Aku masih belum memahami sepenuhnya tentang apa yang terjadi. Mas Zaki tampak sangat sedih dan terus menciumi punggung tanganku. "Cyra di mana?""Dia di rumah sama Ibu dan Laras.""Kenapa nggak ikut aku?"Mas Zaki menegakkan tubuhnya. Dia menatapku dengan pandangan heran. "Cinta, 'kan kamu sendiri yang nggak mau ngajak Cyra. Jauh dan sudah malam juga.""Memangnya kita ke mana?""Kamu nggak ingat? Kita dari rumah Disha, sepupuku. Kamu baru aja bicara banyak pada Arsi."Kenapa aku merasa Mas Zaki jadi aneh, ya? Banyak yang tidak aku mengerti dari ucapannya. "Arsi? Siapa dia?"Mata Mas Zaki membesar. Pandangannya sulit diterjemahkan, sementara bibirnya sedikit bergerak seperti hendak tersenyum. "Cinta, kamu nggak apa-apa, 'kan? Sebentar aku panggil dokter."Mas Zaki keluar kamar setelah terlebih dahulu memerintahkan Nela untuk berjaga di sampingku. Gadis itu menatapku dengan pandangan iba. "Yang terasa sakit bagian mana, Bu?" Aku menggeleng perlahan. Memang tidak ada bagian tubuh y
"Jangan dipaksakan, Bu. Sekarang sepertinya kami harus melakukan pemeriksaan CT scan pada Bu Widia untuk memastikan kondisinya."Dibantu oleh dua orang perawat, aku diantar ke ruang CT scan. Mas Zaki mengekor di belakang kami, tetapi tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Untunglah aku sudah boleh pulang ke rumah beberapa jam setelah pemeriksaan itu. Bagaimanapun bayangan Cyra terus menari di kepalaku. Kasihan dia kalau harus ditinggal terlalu lama. Dokter Reza menjelaskan bahwa amnesia terjadi akibat adanya kerusakan pada bagian sistem limbik yang ada di otak. Bagian ini berperan dalam mengatur ingatan dan emosi seseorang."Yang dialami Bu Widia hanyalah amnesia sementara," lanjutnya lagi. "Ada sedikit kerusakan di sistem limbiknya. Itu yang kemudian menyebabkan sebagian memorinya hilang. Kami akan berikan obat. Setelah beberapa jam, insya Allah Bu Widia akan segera sembuh. Bisa mengingat tanggal lahirnya kembali, walau mungkin akan ada sebagian memori tentang kejadian baru ya
"Oke. Kalau gitu biar Nela yang urus nanti.""Yang tugas hari ini Nela lagi? Bukannya dia sudah sejak kemarin?""Nggak. Dia libur hari ini, tapi nggak masalah kalau aku cuma minta dia atur jadwal dengan orang dari spa. Bisa dilakukan via telepon aja.""Kenapa nggak Amel aja? Jadwal dia bertugas hari ini, 'kan?"Mas Zaki menghela napas sejenak. Dia merengkuh bahuku dan memberikan usapan lembutnya di sana. "Kamu masih belum ingat semua, Cinta? Amel dan Pak Wawan masih di rumah sakit.""Apa? Amel dan Pak Wawan di rumah sakit? Mereka ada bersamaku saat kecelakaan itu?""Iya. Pak Wawan yang nyetir mobil saat kejadian itu. Amel duduk di sampingnya, sementara kamu di kursi belakang.""Kondisi mereka parah?""Nggak terlalu, tapi memang masih harus bed rest di rumah sakit.""Aku harus jenguk mereka. Kamu temani aku, ya?""Nanti, kalau aku yakin kamu sudah benar-benar sehat. Apalagi wartawan juga masih banyak yang mencari info tentang kecelakaan yang kamu alami.""Ya, ampun. Jadi berita juga?
Aku tertidur saat memberi ASI pada Cyra. Suara Mas Zaki yang meninggi membuatku terbangun. Untunglah Cyra tetap lelap. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil kerudung instan. Membuka pintu kamar perlahan, lalu menutupnya kembali. Suara Mas Zaki semakin jelas terdengar. Ia seperti sedang memarahi beberapa orang."Gimana bisa, kondisi istri saya seperti itu tapi kalian satu pun nggak ada yang lapor?"Di ruang tengah, Risna dan Adnan yang bertugas menggantikan Pak Wawan kini tertunduk. Di hadapan mereka Mas Zaki berdiri sambil berkacak pinggang. Wajahnya merah menahan amarah. "Maaf, Pak. Tadi Ibu ....""Udah, Mas. Aku yang minta supaya mereka nggak usah lapor. Aku baik-baik aja. Ini hanya darah. Mungkin aku memang sudah waktunya haid setelah kemarin nifas.""Cinta, aku paham ritme tubuh kamu. Nggak biasanya haid sampai harus menghabiskan begitu banyak pembalut dalam sehari. Risna bilang dia diminta beli tiga bal yang kemasan isi tiga puluh.""Iya, tapi baru kupakai satu b
Sudah tifak terdengar lagi pembicaraan Dokter Elita dan Mas Zaki. Kepalaku dipenuhi bayangan ketakutan jika penyakit mematikan itu benar-benar hadir. Bukan aku takut pada kematian. Bukankah setiap yang bernyawa pasti akan mati, tapi bagaimana nanti dengan Cyra? Bagaimana hidup putri kecilku tanpa ibunya?Aku bergegas kembali ke kamar sebelum Mas Zaki menyadari ada yang menguping pembicaraannya. Tubuhku rasanya lemas tidak bertenaga. Aku masih ingin bersama Cyra ya, Allah. Jangan ambil nyawaku sebelum dia siap menghadapi dunia akhiratnya. Dingin yang luar biasa tiba-tiba menyergap. Aku menaikkan temperatur udara, lalu menyelinap masuk ke dalam selimut. Berkali-kali kurapal doa dalam hati, agar Allah menghindarkan aku dari berbagai penyakit. Ternyata setelah itu aku tertidur. Mas Zaki bilang cukup lama menunggu aku hingga terjaga. Saat membuka mata, tangan kekarnya berada di dahiku."Cinta, apa yang kamu rasakan?"Aku menggeleng lemah. "Ayolah, kamu harus semangat. Tidak boleh stress
Semua orang sudah terlelap, termasuk Mas Zaki dan Cyra. Nela tertidur di depan pintu setelah meminum segelas air yang kuberikan. Aku telah menambahkan obat tidur ke dalam minumannya. Demikian juga para penjaga di depan. Terpaksa aku membuat mereka tak sadarkan diri. Kini aku telah berada cukup jauh dari rumah. Walau belum lancar mengemudi, tapi aku yakin akan baik-baik saja dalam perjalanan ini. Jalanan pasti sepi karena sudah menjelang dini hari. Ditambah lagi jalur yang kulalui juga tak sulit. Sekarang, salah satu penghuni rumah harus dibangunkan. Bisa saja saat ini ada yang bermaksud tidak baik terhadap keluargaku, sementara seluruh penjaga terlelap. Kuambil ponsel sambil tangan kanan tetap menjaga kestabilan kemudi. Kupilih nomor Vita. Di antara semua orang rumah, dialah yang paling mudah dibangunkan saat tidur. Benar, dalam dering ketiga, Vita sudah menjawab panggilanku. "Bu Widya? Kenapa menelepon? Ibu di mana?"Aku mengabaikan semua pertanyaan Vita. Mengalihkan perhatiannya
"Ar, bagaimana bisa kamu beritahu rumah ini ke Mas Zaki?"Arsi mengambil batu kecil, dan melemparkannya ke arah lautan. Kami duduk hanya berdua di tepi pantai ini. "Dia meneleponku. Kamu harusnya dengar bagaimana paniknya Zaki saat tahu istri tercintanya hilang dari rumah. Dia benar-benar panik saat melihat mobil merah nggak ada di tempat padahal tahu kamu belum lancar mengemudi."Aku mengerutkan kening mendengar penjelasan Arsi. Mas Zaki menghubunginya? Artinya nomor telepon Arsi disimpan, padahal di ponselku saja sudah dihapusnya. "Lalu, kenapa kamu mengarahkan suamiku ke sini?"Sengaja aku menekankan kata suami di depan Arsi. Semata karena ingin mengingatkan dia tentang betapa cemburunya Disha karena tunangannya masih sangat perhatian padaku. "Awalnya aku juga nggak ngerti kenapa dia tidak menelepon orang lain. Akhirnya Zaki bilang kalau sepanjang yang ia tahu, kamu hanya dekat denganku. Tak ada teman yang lain, lelaki atau perempuan. Dia yakin, aku yang lebih banyak tahu tentan
"Astaghfirullah," bisikku dan Mas Zaki bersamaan. "Dari mana Bu Widia dapatkan obat itu?""Eh, i-itu ...."Mas Zaki tak melanjutkan kata-katanya. Aku mengambil alih ponsel."Dari teman saya, Dok."Dokter Elita menarik napas. Dia terdiam sejenak. "Kalau sampai ada motif khusus dari orang itu memberikan obat pada anda, dia bisa terjerat hukum. Anda harus menghentikan konsumsi obat itu. Besok atau lusa, saya akan melakukan pemeriksaan ulang.""Baik, Dokter. Maaf sudah mengganggu waktu anda.""Nggak masalah, apalagi menyangkut kesehatan dan keselamatan orang lain, pasti saya akan bantu."Mas Zaki langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. Wajahnya terlihat tegang. Ada kilat kemarahan di matanya. Aku ingin mengalihkan perhatiannya, tapi tak bisa. Yang ada di kepala saat ini hanya berbagai pertanyaan tentang Laras. Kenapa dia melakukan itu? Apakah gadis itu tahu bahaya dari obat yang diberikannya padaku? Apakah Laras sengaja ingin mencelakai aku? Kalau iya, kenapa? Aku merasa tidak punya
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus