Pagi esok harinya adalah yang paling sulit.
Luna mati-matian melawan keinginan untuk tidak sekolah. Ia berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Obrolan dengan Papanya kemarin sudah membuatnya membulatkan tekad, ditambah bayangan tinggal bersama dengan Tante Mia entah kenapa begitu menghantuinya kali ini.
Sebenarnya kalau semua baik-baik saja, tidak terlalu buruk juga kalau tinggal bersama Tante Mia.Tante Mia sangat memanjakannya. Di rumahnya yang besar dan berlantai dua bagai istana, Luna diperlakukan seperti seorang tuan putri. Ia bebas mengambil kue-kue kering atau permen cokelat yang ada di ruangan makan.Makanan,pakaian, atau apapun yang Luna inginkan, semuanya akan tersedia dengan cepat hanya dengan perintah Tantenya yang seperti sebuah sihir.
Masalahnya, ia tidak bisa membayangkan setiap hari akan melihat wajah si Tante yang seperti gabungan antara nenek sihirDirga bilang ada rahasia pin garda patriot, tetapi Luna tidak yakin. Sayangnya, sebelum Luna bertanya lebih lanjut, Ibu Win sudah masuk ke kelas. Rahasia apa yang bisa ditemukan Dirga di dalam pin itu? Peta markas kelompok itu? Alat komunikasi untuk memanggil mereka? Atau sesuatu yang kalau ditekan di pin, benda kecil itu bisa meledak seperti bom? Rasanya semua kemungkinan yang dipikirkan Luna hampir mustahil. Di jam pertama ternyata ada ulangan matematika, tentu saja Luna belum belajar. Dengan lesu, Ia mencatat soal yang tertulis di depan kelas. Semuanya ada lima, tentang perbandingan dan skala. Dua soal pertama Luna cukup yakin bisa mengerjakannya, tetapi untuk tiga yang lain, ia kebingungan. Luna diam-diam melirik Dirga. Temannya itu bekerja dengan tenang dan santai, seolah-olah semua soalnya hanya satu tambah satu sama dengan dua. Sesaat, Luna tergoda untuk melirik kertas jawaban Dirga.
Apa sih yang Dirga lakukan sampai dikejar seperti tukang copet? Luna berlari ke lift yang ada di tengah lorong apartemennya, lalu menekan tombol agar lift itu naik. Dengan tidak sabar ia menunggu pintunya terbuka, tetapi angka penanda lantainya bergerak ke atas dengan sangat lambat. Tidak ada waktu lagi. Semakin lama ia berdiri di sini, entah apa yang akan terjadi kepada Dirga. Jadi Luna terpaksa memilih alternatif jalan lain yang kurang disukainya: Tangga darurat. Tangga itu sempit dan curam, jelas bukan pilihan pertama untuk orang yang sedang terburu-buru. Penerangannya juga suram. Luna menuruni tangga secepat mungkin sambil berhati-hati menjaga langkahnya agar ia tidak terpeleset. Walaupun ingin segera sampai ke bawah, turun sambil jatuh berguling-guling jelas bukan ide yang bagus. Udara di sana juga pengap dan berbau cat yang menyengat. Orang biasa mungkin bisa pingsan kalau mereka menuruni dua belas lan
Rasanya Luna seperti mendengar Papa akan menceritakan hal yang memalukan kepada Dirga, seperti. “Luna kalau tidur sering ngiler.” atau. “ Tahu nggak? Anaknya Oom ini sampai SD kelas satu masih sering ngompol, lho.” Namun yang satu ini bakal lebih payah. Kalau ada satu kalimat saja yang salah keluar dari mulut Papanya, Dirga akan terus bertanya sampai anak itu merasa puas. Bu Win saja sering bingung kalau temannya itu mulai bertanya macam-macam tentang pelajaran. Luna takut kalau Papa sampai kelepasan bicara, Dirga pasti mengetahui rahasianya dan menganggap Luna sebagai cewek monster, sama seperti Ara dan teman-temannya yang lain. “Ini namanya kristal matahari,” kata Sadewa memperlihatkan kristal yang baru saja dilepas dari kalung Luna. “Kristal ini langka soalnya bisa simpan tenaga matahari dan bisa dipakai buat sembuhin penyakit.” Ia memandangi Luna. “Dari dulu Luna sakit-sakitan. Dia butuh batu ini biar tetap sehat kayak anak-an
13 –Luna hanya melongo memandangi pin yang baru saja berbunyi.Ia menoleh kepada Papa dan Dirga, berharap salah satu dari mereka bisa memberi saran. Namun, keduanya tampaknya terlalu kaget untuk bicara, bahkan Dirga menatapnya dengan mulut menganga seolah baru saja melihat Luna sudah berubah jadi kodok raksasa.Pin di tangannya kemudian berbunyi lagi. Kali ini suaranya tinggi seperti suara perempuan. “Ini Ti… A… nggak tahu kemana dia … Anak itu… krrsssk … kristal matahari …. bahaya ….. kita harus … kkrrsrk … Maya …”Mendengar nama itu, perut Luna seakan diaduk-aduk. Rasa penasaran menyengatnya, tetapi entah dari mana Luna mendapat keberanian. Ia mendekatkan pin itu ke mulutnya dan mulai bicara. “Ini siapa ya? Kenapa sama Maya? Halo?”“Kamu … siapa?&r
Hari Sabtu di minggu berikutnya yang dinanti Luna akhirnya tiba. Jam setengah tujuh pagi ia sudah bangun, tetapi tidak cukup pagi untuk mengantar Papanya. Sadewa akan terbang dengan pesawat jam delapan, yang artinya ia sudah berangkat dari subuh tadi. Sambil menguap, Luna berjalan ke luar kamar. Di ruang televisi, ia menemukan sebuah ponsel tergeletak di meja, selembar surat, dan juga tiga lembar uang seratus ribu. Butuh sedikit usaha untuk membaca tulisan Papanya yang seperti cacing yang meliuk-liuk kepanasan. Papa pergi dulu, Minggu depan Papa baru pulang. Pulsa ponsel kamu udah Papa isi. Telepon Papa kalau ada yang penting. Papa juga udah isi saldo buat kamu pesan ojol kalau kamu mau berangkat sekolah. Uang di meja buat makan & jajan kamu selama seminggu, jangan diborosin. Kunci pintu kalau mau pergi, dan jangan lupa matikan TV sama AC. Pakai teko listrik kalau mau masa
Pin itu bentuknya sama dengan pin milik Dirga, hanya saja lebih berkilau dan tidak ada bekas lecet atau terbakar. Luna membalik pin itu, dan semakin terkejut ketika merasakan tombol-tombol kecil di belakangnya.“Luna? Udah selesai makannya?”Suara Maya mengejutkan Luna. Ia berdiri dengan terburu-buru dan terbentur bagian bawah meja. Sambil meringis, ia keluar dari bawah meja. “Kak, ini … aduh .. ini ada yang-”Luna ingin menyerahkan pin itu, tetapi Maya langsung menggandeng tangannya dan menuju pintu ke luar. Kepala Luna masih berdenyut-denyut. Ia bahkan hampir menabrak seorang pelayan yang membawa nasi dan cap cay yang mengepul panas.Luna tidak berani bertanya mereka mau kemana. langkah kaki Maya semakin lama semakin cepat, sementara pegangannya pada tangan Luna semakin keras. Luna akhirnya memaksa untuk
Selamat datang di kelompok para ksatria, untuk menguji kemampuanmu, tolong curi satu telur naga mahabengis di atas puncak gunung sana. Kira-kira Luna merasa permintaan Maya seperti itu.Kristal matahari? ia pasti salah dengar.“Kristal matahari saya? ” tanya Luna memastikan. “Mbak butuh kristal itu buat apa?”“Kristal itu berbahaya, Luna,” ucap Maya dengan nada serius. “Kamu sendiri tahu kalau kristal itu bisa kasih kekuatan hebat ke orang lain. Kamu anak yang baik, jadi mbak ngga kuatir, tapi gimana kalau kristal itu dipegang orang yang jahat? ”Seperti si pemuda rambut merah mungkin? Ini ketiga kali Luna berurusan dengannya dan sudah dua kali ia selalu bertemu dengan bayangan hitam yang menakutkan itu. Mungkinkah pemuda itu juga punya kekuatan kristal yang sama seperti dirinya dan menjadi jahat?Memikirkannya membuat L
Bongkahan itu tidak berbentuk bulat mulus seperti Kristal matahari yang biasa dipakai Luna. Banyak kerikil dan pasir masih menempel membuat warnanya menjadi kusam. Ukurannya juga bermacam-macam. Dari yang terkecil berukuran seperti bola bekel sampai sebesar bola kasti.Luna menghitung jumlahnya, ada tujuh buah kristal di sana. Papa tidak akan curiga kalau ia mengambil satu, bukan?Pikiran itu berbisik di kepala Luna, berulang-ulang seperti gema yang semakin lama semakin nyaring, membuat tangannya bergerak sendiri dan meraih sebuah kristal.“Kamu lagi nyari apa?”Luna nyaris melompat karena kaget, kristal matahari yang ia pegang kembali meluncur ke dasar ransel. Sadewa berdiri di belakangnya dan mengangkat alis.“Eng, .. lagi beresin tasnya Papa.” jawab Luna mencari-cari alasan. “Itu di dalam ada kristal matahari ‘kan? Papa dapet dar
Kehadiran Pak Wira membuat Luna seakan di dekatnya ada sebuah perisai besar yang kokoh. Pak Wira kelihatan seperti pria paruh baya pada umumnya. Berambut putih dan tipis sementara keriput-keriput halus menghiasi wajahnya yang berhidung mancung. Namun, dilihat dari bentuki tubuhnya yang terbalut jaket hitam, jelas sekali beliau selalu menjalani latihan olah tubuh yang keras. “Begini Pak Sadewa, kita langsung saja ke masalahnya, ” kata Pak Wira. “Saya mau minta izin ke bapak, agar Luna boleh bergabung dengan kelompok kami, Garda Patriot.” Mata Luna membulat ketika mendengar perkataan Pak Wira. Ia merasa di dalam otaknya terdengar bunyi klik yang menyambungkan semuanya. Pak Wira adalah Mahameru, orang yang menolongnya kemarin. Pimpinan dari kelompok idamannya itu sekarang mengajaknya untuk bergabung dengan mereka. Rasanya, Luna ingin melompat gembira, tetap
Luna bermimpi.Ia menjadi salah satu anggota Garda Patriot, memakai seragam warna merah menyala dengan lambang matahari keemasan di dadanya. Saat itu, ia sedang berjalan mengendap-endap di balik tumpukan tong di dalam sebuah gudang besar untuk mencari seorang penjahat.Luna akhirnya menemukan si penjahat. Orang itu sedang memunggunginya dan memakai jas laboratorium putih dan tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Dikelilingi meja dengan banyak tabung reaksi yang dipenuhi cairan bermacam-macam warna dan baunya minta ampun, seperti ratusan parfum yang dicampur dan diaduk jadi satu.Dengan sekuat tenaga, Luna menerjang si penjahat dari belakang. Mereka sama-sama jatuh dan berguling di lantai. Si penjahat meronta-ronta liar, sampai Luna harus memukul wajahnya dua kali. Setelah si penjahat itu diam, dengan hati-hati Luna menyibak rambutnya untuk melihat wajahnya.Begitu rambut si penjahat tersibak. wajah Tante
Di belakang ada harimau, sedangkan di depan ada manusia buaya jelek yang siap menyantap mereka. Setidaknya, begitulah keadaan yang dirasakan Luna sekarang.Mobil van hitam itu berhenti tidak jauh dari kedua anak itu. Lampu depannya masih menyala terang ketika Maya turun diikuti Ojan dan Malih di belakangnya. Bersama dengan Modo, mereka bergerak mengepung Luna dan Dirga dengan perlahan dan waspada.“Jangan deket-deket!” Luna mengacungkan tinjunya ke arah Modo lalu ke belakang. “Aku masih bisa mukul kalian sampai mental, lho!”Luna harap gertakannya bisa membuat para penjahat itu ragu untuk menangkapnya, atau lebih baik lagi kalau mereka kabur karena ketakutan. Namun, harapannya tampak sulit terkabul, apalagi dengan suara yang mencicit dan tangan yang gemetaran.Modo dan gerombolannya semakin mendekat, sementara Luna terus mengacungkan tinju sambil berusaha menutupi dada dengan
Luna hanya sempat menjerit tertahan ketika bayangan hitam itu mencoba menggulungnya bersama Dirga.Ia tidak bisa menghindar. Kakinya terlalu berat untuk bergerak. Jadi, ia hanya melakukan sesuatu yang terpikirkan olehnya. Luna spontan mengangkat tangan mencoba menahan serangan Maya walaupun tahu itu akan sia-sia. Tangannya yang kecil tak akan sanggup menahan ombak hitam yang akan segera menelannya hidup-hidup.Bayangan itu menghantam tangan Luna dengan kekuatan pukulan seorang petinju kelas berat dan membuatnya terdesak ke dinding. Punggung Luna terasa nyeri ,sementara rasa ngilu yang berdenyut-denyut menjalari lengannya. Maya rupanya tidak bercanda. Sensasi dingin terasa di tangannya. Luna menghitung sampai tiga dengan mata terpejam. Ia bersiap untuk melihat pemandangan serba gelap dan hawa dingin yang akan ia temui nanti. Pikiran pertama yang terlintas di dalam kepalanya adalah; Apa
Luna seperti menelan bongkahan besar kristal matahari. Ia tak tahu harus bicara apa. Di satu sisi ia lega karena melihat Maya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda luka apapun di tubuhnya dan temannya itu cantik dan tampak percaya diri seperti biasa, Wajahnya hanya sedikit mengkilap karena keringat. Di sisi lain, Luna juga kebingungan. Maya tidak menunjukan sikap bermusuhan kepada kedua preman di sampingnya, malah mereka kelihatan segan. Begitu Maya mengibaskan tangan, dua orang itu langsung meninggalkannya di kamar. “Mbak Maya?” tanya Luna. “kok bisa di sini? Saya … saya kira…” “kamu kira apa?” Maya balik bertanya. “Mereka itu temen-temen mbak.” “Tapi mereka penjahat, mbak,” jawab Luna, “Garda patriot kok temenan sama penjahat?” “’Kamu duluan ‘kan yang nyangka mbak itu garda patriot.” Jawab Maya. Ada nada geli di suaranya. “Mbak sih cuma iyain aj
Jangan-jangan, Ojan itu genderuwo yang menyamar jadi manusia. Sejauh yang Luna ingat, belum pernah ada orang yang bisa menahan pukulan dengan tenaga kristal matahari miliknya. Ia bahkan pernah tak sengaja menghancurkan kap mobil yang nyaris menabraknya. Ojan jelas lebih kuat daripada kap mobil. Setelah kena pukul, ia masih bisa berdiri dan ganti mencengkeram pergelangan tangan Luna. Jari-jarinya sekuat besi sampai Luna menjerit, rasanya tangannya akan patah karena cengkeraman orang itu. Luna meronta berusaha membebaskan diri. Ia memukul dan menendang, tetapi Ojan seakan tidak terpengaruh. Ia seolah menganggap serangan-serangan itu hanya gelitikan yang membuatnya geli. “Lepasin temen aku!” Dirga menerjang sambil mengayun-ayunkan kayu yang dari tadi dipegangnya. Ojan menahan serangan Dirga dengan tangan kirinya yang bebas. Batang kayu itu langsung patah menjadi dua.
Luna harap Dirga sedang tidak bercanda.Mereka sekarang berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang lebih cocok menjadi rumah hantu. Rumah itu kelihatan suram dan sudah ditinggalkan oleh pemiliknya bertahun-tahun. Dinding yang seharusnya bercat putih tampak kuning dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya juga banyak yang pecah. Di depan pagarnya yang besar, ada Papan tanda DIJUAL yang sudah miring dan lapuk.“Beneran di sini ?” kata Luna ketika bunyi di pin Dirga sudah berhenti.Dirga mengeluarkan pinnya dan menyorotkan ke dinding terdekat. Sekarang, Luna bisa melihat dua titik kuning di peta sekarang hampir saling menempel satu sama lain.“Orangnya pasti di sini,” kata Dirga yakin. “Mau masuk?” Tidak ada kata mundur lagi. Langit di atas kepala Luna sudah mulai berwarna oranye. Ia harus menyelesaikan ini dan p
Mungkin Maya tertangkap oleh gerombolan orang jahat. Ia bisa saja disandera di suatu tempat, bahkan sekarang sedang terluka dan butuh bantuan, atau bisa saja lebih buruk lagi.Luna buru-buru menghentikan pikiran-pikiran yang menakutkan itu. Di tengah rasa panik, ia berpikir keras. Ide yang pertama muncul adalah ia harus menelepon polisi, tetapi ia bahkan tidak tahu Maya ada di mana.Ide lainnya lalu muncul. Ia harus minta tolong kepada teman-teman Maya. Garda Patriot pasti punya banyak jagoan hebat yang bisa menolong Maya. Masalahnya, di mana markasnya? Luna juga tidak tahu.Namun, Luna kenal orang yang mungkin saja mengetahui markas mereka.Dirga, tentu saja dia. Tanpa membuang waktu, Luna bergegas mencari nomor telepon rumah Dirga yang ia catat. Butuh waktu agak lama untuk menemukannya karena kertas catatan itu terselip dalam buku
Awalnya, Luna mengira setelah kristal matahari ada di tangannya ia bisa tidur dengan nyenyak. Namun, ia keliru.Kristal itu seharusnya sudah aman sekarang. Setelah sukses menjalankan aksinya, Luna memasukannya ke dalam tas sekolah. Tertutup kaus olahraga dan tersembunyi di antara buku-buku paket yang tebal. Sayangnya, Luna merasa tidak mengantuk lagi.Kedua matanya tidak mau diajak istirahat sampai jam tiga pagi. Luna merasa baru terlelap beberapa detik saat ia mendengar panggilan Papa dari balik pintu kamar.“Buruan mandi, nanti kamu kesiangan lho.” kata Sadewa.Luna melirik jam wekernya dan mengerang. “Sekarang’kan masih jam setengah enam, pa.”“Katanya mau ke kantor Papa dulu ambil batu. Kalau nggak, nanti kamu telat masuk sekolah.”Luna mengerang lagi. Batu untuk pelajaran IPA hanya cerita bohong