Tenang, Kay ... tenang. Kutarik nafasku dalam dan menghembuskannya perlahan. Kenapa dia ada di sini juga? Secepat ini. Untung report sudah selesai aku kerjakan.
"Iya kan?" tanya Pak Ryan lagi.Aku hanya mengangguk pelan. Tak lama berselang, panggilan masuk ke ponselku, dari Mas Dipta. Aku hanya membiarkan ponsel yang kuletakkan di sebelah laptop bergetar dan berpedar."Kenapa tidak diangkat?" tanya Pak Ryan terlihat ingin tahu.Menghindarinya bukan jalan keluar, aku ambil ponsel yang sedari tadi bergetar itu dan kemudian menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Mas Dipta."Sepertinya tempat kita menginap sama, Friska mengatakan kamu menginap juga di Jalan Kartika," ucap Mas Dipta langsung selepas menjawab salam."Sama, atau memang sengaja disamakan?" tanyaku mencoba tenang. Terdengar tawa di sana. Aku sudah memperkirakan memang sebuah kesengajaan.Pak Ryan sesekali melih"Kamu dimana?" tanya Pak Ryan di sambungan telepon kemudian."Di tempat kita kencan semalam," jawabku sambil melihat Mas Dipta, ekspresi wajahnya berubah. Tak ada jawaban dari Pak Ryan, panggilan pub sudah diakhirinya. Ya Tuhan, dadaku terasa sesak sekarang. Aku menjadi tegang, tak mungkin aku menghubunginya kembali untuk memastikan."Siapa pria itu?""Atasanku di kantor, Ryan," jawabku.Tanganku terasa dingin, rasanya tegang sekali, apa salahnya menjawab iya atau tidak, jadi aku juga tau apa yang akan kuperbuat selanjutnya. Ini main tutup saja."Kay, beri aku kesempatan, satu kali saja. Aku akan buktikan, rasa ini tulus adanya, aku benar-benar mencintaimu, aku janji tak akan mengecewakanmu lagi."Aku hanya menggeleng pelan."Kay, aku masih bisa merasakan, ada cinta dimatamu untukku, jangan membohongi diri sendiri. Belum terlambat untuk kita dapat memulai semua kembali. Kalau kamu merasa tak nyaman dengan Friska, kita pindah, kita mulai kehidupan baru kita,"
"Namanya juga cari suami, ya menikahlah," balasku pada pertanyaan pria itu.Pria itu terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Matahari tepat di atas kepala. Walau tempat kami duduk tertutup, akan tetapi tetap saja terasa panas."Panas … balik yuk!" Aku bangun dari duduk. Pria itu pun juga mengikuti langkahku. Sebelum ke kamar aku mampir ke resto untuk membayar pesananku tadi. Hanya saja ternyata Mas Dipta sudah membayarnya. Kami beranjak keluar dari restoran, berjalan bersisian menuju ke kamar hotel. Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam, tanpa ada pembicaraan apa-apa lagi."Makasih ya." Aku berhenti dan mengucapkan terima kasih sesampainya kami di depan kamarku."Kita bener jadi pacar kan?" tanya Pak Ryan kemudian."Ihh apaan sih kan cuma sandiwara," ucapku tak habis pikir "Sudah ah, bercandanya nggak lucu kalau sampai didengar orang yang kita kenal dikira beneran," lanjutku."Ya udah ... ntar kalau ketemu mantan kamu, aku bilang kita hanya pura-pura." Pak Ryan
"Rasaku, tidaklah lebih penting dibanding yang lain. Kalau mas memang ingin memperbaiki semua, lanjutkan hubungan mas dengan Friska, balas ketulusannya dengan ketulusan juga. Aku akan lebih mudah mengatasi masalahku dengannya."Aku menangkupkan kedua tanganku, memohon mantan suamiku ini bisa mengerti serta memahamiku."Aku tak mencintai Friska.""Kenapa memilihnya? kenapa mau menikahinya? kenapa memberi harapan padanya? kalau memang mas tak memilki perasaan padanya, kenapa mas suka sekali mempermainkan perasaan orang lain? orang yang tulus mencintai mas," ucapku mulai kesal."Aku melihat sosokmu dalam dirinya, untuk beberapa hal kalian mirip sekali. Tapi dia bukanlah dirimu, dan sekarang aku bertemu kembali denganmu, sosok yang benar-benar aku cari dan aku inginkan," jawab Mas Dipta, aku tak suka dia menatapku seperti itu. Tatapan memohon dan meminta, tatapan penuh cinta, terbaca sekali darinya."Kay, aku hanya butuh iya darimu. Kita akan bisa menghadapinya bersama. M
Atau hanya karena kasihan, dan rasa bersalah padaku?" tanyanya kemudian.Matanya menatapku tajam, apakah tak boleh berawal dari rasa itu? memang karena hal itulah aku mengucapkan kalimat itu, tapi bukankah aku sempat memikirkannya juga sebelum dia menunjukkan karakter aslinya yang ternyata menyebalkan."Tak bisakah kau sedikit romantis saat menembakku?" tanyaku balik. Bagaimana bisa aku menganggapnya serius nembak saja seperti itu."Aku bukanlah pria romantis, dengan ribuan tangkai bunga, aku hanya pria menyebalkan yang ingin menjaga hatimu agar tak ada duka dan air mata kembali, agar hanya senyum yang menghias bibir ini," ucapnya. Tangannya mengusap bibirku lembut. Rasanya tak percaya kalimat itu keluar dari bibir pria menyebalkan ini. Aku mengulum senyumku, apakah sudah saatnya aku membuka hatiku, mengijinkan sosok lain hadir. Tapi masih ada rasa takut bergelayut dalam hatiku, rasa takut terluka lagi oleh sebuah rasa yang orang namakan cinta."Aku takut," ucapku li
