasi Likos di sebuah ruangan gereja tua di Menson. Letak gereja itu tepat di atas puncak bukit dengan ladang-ladang jagung di bawahnya, serta aliran sungai yang membelah jalan menuju sisi lerengnya yang terjal.Bagian dalam gereja itu hanyalah sebuah ruangan dengan barisan kursi kosong. Pada salah satu sisi gedung terdapat lorong sempit yang mengantar mereka memasuki bagian yang lebih tersembunyi dari gereja tadi. Gereja itu tidak diberi perawatan secara khusus karena selain umatnya yang sedikit, para biarawan yang
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak