“Ketemu!” seru Leon. Mengagetkan Claire dan Fox yang hampir saja ketiduran di ruang kerja.
“Ada apa?” tanya Claire kebingungan.
“Produsen gigi yang menyuplai stok gigi palsu ke klinik gigi tersebut. Aku mendapatkan nama dan alamat pabriknya,” kata Leon.
“Bagus! Kalau begitu, kita bisa mulai menyusun rencana,” kata Claire.
“Kita harus cepat, sebab Boston akan bertemu dengan dokter giginya besok siang,” jawab Fox.
“Jika begitu, bisakah kalian memeriksa apakah gigi untuk Boston Hopkins sudah berada di klinik atau belum?” tanya Claire.
“Coba aku periksa dulu,” kata Leon.
“Kita cek data inventorinya,” sahut Fox. Ia langsung membantu Leon membuka data yang jumlahnya ribuan itu.
“Kurasa mereka sudah mengirimnya ke klinik. Gigi milik Boston Hopkins adalah gigi geraham belakang dengan cetakan yang sudah ditandai atas namanya. Sudah diki
Claire dan Leon berjongkok tanpa suara di balik meja resepsionis. Tapi orang itu malah melihat-lihat berkas yang ada di meja resepsionis sambil bersenandung. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu. Namun, tiba-tiba, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Perasaannya mengatakan sepertinya ada seseorang di balik meja. Pria setengah tua itu mulai takut. Ia menaruh kembali semua berkasnya dan kemudian mengambil vas bunga yang berisi beberapa tangkai mawar palsu. Ia mengeluarkan bunga palsunya dan membawa vas bunganya.Dengan perlahan, nyaris tidak terdengar, ia melangkah memutari meja resepsionis, menuju ke belakang meja. Dan saat ia sampai ke belakang meja, betapa terkejutnya ia mendapati bahwa di belakang meja itu ada seekor kucing besar yang sedang menatapnya dengan matanya yang menyala dalam gelap.“Astaga...” katanya sambil mengelus dada. Kucing itu mengeong, seolah merasa terganggu.Ia membiarkan kucing itu tetap di situ, lalu ia menaruh kembali vas bungan
Siang hari itu, Claire, Leon, dan Fox berkumpul lagi di ruang kerja dengan harap-harap cemas. Sekitar beberapa menit lagi, appointment Boston Hopkins dengan dokter gigi akan dilaksanakan. Dengan harap-harap cemas, mereka menunggu. Claire mengigiti kukunya sambil duduk tidak tenang di atas kursinya.“Beruntung Claire masih bisa memasangkan kamera pengintai meskipun tidak pas posisinya,” komentar Fox sambil mengetuk-ngetukkan bolpen ke atas meja.Leon hanya diam saja, tetapi semua orang tahu kalau Leon juga sedang harap-harap cemas. Jika ini berhasil, mereka akan menang melawan Boston Hopkins.“Saat ini mungkin para pegawai klinik sedang kebingungan sebab satpam merasa ada orang yang masuk, tetapi tidak ada jejaknya. Tidak ada barang hilang juga. Apalagi ada seorang dokter yang datang malam itu dan m
“Anda mencoba mengatakan kepada kami kalau memang benar Anda menghipnotis orang-orang melalui satelit agar mereka melakukan demonstrasi di jalan dan mengangkat Anda sebagai presiden?” tanya polisi itu, sedikit tidak percaya.“Benar. Jika Anda tidak percaya saya punya buktinya,” jawab Boston.“Apakah ini semacam lelucon? Polisi bisa menuntut jika Anda main-main dengan kami!” seru salah seorang polisi.“Apakah saya terlihat seperti sedang main-main? Saya sedang menyerahkan diri!” balas Boston Hopkins.“Bukti apa yang Anda maksud, berikan pada kami!” serunya.“Semuanya ada di handphoneku. Bukti koneksi ke satelit, semuanya, Anda bisa memeriksa dari sini,” ka
Pagi itu, Fox sudah mengemas semua barangnya dan memasukkannya ke dalam koper. Tidak banyak barang yang ia miliki apalagi setelah meninggalkan markas Boston Hopkins yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Fox kini bisa kembali ke rumah Mrs. Andrew, sesuai dengan apa yang diimpikannya selama ini. Ia sudah mengenakan jaket dan ranselnya, serta membawa koper besar pemberian Leon.“Kamu harus rajin-rajin menelepon kami, ya,” kata Claire sambil memeluk Fox.“Tentu saja. Aku pasti akan sering merepotkan kalian. Kalau kalian menikah aku harus jadi undangan khusus,” katanya.“Kami tidak punya teman lain selain kamu,” jawab Leon sambil mengacak-ngacak rambut Fox.“Aku tahu itu,” kata Fox sambil tersenyum. Jika seperti ini, ia ter
Fox melangkah turun dari taksi yang membawanya. Kali ini ia tidak perlu lagi memakai topi, atau jaket bertudung kepala. Ia membiarkan rambut merahnya tertimpa cahaya matahari dan berkilau bagai api yang membara. Supir taksi membantunya menurunkan koper lalu dengan ramah ia melambai sebelum masuk kembali ke dalam taksinya dan meluncur pergi.Fox bersenandung pelan, meskipun jantungnya melompat-lompat tak karuan. Antara terlalu senang dan gugup, membuat Fox rasanya hampir terkena serangan jantung. Ia sampai di depan rumah putih mungil itu. Bunga-bunga lavender seolah mengucapkan selamat datang padanya. Fox tersenyum senang lalu mengetuk pintu.“Siapa?” tanya Mrs. Andrew dari dalam.Alih-alih menjawab, Fox malah tersenyum lebar. Pita suaranya terasa kaku dan debaran jantungnya semakin kencang. Bunyi kunci p
Saat Fox terbangun, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Yang jelas, bibir dan kerongkongannya terasa amat kering. Kedua tangannya terikat ke atas dan kakinya sama sekali tidak menyentuh tanah. Butuh beberapa detik untuknya menyadari bahwa ia sedang diikat tergantung. Pantas saja, bagian bahu dan ketiaknya terasa amat sakit seperti hendak patah, begitu juga pergelangan tangannya yang sudah pasti memar dan lecet. Fox juga merasa tubuh dan rambutnya basah, berbanding terbalik dengan kerongkongannya yang amat kering.“Bangun!” seru seseorang sambil menyiram seember air ke tubuh Fox.“Where am I?” tanya Fox dengan suara serak setelah ia benar-benar sadar.Ia melihat orang-orang yang ada di hadapannya, tak satupun yang ia kenali.
“Ada apa, Claire?” tanya Leon yang bergegas ke samping Claire.Gadis itu menutup mulutnya lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Leon.“Astaga! Itu pasti Mrs. Andrew!” serunya.“Bagaimana dengan Fox...?” tanya Claire dengan suara lemah.“Aku pikir, mereka mendapatkan dia,” jawab Leon sambil menunjukkan handphone Fox yang ia pegang di tangannya.“Oh, no...” kata Claire. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Fox dan apa yang akan terjadi pada mereka juga. Mereka terlalu ceroboh, terlalu meremehkan Boston Hopkins.“Kita harus pergi dari sini sekarang, Claire,” kata Leon dengan cepat. Leon membawa handphon
Fox menghela napas saat ia sudah bekerja tanpa henti selama berjam-jam.“Aku butuh makan,” katanya pada seorang penjaga.Penjaga itu menatapnya lalu memberi kode pada salah satu temannya. Orang tersebut pergi keluar ruangan. Fox menghela napas lega, akhirnya ia akan mendapatkan makanan. Sebenarnya ia juga butuh paracetamol untuk meredakan rasa sakit di kepalanya. Namun, bisa mendapatkan makanan saja sudah Fox syukuri untuk sekarang ini.Ia menaruh tangannya bertumpuk di atas meja, lalu membaringkan kepalanya di sana. Terlalu pening, terlalu lelah. Fox memejamkan matanya sebentar saja. Kelopak matanya bahkan terasa sakit.“Hey! Bekerjalah jangan pemalas!” seru salah seorang bodyguard sambil mengacungkan pistolnya ke arah Fox.
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa