Aroma lavender menyeruap sampai ke sudut ruangan. Aroma dari puluhan lilin yang tertata rapi, menggantikan cahaya lampu kamar.
Taburan kelopak bunga, menumpuk hingga membentuk hati di lantai kamar mereka. Ranjang dengan sprei dominan warna putih pun sudah ditata sedemikian rupa. Lengkap dengan empat tiang sebagai penyangga kelambu putih, yang membungkus ranjang king size.
"Siapa yang menyuruhmu tidur di situ?"
Baru juga Fanya mendudukkan dirinya yang tergiur membelai kasur itu, suara bariton Regan membuatnya menegak seketika.
'Ishh ... mulai lagi dia.'
Dan Fanya hanya membalasnya dengan senyum lebar. Menyahut bantal dan selimut dari dalam lemari.
'Cih. Harusnya aku tau, kalau malamku akan berakhir di atas sofa.'
Ya, harusnya malam ini menjadi malam indah bagi pengantin baru.
Harusnya malam ini mereka melewatinya dengan desahan. Napas terengah, dan keringat yang mengguyur tubuh mereka berdua.
'Hei, jangan bilang begitu! Aku juga tidak mau menghabiskan malam seperti itu.'
Oke, Fanya tidak ingin. Regan pun demikian. Lantas, bagaimana mereka bisa berada dalam satu kamar?
"Jangan menyusahkan aku. Urus dirimu sendiri."
Lagi-lagi, Fanya tidak menjawab. Hanya anggukan cepat dengan senyum tipis.
"Kamu tidak bisu, 'kan?!"
"Tidak. Aku sudah mengangguk, 'kan?"
"Aku pikir aku menikahi gadis bisu," ujar Regan lirih.
Meladeni Regan seharian itu capek. Sudah menguras setengah dari tenanganya. Bisa-bisa, air kehidupannya pun ikut terkikis nanti.
Gadis itu lebih memilih memasang earphone, dan menyebet ponselnya. Niat yang ingin memutar lagu, justru pandangannya teralih pada tranding topik hari ini.
Apa lagi, kalau bukan berita perkawinannya dengan Regan Erlando. Seorang CEO dari perusahaan terbesar di negara ini, yang kekayaannya jika dijajar seolah tidak berujung.
Erland Enterprises, dengan semua jajarannya yang menguasai setiap jengkal kota ini.
'Bahkan napasku pun sudah berada di genggaman tangannya sekarang. Cih.'
Di atas altar itu dia berdiri dengan gaun putih yang terlihat sangat elegan dengan mahkota yang bertengger di atas kepalanya.
Tangannya terulur, menyambut tangan Regan yang memintanya. Cincin berlian pun masuk ke jari manisnya dengan sempurna. Perjanjian pernikahan, terucap dengan lantang dari mulut Regan tanpa keraguan.
'Dan sekarang aku ragu, pernikahan ini akan bertahan sampai matahari terbit.'
Come on, tidak secepat itu juga, Anya!
Muak dengan apa yang ia lihat, gadis itu beralih ke sebuah aplikasi pemutar musik. Memasang volume keras-keras, dan mulai memejamkan mata. Sudah masuk pukul dua dini hari, masih ada beberapa jam untuk mengukir sungai.
"Hei, kemarilah!"
Tidak ada jawaban. Telinga Fanya sudah tersumpal earphone sekarang.
Panggilan kedua, masih belum ada jawaban. Bahkan sampai panggilan ketiga, gadis itu masih tetap diam, dan tidak merespon apa pun.
"Sepertinya aku harus memberikan sedikit pelajaran untukmu malam ini." Regan bergerak, melirik ke arah Fanya yang masih dalam mode sleeping beauty.
Tangan kekar itu sudah gemas ingin membanting ponsel yang dipeluknya erat. Menikmati hentakan dari musik hard rock dari grup Linkin Park yang tersalur dari earphone.
Entah apa yang dilakukan Regan, pria itu berbalik arah dan masuk ke dalam kamar mandi. Ada genangan air, di kedua telapak tangannya.
Pastilah Fanya yang akan menjadi korbannya malam ini. Melihat tatapan jahil Regan, yang hanya terfokus ke arah gadis itu.
Tidak main-main, Regan benar-benar mengguyurkan air itu tepat ke wajah Fanya tanpa ha hi hu. Membuat gadis itu gelagapan dan langsung menegakkan tubuh.
"Apa, ini?!"
"He, enak saja kamu tidur. Cepat kemari!"
'Aaa ... aku berjanji akan mengirimmu ke neraka, Tuan!'
"Iya, Tuan." Senyum saja, cari aman. Bisa-bisa Regan menyiramnya dengan air keras nanti.
"Pijat kakiku."
'What the ...?'
'Dia tidak bercanda, menyuruhku memijatnya di jam sekarang?'
"Jangan membuatku mengulang perkataanku!"
Fanya mengangguk, duduk di pinggiran kasur dengan mulai memijit kaki pria itu. Mengumpat apa pun dalam hatinya, meskipun kedua sudut bibirnya ia paksa untuk menyunggingkan senyum.
'Bertahan, bertahan, bertahan, besok masih hidup.'
Begitu mantra yang selalu Fanya ucapkan sejak Atmaja memberikannya sebagai tumbal kekayaan. Bukan dalam keadaan bangkrut, hanya Atmaja yang serakah menginginkan lebih.
Menghalalkan segala cara, agar anak sulungnya itu mendapat gelar Nyonya Erland. Hanya Fanya yang bisa ia gunakan sebagai umpan emas. Kakak tirinya, menolak mentah-mentah dengan alasan dia tidak ingin diperistri iblis bertopeng malaikat.
"Bisa-bisa aku mati muda nanti. Apa lagi sampai berurusan dengan Kaisar. Bisa dikuliti aku," ujar Raisa beberapa hari yang lalu.
Penolakan dari Raisa, langsung di-ijabah oleh kedua orangtuanya. Sedangkan Fanya yang menolaknya lebih halus, harus dihadapkan dengan pernyataan sang Ayah.
"Ayah sudah merawatmu selama ini, apa kamu tidak mau membalas budi?"
'Cih. Perkataan apa, itu. Bukankah memang anak adalah tanggung jawab orangtuanya.'
Dan sekarang, malam pertamanya harus ia habiskan dengan memijit kaki suaminya yang tanpa rasa bersalah, justru tertidur lebih dulu.
"Argghh ...!" geramnya dengan mencekram kedua telapak tangannya sendiri.
'Sial! Sekarang aku harus kehilangan satu jam jatah tidurku.'
Lelah berdiri seharian untuk menyambut tamu pesta pernikahannya, Fanya tertidur dengan cepat. Ditambah terapi memijit kaki Regan yang membuat rasa kantuknya datang lebih cepat dua kali lipat.
***
Kaisar sengaja datang lebih pagi hari ini. Mengingat ada beberapa berkas yang harus dipersiapkan untuk rapat dengan kolega asing siang ini.
"Selamat pagi, Kai," sapa Akbar. Pria yang menguasai segala kebutuhan Regan. Menggerakkan semua pelayan beserta jajarannya.
"Apa Tuan Muda sudah bangun?"
"Aku belum menerima perintah darinya."
Baru juga Akbar menutup mulutnya, suara panggilan telpon yang menggantung di dapur berdering. Pria yang berstatuskan suami akhir pekan saja itu bergegas ke arah dapur.
"Kai, pergilah ke kamar Tuan Muda!" teriak Akbar setelah pria itu menutup sambungan.
"Hmmm."
Dengan langkah cepat, Kaisar menaiki tangga di mana kamar Regan terletak di tengah-tengah dua anak tangga yang saling berhubungan.
Tok tok tok
"Masuk, Kai!"
"Ada apa, Tuan?"
"Lihat, baru satu hari dia sudah seenaknya sendiri." Regan menunjuk ke arah Fanya yang masih menggulung seperti trenggiling di atas sofa. "Apa kamu belum mendidiknya?"
"Saya sudah membekalinya dengan semua peraturan kemarin."
"Siram dia!"
Kaisar tidak setega Regan. Dia memilih menyahut botol kecil dari meja rias. Menghampiri Fanya, dan menyemprotkan itu ke wajahnya.
"Emmm ...!"
Tentu saja berhasil. Siapa yang tidak akan bangun jika disemprot seperti itu?
Dan kelakuan Kaisar sudah seperti memandikan burung di dalam sangkar saking banyaknya semprotan.
Oke, ralat. Regan dan Kaisar tidak ada bedanya.
"Hei, apa kamu tidak bisa membangunkan aku lebih manusiawi lagi?!" protes Fanya dengan mengusap wajahnya.
"Ini sudah lebih manusiawi, Nona. Tuan Muda justru menyuruh saya untuk menyiram anda. Dan saya sudah menggantinya dengan menyemprotkan ini."
"Face mist! Cih. Baru kali ini aku dibangunkan dengan cara glowing."
'Salah, ya. Aku pikir ini untuk membuat rambut kaku itu. Padahal aku berencana membuat wajahnya kaku tadi.'
"Apa anda lupa, dengan tugas anda?"
"Iya, iya, jangan mengingatkanku. Pergi sana!"
***
Sebelum Regan keluar kamar mandi, Fanya sudah tahu apa yang ia lakukan. Menyiapkan baju kantor Regan yang sudah terjadwal di buku tugas-tugasnya selama menjadi istri Regan."Kenapa lama sekali? Bisa telat aku." Jika dilihat, Fanya sudah seperti ayam yang akan bertelur sekarang. Mondar-mandir, melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh. Melirik ke arah kamar mandi, yang belum juga terbuka."Anda sudah seperti mermaid yang terdampar, saja."Entah berbicara dengan siapa, Fanya berkecak pinggang menghadap pintu kamar mandi. Seolah pintu itu jelmaan Regan."Ah, terserah! Tidur saja di sana."Lelah menunggu, Fanya menyahut kimono handuknya dan berlarian kecil ke luar kamar. Turun, dan masuk ke dalam ruang tamu.Tidak usah dijelaskan lagi, gadis itu tahu tidak akan ada kamar mandi di luar. Semua kamar mandi, akan berada di setiap kamar di sana."Bahkan aku bisa mandi dua kali lebih cepat
Sejak pandangan mereka beradu saja, Fanya sudah mati-matian menyembunyikan air matanya. Menutupi semua dengan senyum sebagai seorang wedding organizer. Melayani klien, dengan hasil yang terbaik."Silakan kalian lihat dulu, mana pelaminan yang akan kalian pilih." Fanya menyodorkan tiga album ke arah mereka.Pura-pura baik-baik saja itu memang tidak mudah. Tapi setidaknya Fanya tidak menunjukkan air matanya di depan Rendi. Pria yang kini menatap Fanya yang menundukkan kepala."Sayang, sayang, ini bagus deh," ujar wanita di sebelah Rendi. "Sayang, ih, kamu kenapa, sih?""Tidak, tidak. Kamu pilih aja, mana yang menurutmu paling bagus. Yang penting cocok dengan tema kita. Outdoor, dengan nuansa putih."Jelas sekali perkataan Rendi itu menyinggung Fanya. Beberapa bulan yang lalu, Fanya meminta Rendi untuk pernikahan mereka dengan tema persis seperti itu.Came on Fanya, kamu kuat. Kamu gak akan nangis semudah ini."Nah Mbak,
"Selamat Siang, Pak." Fanya tersenyun lebar dengan membungkukkan badan."Anda ini ... oh, saya ingat. Anda pemilik wedding organizer yang bulan kemarin ke sini, 'kan? Mau menyewa tempat ini untuk pernikahan anda sendiri, 'kan? Wah ... saya tidak menyangka anda akan datang lebih cepat."'Dih. Belum ngomong apa-apa, udah nyerocos duluan.'"Saya memang mau menyewa tempat ini, Pak. Tapi untuk orang lain.""Oh ... saya pikir anda akan menikah. Boleh, boleh, untuk tanggal berapa?""Dua minggu lagi.""Hahahaha jangan bercanda atuh, Neng, mana bisa secepat itu? Anda tau sendiri, kan, minimal satu bulan sebelum hari H, setidaknya anda sudah ke sini untuk reservasi.""Ayolah, Pak, aku butuh banget, nih." Wajah Fanya memelas dengan menaik turunkan alisnya."Saya bisa saja ngasih ini, kalau masih kosong. Tapi masalahnya, sudah ada orang yang menyewa ini di hari yang sama," ujar pria itu dengan wajah kecewa."Cancel saja don
Sepertinya, tingkat kekesalannya pada Fanya sudah naik satu tingkat. Jelas-jelas tertulis di buku tugasnya, kalau dia sudah harus berada di rumah sebelum Regan pulang. Dan sekarang, hanya ada Akbar di rumah."Aku hanya memintamu untuk mengurus satu wanita Kai, kenapa dia belum pulang? Sok sibuk sekali dia, sampai harus pulang lebih malam dariku.""Entahlah Tuan, saya juga sudah memberitahunya berulang kali sebelum hari pernikahan. Saya akan mencarinya, nanti.""Tidak usah. Biarkan saja, pulang tidaknya dia, bukan urusanku. Dia bukan lagi anak kecil yang akan tersesat di pedalam."'Nona, Nona, tidak bisakah anda tidak membuat masalah sehari, saja.'"Hei, Kai, siapkan makan malam untuk Manda nanti." Regan berkata tanpa menoleh ke arah Kaisar yang berdiri di dasar tangga."Baik, Tuan."Entah Fanya pergi ke mana, dia pun tidak mau tahu. Hanya Regan yang menjadi prioritas utamanya selama ini."Akbar," panggil Kai den
Masa bodoh dengan Kai. Apa lagi Regan. Fanya hanya mementingkan isi perutnya saat ini."Anda mau ke mana?""Makanlah," jawab Fanya santai dengan membawa piring serta gelas di kedua tangannya."Anda tidak akan bergabung dengan mereka, 'kan?""Gak selera juga gabung sama mereka. Aku mau ke halaman belakang," sahutnya dengan berlalu meninggalkan Akbar di dapur.Jangan tanya di mana Kai. Pria itu sudah berdiri dengan mengawasi Fanya dari kejauhan sejak tadi. Menunggu jika sampai berbuat lebih.Melihat Kaisar yang berdiri dengan memasang wajah sangarnya, Fanya hanya menyapa dengan senyum lebar. Melewati pria itu dengan santai.Ada satu rumah lagi yang terletak di halaman belakang. Tempat semua pelayan Regan tinggal. Kolam renang, yang berada di tengah-tengahnya.Dan di sinilah Fanya meletakkan dirinya. Duduk bersila, di pinggiran kolam. Memangku piring dengan menikmati suara gemericik air dari pancu
Hari pernikahan Rendi akan berlangsung besok. Semua persiapan yang sudah dilakukan Fanya sempurna. Tempat impiannya dulu pun sudah ia dapat dengan keberuntungan.Menyiapkan pernikahan mantan pacar, bukan hal mudah bagi Fanya. Tapi entahlah. Apa Rendi juga merasakan hal yang sama?Malam ini, Fanya belum juga keluar dari gedung itu. Mengawasi semua persiapan dekorasi sampai mengecek konsumsi.Mengarahkan semua karyawan, agar sesuai dengan apa yang diharapkan klien. Kelambu putih, yang digantungkan sampai menyambung membentuk sebuah altar."Udah, Nya! Kamu gak capek, dari tadi mondar-mandir mulu?""Kamu pulang aja, Mira! Udah tinggal dikit lagi, kok.""Mana tega aku ninggalin kamu. Emang kamu pulang mau jalan kaki? Ini udah jam sembilan loh.""Aku bisa pakek ojek ntar.""Enggak. Ntar aku yang anterin sampai ke rumah. Sini Nya, duduk sini!" seru Mira dengan menarik tangan Fanya. "Jaga kesehatan, ke
Ada yang berbeda pagi ini. Napas hangat, yang menyapu wajahnya. Semakin lama, embusan itu terasa semakin nyata. Sampai Fanya membuka matanya perlahan dan melihat wajah Regan yang begitu dekat dengannya.Mata itu membulat dan langsung melirik ke arah tubuhnya. Takut jika pertahanan dia terlepas tadi malam.Masih aman.Bukan hanya wajah mereka yang hampir bersentuhan, tapi tangan kekar itu juga melingkar di pinggangnya."Ishh ... apa-apaan ini!" serunya dengan menghempaskan tangan Regan begitu saja."Heh, kamu berani menganggu tidurku?!""Maaf, Tuan. Tapi tangan anda melingkar di tubuh saya tadi.""Itu terserah aku. Mau aku taruh sini," ujarnya dengan kembali meletakkan tangan di atas perut Fanya. "Mau kakiku, aku taruh sini," sambungnya dengan meletakkan kaki tepat di atas kaki Fanya. "Itu terserah aku! Kamu di sini cuma numpang. Jadi gak usah protes kalau aku naruh tangan dan kaki sesukaku."'Cih. Pe
Perjanjian pernikahan, diucapkan Rendi begitu lantang. Suara tepuk tangan, bersahutan dengan riuh. Kilatan cahaya putih, saling bersahutan untuk mengabadikan momen itu.Lantas, apa Fanya baik-baik saja?Ayolah, berikan dia medali sebagai wanita paling tangguh hari ini. Dia masih bisa memasang senyum lebar hingga mirip duta pasta gigi dengan memperhatikan mereka dari kejauhan.Harusnya aku yang kamu genggam. Harusnya aku yang kamu cium. Harusnya ini menjadi tempat pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku nanti. Aku pasti akan mengambilnya.Sesekali, Fanya berjalan ke luar gedung. Menghibur diri, dan bersiap kembali mengganti gaun mereka jika memang waktunya."Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"Wajar jika Mira menanyakan hal itu. Melihat isi piring Fanya yang sudah di luar batas.Kalo kata Fanya, cemburu itu menguras tenaga. Dia butuh tenaga extra untuk menghadapi kenyataan."Gak pa-pa. Laper aja
Seiring waktu, semua permasalahan yang mereka lalui terlupakan. Kehidupan terus berjalan dan seolah memberikan dunia baru untuk mereka. Tiba di saat hari yang mereka tunggu, Anya melahirkan dan dia melakukannya secara normal.Regan tidak pernah meninggalkan istrinya, bahkan dia yang menangis saat Anya mengeluh sakit yang luar biasa. Namun, menit kemudian, tangisnya berubah senyum lebar mendengar suara tangisan bayi.“Pak Regan, anak anda laki-laki.” Dokter itu memberikan anak mereka padanya. Dia sangat tampan, tapi wajah Anya mendominasi hingga dia terlihat tampan sekaligus imut di waktu yang sama.Anya menangis bahagia setelah beberapa jam menangis kesakitan. Setelah dibersihkan, mereka pindah ke ruang inap dan bayi itu tidak juga turun dari gendongan Regan. Kaisar yang ingin menggendongnya pun tidak memiliki kesempatan.Di saat itu, pintu ruangan terbuka, Sarah masuk dengan wajah memelas. Sejak dia mendengar jika Anya akan melahirkan, dia se
Jihan membeku, dia merasa sangat kecil di sana. Perlahan, hinaan dari Padmana yang selama ini hanya dia telan bulat-bulat, seolah doa yang menjadi kenyataan. Dia merasa senang sekaligus menangisi dirinya sendri. Bahkan dia tidak pernah merasakan kasih sayang yang seperti itu.Kaisar hanya memandangnya, semakin dilihat Jihan semakin menyedihkan. Jihan memang tidak mengatakan apa pun, tapi kedua mata yang menyorotkan kekosongan di hatinya itu terlihat sangat jelas. Kaisar menjadi gelisah, entah karena apa.Pria itu menyahut botol minum dan meskipun dia menegaknya hingga tersisa setengah, perasaannya masih gelisah. Tubuhnya tergerak untuk mendekat, lalu tiba-tiba mencium bibir Jihan dengan cepat hingga membuat wanita itu terkejut dengan responnya.“Kau hanya membuatku takut dengan ekspresimu yang diam saja. Makanlah, aku akan menyusul Tuan Regan.”Jihan tercengang, sampai Kaisar keluar dari ruangan pun dia masih tidak berkedip.“Kamu
“Aku tidak akan pergi dan aku akan tidur di sini.” Jihan melengos dan masuk ke kamar mandinya. Selesai mandi, dia terlihat sangat segar dengan rambut yang masih basah.Kemeja yang dia pakai pun sangat longgar dan kebesaran, tapi panjangnya hanya sampai paha dan itu sangat minim. Jika dia mengangkat kedua tangan, maka dia akan mengekspose pahanya yang mulus itu membuat Kaisar berkali-kali memalingkan pandangan.“Kau hanya boleh tidur di sofa.”“Tidak masalah, selagi aku tidak sendri.”Kaisar melempar selimut ke arahnya, dan dia memejamkan mata terlebih dulu. Saat dia pikir Jihan pun sudah mulai tertidur, mendadak kasur yang berada di sisinya tenggelam seperti ada seseorang yang meniduri.“Mau apa kau?” teriak Kaisar, yang mendapati Jihan merayap di sisinya.“Tidakkah kau merasa di sini seram? Mira pasti pernah tinggal di sini. Aku tidak berani di sofa sendirian. Kalau kau tidak menahanku p
“Si- siapa ini?”“Kaisar. Mulai saat ini, jika kau berani mendekati Jihan lagi, aku tidak akan ragu untuk mematahkan semua tulangmu.”“Jihan adalah tunanganku dan apa yang aku perbuat padanya, sama sekali tidak ada hubungan apa pun denganmu.”“Dia bukan milikmu lagi dan sebaiknya kau enyah dari kota ini sebelum aku menyeretmu ke lubang kuburmu sendiri.”Setelah mengatakan itu, Kaisar memutus sambungan dan menyerahkan ponsel ke Jihan dengan entengnya. Jihan tidak mendengar apa jawaban Padmana, tapi yang jelas pria itu pasti ketakutan. Satu-satunya hal yang ditatuti pria itu adalah dia yang kembali dengan Kaisar karena dia tahu jika dia tidak akan mampu melawan pria itu.“Anda membuatku dalam masalah besar.”“Aku sudah menyelamatkanmu dan kau mengatakan aku membawa masalah besar?”“Anda tidak tahu, saya berhutang padanya untuk biaya pengobatan ibu saya di kamp
Anya menyandar di pundak Regan, rasanya sangat nyaman dan tenang. Malam ini, Wira mengendara dengan santai, dan sesekali kedua matanya melirik ke arah spion. Melihat Regan yang memejamkan mata dengan Anya yang memeluknya, hatinya pun ikut bahagia.Sayang sekali, hanya dia yang tersiksa karena sudah melajang cukup lama. Namun, melihat Regan, keinginan untuk memiliki satu wanita dalam hidupnya muncul begitu kuat. Wira sudah lama bekerja dengan Kaisar, menjadi pengawal Regan dan mengikuti dia ke mana pun.Selama hidupnya, dia telah menyaksikan sendiri jika Regan tidak pernah bermain-main dengan wanita. Ada pun Manda, tapi saat itu jusru sang wanitalah yang menjebaknya. Dalam arti, Regan tidak pernah berniat untuk bermain-main dengan istrinya.Wira juga masih mengingat dengan jelas, di mana saat itu Regan kehilangan istrinya selama beberapa bulan dan melihat betapa kacaunya dia. Regan memang sangat arogan waktu itu, pemarah dan terlihat bukan pria yang banyak memili
Mengorbankan dua nyawa? Regan tertegun sejenak dan pikirannya jatuh pada Manda dan juga anaknya. Dia yang mendesak Manda agar mengatakan semua tentang Lyan, dan apakah itu maksudnya Lyan akan membunuh mereka?Regan menendang tubuh Lyan, hingga dia menggelinding beberapa kali. “Patahkan semua tulangnya hingga dia mati dan buang mayatnya ke laut.”“Baik.” Wira mengeksekusi Lyan dan menyelesaikan tugas Regan dengan sangat ganas.Di samping itu, dia mengambil istrinya dari Kaisar dan membawanya di atas kedua tangan lalu pergi dari gedung itu. Namun, Regan tidak pergi begitu saja. Dia hanya meletakkan Anya di dalam mobil dan kembali keluar untuk menghubungi Sandi.Seharusnya Sandi masih menangani masalah cafe, tapi dalam beberapa sambungan dia juga tidak mendapatkan jawaban atas panggilannya. Regan mengumpat, dan melayangkan pukulan ke udara. Dia sudah meletakkan bodyguard untuk melindungi Manda, tapi Lyan itu sangat licik! Kemungkinan
Mobil yang membawa Anya bergerak dengan cepat sekali, tapi Wira sudah menyambungkan dengan sistem navigasi di mobil dan mereka tidak perlu untuk mencarinya. Mereka pikir Lyan akan membawanya keluar dari Jakarta, tapi ternyata tidak. Mobil mereka berbelok dan menuju ke suatu tempat.Melihat itu, Regan semakin menambah kecepatan, hingga Jihan kehilangan jejak mereka. Kaisar dengan cepat melacak mobil Regan, dan mengikuti rute mereka meskipun sudah tertinggal jauh.Saat Regan tiba di sana, tempat itu merupakan gedung kosong dengan bangunan terbengkalai. Semuanya gelap dan tidak terlihat cahaya apa pun. Meskipun begitu, Regan tidak merasa ragu sama sekali untuk meneruskan langkahnya. Ada Anya yang menunggu untuk diselamatkan di dalam sana.Mereka masuk dengan waspada, berbekal hanya lampu senter di ponsel dan mengarahkan itu segela arah. Awalnya tidak ada yang aneh, hanya saja tepat saat mereka masuk lebih dalam lagi, terlihat Lyan yang berdiri dengan me
“Benar, tampar aku! Tampar!” teriak Mira sekencang-kencangnya. Entah saat ini dia memang sedang menangis menyesal atau masih dengan kepura-puraannya, kedua mata wanita itu mengalirkan air mata. “Aku iri denganmu, aku benci melihat kehidupanmu yang sempurna sedangkan banyak orang yang menderita di bawahmu. Aku benci!”“Jadi kau menyalahkan semua orang yang menderita itu padaku? Apa kau tidak pernah berpikir, jika sikapmu sendiri yang membuat semua orang menjauhimu?”“Kau yang sudah merebut perhatian Kaisar! Kau merebut kasih sayangnya, hingga aku tidak akan pernah menjadi yang pertama baginya. Kau sudah memiliki Regan, dan kau masih serakah dengan merebut perhatian Kaisar! Aku membencimu!”PLAKKSekarang, bukan hanya Anya yang menampar dia, melainkan Akbar yang melakukan itu. “Salah Apa Nona Anya padamu hingga kau berulang kali ingin melenyapkan nyawanya, hah? Apa dia mencoba untuk membunuhmu? Hanya kar
Baru juga mereka masuk, pelayan lelaki itu itu berdiri dan menghadang. “Maaf, Pak, untuk malam ini cafe tidak bisa dipesan karena sudah ada seseorang yang memesan untuk acara penting.”“Tenang saja, aku ke sini tidak untuk menyewa tempat ini. Aku hanya ingin sedikit melakukan renovasi.”“Mungkin kamu lebih butuh ini.” Kaisar menyodorkan pemukul itu ke arah Sandi dan dia dengan senang hati menerimanya.Sekali ayunan, dia memecahkan etalase kaca hingga membuat semua pengunjung ketakutan dan termasuk pelayan juga di dalamnya.“Maaf untuk ketidak nyamanannya, tapi kalian semua bisa pergi dari sini sekarang juga dan tidak perlu membayar makanan yang sudah kalian pesan.” Kaisar berteriak ke arah mereka semua dan di saat itu mereka berlarian sendiri-sendiri.“Pak, apa yang anda lakukan?” teriak salah satu dari pelayannya. Semuanya tampak panik, tapi hanya Kila yang sudah tidak terkejut sama sekal