"Ingat, Hamdan bukan tak mau membawamu berbulan madu, tapi dia menunggu waktu yang tepat untuk membawamu bulan madu. Jika kalian pergi sekarang, bukan tidak mungkin kalian tak akan bahagia karena fikiran Hamdan selalu tertuju pada istri pertamanya yang sedang tidak baik-baik saja kandungannya."Salwa mencerna perkataan sang ibu, hatinya membenarkan apa yang diucapkan ibunya, bahwa tak mungkin Hamdan akan fokus pada bulan madu mereka karena memikirkan istri satunya yang sedang mengandung dan kondisi janin yang lemah."Cobalah petik hikmah di balik kejadian ini, jangan pikirkan sakitnya, tapi dampak setelahnya.""Terimakasih, Bu. Terimakasih sudah menjadi orang tua terhebat buat Salwa, maaf Salwa belum bisa bahagiakan ibu, maaf Salwa selalu buat ibu kecewa. Maaf Salwa tak pernah mendengarkan nasihat ibu. Salwa janji akan menjadi istri yang Sholehah buat suami Salwa dan juga adik yang baik buat madu Salwa.""Kamu putri ibu, Nak. Kamu satu-satunya yang ibu mi
"Abah, terimakasih sudah membawa ummi ke tempat yang begitu indah ini," Salwa duduk bersandar di bahu Hamdan sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh mereka. duduk di sebuah kursi panjang di halaman penginapan sambil menikmati indahnya laut yang berwarna biru membuat mata enggan melepas pandangan. "Semoga ummi bahagia," "Ummi sangat bahagia, Abah." "Mau berenang?" tawar Hamdan kepada istri yang saat ini tengah berada dalam pelukannya. "Nggak Abah, gini ajah." Hamdan sudah berusaha sekeras mungkin menolak permintaan Najma untuk membawa Salwa berbulan madu, bukan tak mau membawa, tapi Hamdan menundanya karena khawatir akan kondisi kandungan Najma yang lemah. Najma dengan gigih memaksa Hamdan untuk tetap pergi, dan terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Karena paksaan dari istri pertamanya, akhirnya Hamdan mau berangkat membawa Salwa bulan madu. Namun, meskipun begitu Hamdan tak mau seperti orang yang terpaksa menjalani bulan madu ini. Ia tak mau membuat istri k
"Maafkan, aku Mbak. Maafkan atas semua ucapanku yang menyakiti hatimu, Mbak. Aku janji, aku akan berubah menjadi lebih baik lagi. Aku akan berusaha menjadi adik yang baik untukmu. Mohon, maafkan aku, Mbak." Salwa menunduk dengan bahu bergetar dengan kedua tangan menggenggam erat tangan Najma yang masih terlihat kebingungan pasalnya datang-datang Salwa langsung menangis dan meminta maaf padanya.Saat ini Salwa sudah berada di rumah Najma untuk meminta maaf secara tulus kepada kakak madunya tersebut. Sehabis dari bandara, dia langsung menuju rumah kakak madunya tanpa pulang terlebih dahulu. Tadi malam, setelah selesai mengemasi pakaian untuk esok harinya, Salwa sudah mengatakan yang sejujurnya tentang apa yang ia katakan pada Najma kepada sang suami."Abah, boleh ummi minta waktunya sebentar?" tanya Salwa menghampiri Hamdan dan duduk di damping lelaki itu, saat Hamdan sedang mengecek beberapa email yang dikirimkan oleh sekretarisnya."Boleh," jawab Hamdan sambil mematikan ponselnya, "Ad
Umma, atas nama Salwa Abah benar-benar minta maaf atas segala sikap dan perkataannya." Hamdan membuka percakapan setelah sekian menit terjadi keheningan pasca mereka melepaskan rindu satu sama lainnya."Umma sudah memaafkan Salwa, Abah." Jawab Najma sambil mengeratkan pelukannya mencari kenyamanan dalam pelukan sang suami.Saat ini mereka tengah berada di kamar mereka. Saling mencurahkan rasa rindu karena tidak berjumpa selama dua pekan."Sayang, kapan jadwal untuk periksakan kandunganmu?" tanya Hamdan sambil memeluk sang istri dan mengusap perut yang terlihat sudah sedikit membuncit."Biasanya kemaren Abah, tapi Umma nunggu Abah dulu buat periksa anak kita." jawaban Najma berhasil menyentil hati Hamdan membuat lelaki itu merasa nyeri pada hatinya karena lagi-lagi dia belum bisa menjadi suami yang siaga."Benarkah Umma? Kalau begitu kapan kita ke rumah sakitnya, sekarang?""Jangan sekarang, Abah pasti lelah habis dari perjalanan jauh, besok saja." tolak Najma karena dirinya pun sedang
"Ya Allah! Baik, Bu, Hamdan akan segera ke sana."Melihat raut wajah Hamdan yang terlihat khawatir, membuat Najma juga ketularan khawatir entah pada siapa."Ada apa, Bah?""Salwa tak sadarkan diri, Umma. Kita harus ke sana dulu, baru kita barengan berangkat ke rumah sakit. Tak apa 'kan, Umma?""Iya, Abah. Tak apa."Akhirnya kini mereka berangkat menuju rumah sakit bersama. Salwa di letakkan di jok belakang dengan kepala di letakkan di pangkuan sang ibu. Sedangkan Najma tetap pada posisinya duduk di samping kemudi."Umma ambil antrian saja dulu, nanti Abah nyusul setelah membawa ummi Salwa ke ruang UGD," pinta Hamdan mereka sudah tiba di rumah sakit.Tanpa berpikir panjang, Najma mengiyakan usulan sang suami."Baiklah, Abah. Kalau begitu Umma ke poli kandungan dulu, semoga dik Salwa tidak apa-apa,""Iya, Umma. Umma hati-hati," pesannya sebelum membawa Salwa menuju ruang IGD untuk diperiksa."Iya, Abah."Najm
Mendengar itu, tanpa terasa air mata Najma menetes haru mendengar bahwa kandungannya sudah sehat, tidak lagi lemah. Namun, lagi hatinya terluka saat tak mendapati suaminya ada di sisinya. Namun, ia paksakan tersenyum saat dokter menatapnya dengan sendu. Bagaimana tidak di tatap demikian, wajah yang awalnya berbinar berubah menjadi sayu setelah di perdengarkan detak jantung sang bayi yang berdetak dengan sangat normal."Anda baik-baik saja?" tanya dokter khawatir."Saya tak apa, dokter. Saya baik-baik saja. Saya hanya terharu karena janin saya sudah sehat,"Setelah diperiksa dan mendapatkan foto hasil USG, Najma langsung berpamitan kepada dokter. Setelah keluar dari ruangan dokter Arini, Najma menuju apotek untuk menebus obat yang telah diresepkan.Selesai menebus obat, Najma kembali melanjutkan langkahnya menyusuri koridor rumah sakit untuk menemui suaminya yang mungkin masih berada di UGD. Buku KIA yang di dalamnya terdapat foto hasil USG terbaru dari ja
Maaf, kami tak bisa menyelamatkan kandungan Mbak Najma. Beliau keguguran, dan sebentar lagi akan dilakukan kuretasi agar darah benar-benar bersih dari rahimnya."Pernyataan dokter Arini membuat seluruh tubuh Hamdan terkulai lemas. Bayi yang selama enam tahun dia dan istrinya harapkan harus pergi terlebih dahulu sebelum dirinya melihat rupanya. Haruskah dia mengatakan bahwa dunia begitu kejam? Kenapa harus diambil sebelum dia dan Najma melihat rupanya? Belum cukupkah kesabarannya dan kesabaran sang istri selama enam tahun menantikan buah hati? Kenapa harus menunggu lagi?Jangankan Hamdan, dokter Arini saja merasa tak percaya akan apa yang terjadi pada Najma hari ini. Padahal tadi dia melihat Najma begitu bahagia karena kandungannya tak lagi lemah. Bayinya sehat dan tumbuh dengan sangat baik, tapi sungguh takdir tak dapat di tebak. Hanya berselang beberapa menit, janin itu sudah pergi menghadap Sang Pencipta."Ya Allah, aku percaya Engkau tak akan menguji hamba-Mu di luar batas kemampua
Assalamualaikum,"Ucapan salam dari arah pintu membuat ketiga orang yang tengah terdiam di dalam ruang rawat Najma itu menolehkan suaranya ke asal suara. Bingung? Tentu saja. Mereka tak tahu siapa orang-orang itu yang kini tengah berdiri di ambang pintu, tapi tak urung mereka menjawab salam dan mempersilahkan mereka masuk."Begini, kedatangan kami kesini mau meminta maaf kepada keluarga mbak yang kini tengah terbaring di brankar ini." kata ibu Risfan memulai obrolan."Maksudnya gimana ya, Bu?" tanya Salwa sambil beranjak dari tempat duduknya."Maafkan saya, Mbak. Saya yang nggak sengaja nabrak mbak ini hingga membuat beliau keguguran. Saya benar-benar minta maaf, saja janji saya akan tanggung semua biaya rumah sakit."Mendengar itu, Hamdan langsung saja melayangkan pukulannya ke wajah Risfan membuat lelaki tersebut tersungkur.****"Astagfirullah, Abah." Salwa memegangi tangan Hamdan yang hendak maju untuk kembali memukul lelaki yang
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota