"Iya.""Aneh. Saya sama sekali nggak mendengar suara apapun, Bu."Aku semakin diliputi kebingungan. bulu-bulu di tangan mulai meremang. Nela sepertinya menyadari rasa takut yang sedang merayapi emosiku. "Gini aja. Ibu lanjutkan bersih-bersih dan wudu. Saya temani di dekat pintu.""Aku wudu di toilet kamar tidur tamu aja, deh."Bulu kudukku berdiri saat kami berdua melangkah keluar. Nela tetap menemani dan menunggu aku di depan toilet. Untung saja suara-suara tadi tidak ada di sini, hingga aku bisa menyelesaikan wudu dengan tenang.Setelah selesai, aku kembali ke kamar untuk menunaikan salat magrib. Nela ikut salat berjamaah denganku. Di akhir, aku memperpanjang sujud. Memohon ketenangan dan penyelesaian untuk semua masalah kami. Aku yakin, Allah akan memberikan solusi untuk semua ini.Selesai salat, aku mengajak Nela untuk ke ruang tamu. Suasana kamar terlalu mencekam buatku saat ini. Lebih baik menunggu Mas Zaki di depan saja.Dengan gelisah, aku duduk di sofa. Berganti posisi beber
Seorang laki-laki duduk di samping Rizal. Dia mengenakan koko putih dan celana panjang hitam yang sederhana. Di bahunya tersampir serban abu-abu dengan motif kotak-kotak kecil. Wajahnya teduh dan sama sekali tidak pernah menatap wajahku. Mas Zaki menceritakan kejadian datangnya ular di depan kulkas, juga tentang suara perempuan di toilet yang hanya terdengar olehku. Saat suamiku mengakhiri ceritanya, lelaki yang bernama Ustadz Azzam itu tersenyum. "Ya, tampaknya itu memang jin, tapi jangan sampai membuat kita berburuk sangka atau suuzan pada orang lain. Jangan pernah menduga-duga bahwa jin ini kiriman dari si A atau si B dan lainnya. Cukup Pak Zaki dan keluarga membentengi diri dengan Al Qur'an, sehingga gangguan dari luar akan sulit masuk."Mas Zaki menganggukkan kepala. "Baik, Ustadz.""Usahakan untuk menghapalkan surat Al Baqarah dan surat Yunus untuk dibaca dalam salat. Ditambah dengan Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas. Saat hendak masuk rumah, baca basmallah dan salam. Saat menu
"Sayang, kamu tenang aja. Aku sangat yakin itu anak orang lain. Kamu udah dengar ceritaku, tentang kami yang bahkan sulit melakukan hubungan sejak video pertama yang aku lihat di ponselnya, kan? Kami nggak pernah berhasil melakukannya sampai talak tiga itu aku ucapkan. Jaraknya lebih dari sebulan. Kalau memang nanti dia menuntut macam-macam, aku akan mengajukan tes DNA.""Iya, Mas, tapi kenapa Hana tidak ditahan terkait kasusnya?""Aku nggak tahu apa yang mereka lakukan di belakang pengadilan. Keluarga Hana sangat ahli dalam hal-hal seperti ini. Adik bungsunya juga pernah terlibat kasus narkoba, dan berakhir bebas.""Aku takut, Mas.""Tenang aja. Aku akan jagain kamu dengan sepenuh kemampuan. Nggak ada yang boleh nyentuh istri dan anakku walau seujung rambut sekalipun."Ucapan Mas Zaki sebenarnya membuat aku tenang. Namun, di sisi hati yang lain tetap ada rasa takut yang menghantui. Dengan kekuatan, uang, dan pengaruh yang dimiliki keluarga besarnya, kemungkinan Hana untuk melakukan s
Senyap. Detak jam dinding semakin jelas terdengar karena tidak ada satu pun manusia di rumah ini yang berbicara. Demikian juga aku dan dan Amel yang membisu di balik pintu. "Kalau udah nggak ada lagi yang mau disampaikan, aku mau istirahat," ujar Mas Zaki memecah keheningan dengan suara dinginnya. "Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas.""Hana, dalam Islam, istri yang sudah ditalak tiga tidak dapat dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Kecuali si istri sudah menikah lagi dengan orang lain lalu bercerai, tapi bukan pernikahan settingan atau pura-pura."Tidak ada jawaban, hingga Mas Zaki berbicara lagi. "Jangan pernah melakukan drama nikah pura-pura lalu cerai, karena aku akan tahu. Lagi pula, sampai mati pun kita nggak akan pernah bersama lagi.""Kamu jahat, Mas," isak Hana di sela kalimatnya yang terbata. "Aku nggak mau ngebahas siapa yang lebih jahat di antara kita, Hana. Bahkan harusnya kamu nggak ke mana-mana sebelum masa iddah selesai."Tidak ada suara lagi untuk beberapa saat lama
"Pagi harinya Mas Zaki membawaku ke sebuah tempat di kawasan Kabupaten Tangerang. Tentu saja dengan pengawalan lengkap dari anak buahnya yang kini lebih memperketat penjagaan. Namun, kali ini kami pergi dengan pergerakan yang lebih halus dan rapi. Hingga sangat kecil kemungkinannya untuk dicurigai. Sengaja mobil keluar tidak beriringan, tapi tetap saling memantau. Bahkan kami menembus lalu lintas di jam yang ramai agar terlihat hanya bepergian biasa. Di tengah perjalanan, dengan kemampuan Mas Zaki, Rizal, dan Pak Wawan, kami sudah berjalan beriringan saat memasuki perbatasan kota dan kabupaten. Sejak di sana, mereka bertiga sangat yakin kami tidak diikuti siapa pun sampai ke tempat yang baru.Rumah itu agak sedikit lebih kecil dibanding dua tempat tinggal kami sebelumnya. Desainnya minimalis, dengan taman mungil di depannya. Ada satu pohon mangga di bagian sudut yang membuat suasana halaman menjadi lebih sejuk. Tidak ada kolam renang, tapi tentu saja itu bukan hal mengecewakan karen
Aku mendengar suara bisik-bisik yang sangat jauh seperti dengungan. Tak jelas terdengar dari setiap kata. Pikiranku beralih pada Mas Zaki. Tiba-tiba aku menyadari, telah mencintai lelaki ini tanpa syarat. Dia yang selalu romantis dengan caranya sendiri. Yang telah berhasil menggoreskan berbagai kenangan di setiap interaksi kami, bahkan saat menuntut haknya. Lalu, di mana dia sekarang?Saat ini aku seperti mati rasa. Masih jelas kata-kata Mas Zaki ketika mengatakan bahwa aku adalah candu baginya. Juga ekspresi wajahnya ketika dia mengungkapkan itu. Aku masih meringkuk dalam selimut yang entah dililitkan oleh siapa. Mencoba meresapi kenyataan menyakitkan yang sedang terjadi. Aku hampa. Separuh hidupku menghilang.“Bu, minum ini dulu,” Amel berkata dengan lembut, seperti seorang ibu yang sedang membujuk anaknya.Suara gadis itu membuat aku seperti tersadar dari mimpi, tapi sekaligus membawa kembali ke dalam kesedihan. Amel memberi segelas teh hangat yang kuambil dengan tangan gemetar.“T
Aku kembali berdoa dan memohon pada Allah agar hidupnya masih panjang. Aku masih butuh bersamanya. Kami perlu waktu yang banyak untuk bersama.Aku masih ingat momen saat dia menyatakan cintanya untuk pertama kali. Wajahnya memerah, dengan tatapan yang sangat gelap. Tuhan, ternyata aku sangat mencintainya. Tak memiliki arti tanpa dirinya."Apa yang harus kulakukan untuk meyakinkanmu?"Masih kulihat jelas ekspresi putus asanya saat mengucapkan kalimat itu. Dia lelaki yang sangat tahu bagaimana membuatku terus mendambanya. Selalu menginginkannya tanpa pernah merasa bosan.Aku masih menatap dengan pandangan kosong saat kenangan demi kenangan masuk kedalam pikiran. Bayangan dia yang menyuapi setiap ada kesempatan. Memasak di dapur dengan bertelanjang kaki karena ingin menyiapkan sendiri makanan untukku.Semoga dia baik-baik saja. Mas Zaki tak boleh pergi. Karena saat itu terjadi, maka separuh jiwa ini pasti terkoyak. Aku terisak dan menutupkan tangan ke mulut. Harus kuat, rapalku dalam ha
"Apa yang terjadi?" bisikku.Sekali lagi dia menyeka air mataku dengan ibu jarinya, lalu kembali memberikan pelukan."Ceritanya sangat panjang, Cinta."“Kamu udah buat kami semua sangat khawatir,” isakku di antara kata.“Aku sudah di sini, Sayang,” gumamnya."Bahkan Rizal terlihat sangat panik," ujarku sambil melirik ke arah lelaki berkulit putih itu.“Senang melihatmu, Kawan,” serunya sambil memberikan dua ibu jarinya.Aku tahu Rizal sedang mencoba untuk menyembunyikan emosinya. Mata lelaki itu masih merah. Semua orang di ruangan ini menyayangi Mas Zaki. Sebelum ini mereka sama denganku, khawatir dan takut."Aku selamat. Rekanmu di Ambarawa itu memang benar-benar bisa diandalkan, Bro!"Rizal hanya tersenyum dan mengangguk. Mas Zaki mengedarkan pandang ke sekeliling, lalu kembali padaku.“Aku pikir … kamu ...."“Aku tahu. Maaf udah bikin kamu ketakutan. Maafkan aku,” bisiknya.“Oh, terima kasih, Allah.""Mas mau minum?" “Ya.”“Aku akan mengambilkannya,” bisikku.“Nggak usah. Jangan p
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus