Andine menatap dirinya di depan cermin. Matanya memperhatikan setiap polesan di wajah, memastikan tidak ada yang salah dengan tampilannya kali ini. Meski hanya sekadar sarapan bersama sang mertua, dia tidak ingin ada yang salah. Selain itu, dia sengaja menggerai rambutnya, menutupi tanda kemerahan di leher yang telah Arkan buat. Setelah selesai berias, Andine segera bangkit berdiri, dan tepat saat itu—Arkan masuk—menatap penampilannya yang tampak berbeda. Hari itu Andine memakai midi dress rajut, dengan rambut yang tergerai. Riasan tipis di wajah wanita itu sangat memukau. Beberapa detik, Arkan Hanyut akan pemandangan yang indah di hadapannya itu. Pria tampan itu tak berkedip sedikit pun melihat penampilan Andine yang sangat memukau dan anggun. Namun, itu berlangsung hanya sebentar, karena Arkan langsung tersadar. “Mas, kita berangkat sekarang?” tanya Andine pelan. Arkan berdeham sebentar, menenangkan diri, lalu mengangguk membalas sapaan Andine. Detik selanjutnya, Arkan berbalik
Perkataan Yoga sukses membuat aura wajah Arkan menunjukkan rasa tak suka. Akan tetapi, Arkan tak bisa berontak, karena posisi ibunya sudah mengajak Reva lebih dulu di acara keluarga ini. Tentu hal ini yang membuatnya berada di posisi serba salah. Arkan tak suka jika Dimas harus hadir, apalagi ini acara keluarga. Namun, Reva juga hadir membuatnya tak bisa menyanggah. Ibunya mengundang Reva, sedangkan ayahnya mengundang Dimas. Shit! Arkan tak henti mengupat dalam hati. “Papa yakin ingin undang Dimas?” tanya Andine yang sedikit tak menyangka ayah mertuanya akan mengundang Dimas. Yoga mengangguk. “Ya, lagi pula di acara keluarga ini Mama sudah undang Reva, jadi Papa undang Dimas saja. Papa yakin Dimas nggak akan nolak kalau Papa yang ajak.” Andine memilih patuh akan ucapan Yoga, dan semua orang di sana juga tidak ada yang bisa membantah apa yang dikatakan oleh Yoga. Mereka semua seakan bungkam tak berkutik. Tentu hanya Reva yang sedari tadi senyum, karena Reva senang bisa diajak di ac
“Ma, Pa, aku dan Andine pulang dulu.” Arkan berpamitan pada kedua orang tuanya untuk pulang. Dia dan Andine sudah cukup lama di rumah kedua orang tuanya, dan dia memutuskan untuk pulang, karena masih ada hal yang harus dia kerjakan. Yoga mengangguk, dan tersenyum samar. “Hati-hati di jalan, Arkan. Ah, ya, tolong kamu nanti hubungi Dimas. Tadi Papa sudah hubungi Dimas, tapi nomornya nggak aktif. Tolong kamu hubungi Dimas lagi. Kalau nanti kamu udah hubungi Dimas, nanti Papa akan hubungi Dimas.” Arkan yang mendengar nama ‘Dimas’ kembali disebut semakin merasa kesal. Dia tak suka ayahnya mengajak Dimas. Ingin dia berontak, dan menolak permintaan ayahnya, tetapi dalam hal ini dia berada di posisi yang sulit. Ibunya mengajak Reva, itu yang membuat dirinya tak bisa berkutik di kala ayahnya ingin mengajak Dimas. “Nanti aku akan ngomong sama Dimas,” jawab Arkan pada akhirnya, menahan rasa kesal dalam diri. Arkan segera masuk ke dalam mobil, dan Andine mencium tangan kedua mertuanya bergan
Andine mengamati satu per satu barang bawaannya, memastikan kalau kebutuhannya dan Arkan tidak ada yang tertinggal. Pasalnya dia tahu kalau Arkan tidak terbiasa mengenakan barang milik orang lain, dan membuatnya harus mempersiapkan semua. Tepat di kala dirinya sudah yakin semua barang sudah dibawa, dia langsung menutup koper. Andine menarik koper pelan dan keluar kamar. Tampak Arkan sudah menunggu di ruang tamu sejak tadi. Dia melihat sang suami sibuk dengan ponselnya tanpa sama sekali menyadari dirinya sudah keluar kamar. Padahal akan liburan, tapi tetap suaminya itu disibukan dengan ponselnya. “Andine, cepat. Jangan lama-lama,” seru Arkan memanggil Andine, dan dia tak melihat sama sekali kalau Andine ternyata ada di hadapannya. Pria tampan itu masih fokus berkutar pada ponselnya. “Aku di sini, Mas,” jawab Andine yang sedikit membuat Arkan terkejut, tetapi pria tampan itu langsung menatap dingin Andine. Arkan berdecak kesal. “Kamu ini lama sekali. Bisa nggak kalau apa-apa itu ng
Mobil yang dinaiki Andine bersama dengan rombongan berhenti di depan sebuah villa dengan dua lantai. Semua yang ada di dalam segera keluar, menatap ke arah bangunan yang berada tepat di depan mereka semua. Tampak mereka semua tersenyum senang karena villa yang dipilih bukan hanya indah, tapi terlihat sangat nyaman dan damai. “Bagaimana? Kalian suka dengan suasana di sini?” tanya Yoga dengan senyuman di wajahnya. “Sangat suka, Om. Suasana di sini sangat nyaman,” jawab Reva lebih dulu, dan direspon dengan raut wajah dingin Yoga. “Om, makasih udah ajak aku,” sambung Dimas, menatap sopan Yoga. Yoga menepuk bahu Dimas. “Om juga senang kamu ikut.” Arkan tampak tak suka melihat ayahnya yang sangat ramah pada Dimas. Namun, pria itu tak bisa mengeluarkan suara, karena tidak ingin mencari masalah. “Ayo kita masuk,” kata Yoga pada semua orang. Semua orang merespon dengan anggukkan di kepala, lalu mereka semua masuk ke dalam villa, dan di kala Andine menarik koper—tampak Dimas langsung sig
Andine kini duduk di kursi taman dengan wajah tampak lesu dan tidak bersemangat sama sekali. Sejak tadi dia juga menundukkan kepala, menatap kaki yang tidak berhenti bergerak. Pikirannya masih melayang, membayangkan apa yang terjadi dengan Arkan dan Reva. Dia bahkan semakin penasaran dengan hubungan antara Arkan dan Reva. Rasanya jika hanya sekadar teman saja itu tidak mungkin. “Ngapain kamu di sini, Andine?” Dimas tiba-tiba menghampiri Andine, lalu duduk di samping wanita itu. Andine mengalihkan pandangannya, menatap Dimas yang duduk di sampingnya. “Ah, nggak apa-apa. Aku hanya ingin sendiri di sini.”“Hanya ingin sendiri? Kenapa mau sendirian? Kan sekarang kita lagi liburan,” ujar Dimas yang merasa aneh dengan sifat Andine. Andine terdiam sebentar, tampak menunjukkan keraguan. “Hm, Dimas, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” ucapnya pelan, dan hati-hati. Dimas mengangguk. “Ya, tentu saja. Kamu boleh tanya apa pun sama aku.” Andine tidak langsung bertanya, di kala pikirannya mer
“Aku sudah memperingatkanmu berulang kali untuk nggak dekat dengan Dimas, Andine. Tapi sepertinya kamu nggak peduli dengan laranganku. Kamu terus mendekati Dimas. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku terus menghukummu, Andine,” kata Arkan setelah selesai memakai kembali pakaiannya. Pria tampan itu sengaja memberikan hukuman pada Andine, karena istrinya itu tidak mematuhinya. Andine yang masih duduk di ranjang hanya diam. Manik matanya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Dia bahkan tidak menatap ke arah Arkan yang saat ini sedang menatapnya. Dia hanya memikirkan mengenai kondisinya yang mulai tidak baik-baik saja. Tubuhnya terasa lemah dengan kepala yang sedikit memberat.Namun, Arkan yang melihat hal itu malah berekspektasi lain. Dia menganggap kalau Andine masih membayangkan Dimas. Hal yang malah semakin membuat hatinya memanas. Dia meraih dagu Andine dan memaksa supaya wanita itu menatapnya.“Jangan pernah membuatku marah. Jangan menguji kesabaranku dengan terus abaikan dengan l
Arkan membawa Reva ke tepi, bersamaan dengan Dimas yang membawa Andine ke tepi. Tampak Arkan bermaksud ingin menghampiri Andine, tetapi gerak Arkan terhenti di kala Reva menahan tangan pria itu. “Arkan dingin,” ucap Reva menggigil. Kedua kakinya ditekuk, merasa dingin di sekujur tubuh. Ini sudah malam dan udara di pegunungan cukup membuatnya menggigil.“Ya Tuhan, Reva! Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?” Melly buru-buru mendekat, dan memberikan handuk untuk Reva. Terlihat wanita paruh baya itu begitu mencemaskan keadaan Reva. Reva tersenyum. “Aku baik-baik aja, Tante. Makasih udah cemasin aku. Tante nggak usah khawatir. Arkan udah nolongin aku tepat waktu.”Melly mendesah panjang. “Iya, untung Arkan sigap nolong kamu, Reva.” Reva kembali tersenyum, merespon ucapan Melly. Andine hanya diam melihat interaksi Melly yang begitu peduli pada Reva. Bukan hanya Melly yang peduli pada Reva, tapi Arkan juga peduli. Bahkan dia ingat jelas suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva daripada dir
Andine sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Beruntung dokter kandungan mengizinkannya. Sungguh, dia tak tahu bagaimana jadinya kalau sampai dokter kandungan tak mengizinkannya pulang. Jika dirinya berada di rumah sakit, maka pasti Arkan akan tahu tentang kondisi yang menimpa dirinya. Andine masih belum ingin menceritakan pada Arkan tentang kehamilannya. Wanita cantik itu ingin tetap merahasiakan lebih dulu. Bukan tak ingin bercerita, tetapi karena dirinya masih memilih untuk merahasiakan semua ini untuk sementara waktu. Andine bersyukur dirinya mendapatkan pertolongan dari Dimas. Dia tak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Dimas yang membantunya. Bukan hanya membantu saja, tetapi Dimas juga merahasiakan kehamilannya sesuai apa yang diinginkannya. Malam itu, Andine berkutat di dapur membuatkan makanan untuk dirinya dan Arkan. Dia tak terlalu banyak memasak, karena takut kelelahan. Menu makanan hanya sederhana. Cukup tiga menu saja, itu pun belum tentu Arkan akan maka
Reva bersembunyi di balik dinding, melihat Dimas yang kini melangkah. Hatinya mulai merasakan penasaran luar biasa. Detik itu juga, yang dilakukannya mengikuti Dimas, mengawasi dari kejauhan agar Dimas tak melihat keberadaannya. Namun, seketika raut wajah Reva berubah melihat Dimas masuk ke dalam ruang dokter kandungan. Kening wanita itu mengerut dalam, penasaran dalam dirinya semakin menjadi, menimbulkan kebingungan yang melanda. “Kenapa Dimas ke dokter kandungan?” gumam Reva bingung. Beberapa menit Reva tetap memilih menunggu di balik dinding, dia ingin menunggu sampai Dimas keluar dari ruang dokter kandungan. Hatinya benar-benar menjadi penasaran. Jika Dimas mememui dokter umum, maka dia tidak akan mungkin sampai menunggu Dimas seperti ini. Tak selang lama, Reva melihat Dimas keluar dari ruang dokter. Buru-buru, dia semakin bersembunyi, agar tidak ketahuan Dimas. Dia tak mau sampai Dimas melihat dirinya. “Pak, kondisi Bu Andine sebenarnya kurang baik. Kandungannya lemah. Teka
Reva mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat, membuat otot di tangannya tercetak dengan jelas. Emosinya juga meningkat saat tadi Arkan yang awalnya ingin istirahat di rumahnya, malah memilih untuk pergi, dan dia yakin besar kemungkinan Arkan pulang ke rumah bukan ke kantor. Reva masih menatap jalanan dengan tatapan dingin, dan tersirat memancarkan emosi yang berkobar di dalam diri. Sungguh, dia ingin sekali memberi tahu Andine, tentang hubungannya dengan Arkan, tetapi semua itu tidak akan bisa dia lakukan. Bukan karena takut, tapi karena dia tak ingin nanti menimbulkan sebuah masalah. Reva mengumpat dalam hati, dan berusaha untuk tetap berjuang menenangkan emosi di dalam dirinya. Wanita itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi di dalam diri, membuatnya memilih untuk mengebut di jalanan. Namun tiba-tiba … Brakkkk … Reva menabrak trotoar di kala dirinya tak mampu mengendalikan kemudi. Dia langsung merutuki d
Arkan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Pikirannya cukup kacau karena Andine mulai berani menentang dirinya. Padahal sebelumnya itu istrinya adalah sosok yang sangat penurut, dan tidak berani menentang dirinya. Namun entah kenapa sekarang istrinya mulai berani padanya. Hal paling tergila adalah Arkan mulai memikirkan Andine. Seharusnya dia tak peduli sama sekali pada Andine, tapi dia tak mengerti kenapa belakangan ini dia memikirkan tentang Andine. Bahkan di kala istrinya itu mendiaminya saja, dia sangat tidak suka. “Shit!” umpat Arkan seraya memukul setir mobilnya. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, guna menangkan segala pikirannya yang kacau. Tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Arkan. Pria itu langsung memutar balik, dan kini menuju rumah Reva. Dia ingin mencoba menenangkan dirinya dengan bertemu dengan Reva. Dia harap setelah bertemu dengan Reva akan membuat emosi di dalam dirinya terkendali. Tak selang lama, mobil yang dilajukan Arkan mulai tiba
“Pemotretan hari ini selesai. Good job, Reva.” Sang fotografer memuji kinerja Reva. Dia tampak puas dengan hasil foto Reva berpose di kolam renang begitu menakjubkan. Tidak susah untuknya mengatur Reva. Reva tersenyum lega, seraya memakai bathrobe. “Coba aku lihat hasil fotoku. Aku ingin tahu bagaimana hasil foto-fotoku.” Sang fotografer itu langsung menunjukkan foto yang dia ambil pada Reva. “Ini hasilnya sangat bagus. Kamu memang berbakat menjadi seorang model, Reva,” pujinya dengan senyuman bangga. Reva kembali tersenyum, di kala melihat hasil foto-foto yang diambil fotografer tampak menakjubkan. “Tentu saja aku berbakat.” Sang fotografer menurunkan kameranya. “Ngomong-ngomong tadi aku lihat ada seorang pria yang terus melihatmu. Aku rasa dia mengenalmu.” Kening Reva mengerut dalam. “Seorang pria? Siapa?” tanyanya penasaran ingin tahu siapa yang menatapnya. Sang fotografer menunjuk punggung pria yang berjalan pergi menjauh. “Dia. Pria pakai kemeja biru itu terus lihat kamu. A
Andine membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tangannya memegang koper dan menarik koper itu tanpa semangat. Entah kenapa dia merasakan tubuhnya masih terlalu lemah. Perutnya juga masih terasa mual. Padahal dia sudah meminum obat, tapi seperti tidak ada reaksinya sama sekali. Namun, meski demikian dia masih enggan jika harus diperiksa oleh dokter. Dia hanya ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah. Langkah kaki Andine terhenti tepat di kala dia hendak menuruni undakan tangga. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kemuraman dan rasa sedih yang menyelimuti dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas pelan—bersiap untuk menuruni undakan tangga sambil mengangkat koper. Namun … “Biar aku yang mengangkat kopermu.” Dimas tiba-tiba muncul, dan mengambil alih koper Andine. Andine sedikit terkejut sambil menatap Dimas yang membantunya. “Dimas? B-biar aku saja. Koperku berat.” Dimas tersenyum. “Karena kopermu berat, aku menawarkan diri untuk membantumu. Kamu kan seor
Andine menuruni satu per satu anak tangga dengan raut wajah muram, dan terlihat jelas menunjukkan perasaan yang ditutupinya. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan semala, dia tidak tidur dengan nyenyak, karena banyak hal yang membebani pikirannya. Andine kini menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Dia mencoba untuk tegang tenang dan bersikap biasa. Dia tidak mau ada yang curiga dengan kondisi hatinya sekarang. Apalagi dirinya masih berada di lingkungan keluarga sang suami. Saat Andine berada di lantai bawah, tatapannya teralih pada Melly yang bercanda dengan Reva. Seperti biasa memang ibu mertuanya itu sangat dekat dengan Reva. Sangat berbeda jauh jika mertuanya itu berada di dekatnya. Hati Andine mendadak merasakan nyeri luar biasa. Dia bukan hanya mendapatkan luka dari suaminya saja, tetapi ibu mertuanya juga memberikan luka padanya seakan dirinya memang benar-benar tidak dianggap. Meski selama ini dia sudah berusaha sangat baik, tetap saja dirinya selalu salah di mata
Arkan membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar. Tampak raut wajahnya tidak bersemangat, karena mengingat perkataann ayahnya padanya. Entah, dia merasakan kegelisahan yang membentang di dalam dirinya. Perkataan ayahnya seakan menusuknya hingga ke relung hati terdalam, dan membuatnya benar-benar tak berkutik. Saat Arkan sudah masuk ke dalam kamar, dia menatap ke arah Andine yang duduk melamun di sofa. Pria tampan itu yakin ada sesuatu hal yang menggangu pikiran Andine. Dia memutuskan melangkah mendekat ke arah Andine—yang tak menyadari kehadirannya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Arkan dengan nada dingin, kala tiba di depan Andine. Andine mengalihkan pandangannya, menatap Arkan yang berada di hadapannya. Dia terdiam sebentar, tak langsung menjawab apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Hatinya masih terasa sakit mengingat apa yang terjadi tadi. Kejadian suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva, benar-benar membuat hatinya hancur. “Seperti yang kamu lihat, aku baik,” jawab Andi
Arkan membawa Reva ke tepi, bersamaan dengan Dimas yang membawa Andine ke tepi. Tampak Arkan bermaksud ingin menghampiri Andine, tetapi gerak Arkan terhenti di kala Reva menahan tangan pria itu. “Arkan dingin,” ucap Reva menggigil. Kedua kakinya ditekuk, merasa dingin di sekujur tubuh. Ini sudah malam dan udara di pegunungan cukup membuatnya menggigil.“Ya Tuhan, Reva! Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?” Melly buru-buru mendekat, dan memberikan handuk untuk Reva. Terlihat wanita paruh baya itu begitu mencemaskan keadaan Reva. Reva tersenyum. “Aku baik-baik aja, Tante. Makasih udah cemasin aku. Tante nggak usah khawatir. Arkan udah nolongin aku tepat waktu.”Melly mendesah panjang. “Iya, untung Arkan sigap nolong kamu, Reva.” Reva kembali tersenyum, merespon ucapan Melly. Andine hanya diam melihat interaksi Melly yang begitu peduli pada Reva. Bukan hanya Melly yang peduli pada Reva, tapi Arkan juga peduli. Bahkan dia ingat jelas suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva daripada dir