"Udah nggak usah dibahas," ucapku kemudian. Pria itu malah terkekeh.Pria itu menarik dua kursi ke arah meja. Kursiku lebih maju dibanding kursinya. Dia menjelaskan apa saja yang harus dipresentasikan hari ini. Untung report dari semua bagian sudah masuk."Bapak, email ke saya report per bagian, saya buatkan report cabangnya," ucapku padanya."Harus, bapak dan saya gitu ya. Kan nggak ada orang lain," protesnya."Terus apa? Honey?" "Hehehe, boleh.""Hihh, apaan lebay," ucapku. "Dah email aja," ucapku. "Sanaan dikit, napa?" Pria itu seolah tak mendengarku, merapatkan duduknya padaku. Dia mulai membuka report nya dan mengirim bahan presentasi cabang yang aku butuhkan. Untuk beberapa saat aku disibukkan dengan laporan yang harus segera aku selesaikan itu.Sampai akhirnya aku sadar, pria itu menopang wajahnya dengan tangan dan terus melihatku."Ada apa?" tanyaku padananya, grogikan jadinya. Pria itu hanya mengulum senyumnya tanpa menjawabku. Aku sengaja menut
Para pria itu tertawa kemudian. Relasi Mas Dipta ternyata orang penting di perusahaanku. Entah apa yang dia katakan, yang pasti ini bukan hal yang baik."Ya, sudah meeting sudah mau di mulai, Kay jangan lama-lama hahahaha," ucap Pak Restu. Setelah bersalaman kedua atasanku itu pun beranjak ke ruang meeting."Mas Gila," ucapku kesal. Pria itu hanya tertawa."Cintamu yang membuat mas gila. Aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi. Sedetikpun mas tak bisa menghilangkan bayangmu dalam benakku. Katakan padaku, kau apakan diriku. Hinggga hanya ada kamu yang setiap waktu hadir dalam anganku," ucap Mas Dipta.Aku tak menjawab apapun, menatapnya kesal kemudian beranjak. Tanganya dengan cepat menahanku."Aku tak apa-apa hanya luka kecil, tak perlu mengkhawatirkan diriku."Aku mengibaskan pegangannya, kemudian beranjak. Mas Dibta tertawa, dia benar-benar sudah gila. Semua peserta meeting sudah memenuhi ruangan, nampak Pak Ryan pun sudah duduk di mejanya. Kupercepat langkahku menu
Mendengarku, mereka malah tertawa, mereka pasti berfikir aku sedang bercanda. Yah, aku menyampaikannya memang terlihat begitu. Obrolan ala emak-emak menyelingi makan malam kami. Sampai aku selesai makanpun, aku tak melihat sosok Pak Ryan.Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Pak Ryan. Dia di bar sekarang, beberapa manager pusat dan kepala cabang lain menodongnya. Pria itu baru ulang tahun kemarin, itu alasannya. Aku cukup tau kebiasan para manajer itu. Bukan rahasia lagi bagaimana cara mereka untuk bersenang-senang. Kenapa hatiku menjadi kesal, pikiranku menjadi liar kemana-mana. Bagaimana kalau orang-orang itu menghadiahkan seorang wanita untuk menemaninya malam ini. Aku paham sekali kebiasan mereka, Pak Ryan orang baru pasti belum tahu kebiasaan mereka."Kepantai yuk?" ajak Mbak Zoya pada kami, sebenarnya engan tapi mereka menarikku juga. Tak enak juga, dipikir Aku tak mau membaur dengan yang lain. Dari depan ke belakang lumayan jalannya. Pantai terlihat lebih lebih
Mulutku sedikit ternganga saat mendengar Pak Ryan menanyakan hal itu. Apa aku tak salah dengar?"Maksudnya?" tanyaku padanya."Mungkin ini terlalu cepat, tapi seperti yang kamu bilang, sudah tak pantaskan kalau kita hanya pacaran? Aku ingin kita menikah," jelasnya kemudian."Kau melamarku?" "Entah, aku tak tau apa ini namanya, tapi aku yakin kamu perempuan yang aku cari selama ini. Semua yang ada padamu membuatku jatuh cinta. Tak mudah bagiku mengatakan hal ini, tapi rasa cinta ini membuatku menanggalkan segala ego,""Kita bahkan belum genap tiga bulan mengenal, dan baru dua hari dekat. Pikirkan kembali, pernikahan adalah hal sakral yang mengikat kita seumur hidup, bukan hanya antara kita, tapi semua keluarga kita," ucapku kemudian."Aku tak ada keraguan atasmu, tapi kamu benar kita memang belum lama mengenal. Apa aku terlalu percaya diri, hatiku berkata kau akan menerimaku," ucapnya."Iya, kepedean," ucapku sambil menggulum senyumku."Benarkah?" ucapnya, me
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b