"Meja lipat disana," tunjuk Lynn pada lemari sudut kamarnya.
Steve mengatur meja lipat tersebut di atas paha Lynn dan meletakkan semangkuk soto.
"Selang ini menggangguku. Tak bisakah aku lepas saja?"
"Nanggung, cairannya sisa sedikit, tuh. Mubazir dibuang begitu saja."
Lynn mencebikkan bibir, menyendok malas sotonya.
"Mau kusuapi?"
"Terus kamu makannya gimana?" Lynn melirik mangkuk milik Steve. Terlebih, Steve memang lapar, sedari pagi perutnya belum terisi. Lynn juga tahu diri, dia tentunya tak ingin merepotkan Steve lagi.
Pria itu menyengir.
Keduanya menikmati hidangan dalam diam. Panasnya kuah mengucurkan peluh keringat di dahi Lynn.
"Fiuhh, aku sudah sehat kembali." Lynn menunjukkan keringatnya di dahi lalu mengelapnya.
Steve menggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin sebaiknya kau pulang," ujar Lynn sekembalinya Steve dari dapur—membawa mangkuk kosong.
"Kau mengusirku, begitu?"
"Ish, tid
"Ya, benar. Aku berencana menemui Jessica. Aku hanya sedikit penasaran kenapa dia tak menghubungiku akhir-akhir ini."Lynn menoleh, "Oh ya? Kau memang sebaiknya harus menemuinya." Lynn membuang wajah ke samping. Ia merasa jahat, trik liciknya tentu hanya akan berimpas pada Steve. Namun, wajah Lynn juga menyiratkan tatapan puas, sudah bisa dibayangkan bagaimana wajah masam Jessica yang penuh kekesalan.Steve berlalu keluar, melajukan mobilnya pulang ke rumah.Ternyata, Jessica sudah berdiri menantinya dengan tangan saling bersedekap di dada. Alisnya bertambah meliuk seiring mobil Steve memasuki pelataran rumahnya.Steve pun juga sama bingungnya. Tak biasanya wanita itu datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan."Bersenang-senang di luar, huh?!" Jessica menatap tajam menusuk ke dalam manik mata Steve. "Sejak kapan kau disini?" tanya Steve langsung membuat Jessica memutar bola mata 360 derajat."Dua jam lalu." Jessica membuang tatapannya k
Setibanya di rumah Jessica, rupanya wanita itu sudah bediri tegang—kembali diliput amarah—kedua tangannya yang menjuntai di sisi badannya kini bersilangan depan dada."Kenapa kau lama sekali? Doyan sekali membuatku lumutan, iya?" semprot Jessica saat Steve sudah berdiri di hadapannya."Maaf, Jess. Tadi terhalang macet, " bela Steve.Jessica menyipitkan mata menatap Steve, mencari titik kebohongan di mata pria itu."Hm." Jessica menghela napas. Lalu matanya kembali menyipit, tangan kanan Steve sedari tadi bertengger sembunyi di belakangnya."Apa yang kau sembunyikan di belakangmu?"Steve tersenyum tipis lalu mengeluarkan sebuket bunga yang disembunyikannya."Untukku?" Jessica berpekik senang.Steve mengangguk.Jessica menerima bunga tersebut, membauinya. "Ah, romantis sekali. Dari mana kau tahu kalau aku menginginkan bunga saat ini?"Steve hanya menyengir. Dalam hati, ia juga berseru senang. Rasanya bag
Langkah Jessica terhenti, ia berbalik. Lantas maju satu meter."Apa yang harus aku katakan jika segala kepingan-kepingan yang tak disangka-sangka menjadi satu kesatuan unit cerita ... dan semuanya mengarah padamu." Jessica berlalu masuk ke mobilnya."Jess, aku tidak pernah melakukannya. Jess ... Jessica!!" Steve mengetuk pintu kaca mobil Jessica.Jessica menghela napas, ia menurunkan kaca mobilnya."Dengar, Steve. Aku ... aku bukan gantungan yang bisa seeenaknya kau gantung lama-lama."Ucapan Jessica bagai belati menusuk tepat ulu hati. Steve terdiam membatu di tempat hingga mobil Jessica kini sudah menjauh dari pelupuk mata.Steve mengacak frustasi rambutnya.Bulir-bulir air hujan satu per satu menetes dan semakin cepat laju tetesannya. Steve berteduh di halte bus, kedua kakinya sengaja ia selonjorkan hingga basah kuyup. Steve pulang ke rumahnya dengan perasaan kacau terombang-ambing. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur empuk.
Kedua mata Lynn terpejam, Steve melirik wajah teduh Lynn. Barangkali wanita itu tengah menyerukan deretan doa untuk saudaranya.Angin malam kembali mengembuskan dinginnya, ayunan tua yang menggantung di ranting pohon terayun pelan oleh ulah angin."Aku tak menyangka jika Cassandra meninggalkan kami begitu cepat. Tuhan seolah memang hanya ingin merengut Cassandra seorang ...."Lynn melempar batu-batu kecil ke tengah danau menimbulkan riak melingkar di permukaan air tenang tersebut."Boleh dikata, aku, ayah, dan ibu hanya mendapat luka ringan. Ibuku hampir gila melihat mayat Cassandra, ayah yang selalu mengumbar lelucon jenakanya mendadak jadi pendiam, dan aku ... air mataku kering ....""Tuhan tak pernah merenggutnya darimu. Cassandra akan selalu ada dalam hati kalian," ujar Steve menenangkan Lynn.Lynn menghela napas."Ayo pulang." Steve berdiri dengan mengulurkan tangan kanannya pada Lynn.Lynn tersenyum tipis lantas meraih ge
"Ya deh, iya. Gak manggil Steve gitu lagi. Baliking dong keripiknya."Steve tersenyum tipis, keripik itu disodorkan lagi pada Fianne.Steve beranjak berdiri, menyusun duplikat berkas-berkas rekapitulasi di lemari rak belakangnya.Jam hampir menunjukkan pukul lima sore, Steve bergegas merapikan mejanya. Berbeda dengan Fianne yang kini mengoleskan lisptik di bibirnya dan merapikan geraian rambutnya."Aku pulang duluan," pamit Fianne seraya merebut tasnya.Lynn menaruh tasnya di jok tengah mobil, rambutnya ia kuncir rendah dengan beberapa helai menjuntai di belakang telinganya."Mampir di toko buku dulu, ya!" ujarnya.Steve membelokkan mobilnya, tepat di persimpangan jalan, ada toko buku disana."Di belokan sana juga ada toko buku," ujar Steve."Baiklah."Steve menepikan mobilnya, ia keluar berjalan beriringan dengan Lynn memasuki toko buku tersebut.Keduanya berpisah tujuan; Lynn menuju rak buku fantasi dan k
"Hai," sapa Steve."Ya ... tidak masalah ... tentu." Sambungan telepon berakhir. Steve menghela napas."Ada apa?" tanya Lynn penasaran.Steve menoleh dengan senyum dikulum. Alis Lynn terangkat, berpikir apa yang Jessica katakan hingga Steve senyam-senyum seperti ini."Dia memintaku menjemputnya di studio," ujar Steve kemudian.Lynn seketika terdiam. Akankah keduanya akan segera baikan dan ... Lynn tak ingin praduganya akan segera terjadi."Kau tak apa, kan ikut denganku? Ya aku tahu, kau tak ingin bertemu dengan dia dan dia juga enggan bertemu denganmu. Kecuali, kalau kau ingin kuantar dulu. Mau yang mana?"Lynn menatap rintik hujan. Dia tak sudi bertemu dengan Jessica. Namun, mengantar dirinya pulang tentunya jauh lebih merepotkan, terlebih rumahnya jauh sedangkan jarak studio Jessica cukup dekat dari toko kaset tersebut. Taksi juga sepertinya susah—saat itu pukul sepuluh malam.Lynn menghela napas, ia mengangguk.
Steve melangkahkan kakinya.Ia telah membuat keputusannya, entah dia akan menyesalinya atau ... justru sebaliknya.Lynn menahan napas.Kedipan matanya melambat seiring langkah kaki Steve yang berjalan mendekatinya.Kedua tangannya memegang dadanya. Entah diliput apa sekarang perasaannya.Dengan langkah kaki lebar Steve, dia kini berdiri dihadapan Lynn, hampir merapat agar Lynn bergabung dalam naungan payungnya.Dalam temaram lampu trotoar, Lynn melihat jelas ekspresi Steve yang entah apa artinya, mata cokelat gelap teduhnya entah ingin menyampaikan apa."Aku mencintaimu, Steve!" ujar Lynn dengan suara terisak-isak. Tangisnya sudah reda. Ia memandangi mata cokelat pekat milik Steve, walau sedikit buram, rembesan air hujan dari rambutnya mengalir di wajahnya.Steve menarik Lynn, mendekapnya. Dia tak tahu apa alasan dia memeluk Lynn. Dia hanya ingin saja. Steve mengelus-elus punggung Lynn. Segunung pertanyaan dalam kepalanya berke
Steve mengeluarkan mobilnya dari bagasi. Ia meluncur dengan kelajuan di atas rata-rata.Namun, sesampainya di rumah Jessica—yang gelap gulita— Steve terduduk lesu di kursi teras.Dia menunggu hampir dua jam lamanya. Sesaat lampu sorot mobil menyorotinya, ia berdiri kaku di depan pintu.Jessica berjalan lenggok dengan anggunnya menuju Steve, rahangnya berubah kaku dengan pandangan yang tersulut marah."Ada apa kemari?" tanyanya ketus."Aku ingin menemuimu."Jessica membuang pandangannya ke dinding pembatas rumahnya."Masuk," titahnya setelah membuka kunci rumahnya.Jessica langsung menuju dapur, keluar dengan membawa segelas jus di tangannya."Aku tinggal sebentar, gerah. Gak apa-apa, kan?" Jessica meletakkan jus tersebut di hadapan Steve.Steve mengangguk. Jessica berbalik. Namun, belum beberapa langkah, ia melongokkan kepala dari dinding."Toplesnya dibuka sendiri, ya!" Jessica memang tak panda
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye