"Aku juga ingin mengatakan sesuatu. Ya, sesuatu yang sedikit mengangguku akhir-akhir ini." Lynn tak mengindahkan tatapannya dari kolam ikan. Lama keduanya terdiam, Lynn menoleh.
"Jadi, apa yang ingin kau katakan?" tanya Lynn memecah keheningan.
"Mungkin kau yang harus mengatakannya terlebih dahulu. Lady's first," ujar Jeff.
Lynn terkekeh kecil mengernyit."Tak. Kau yang lebih dahulu. Kau lebih dahulu ingin mengatakan sesuatu," balas Lynn.
Suasana kembali hening. Jeff tampak berpikir lalu pria tersebut kembali menghela napas.
"Baik. Dengarkan aku dengan cermat!" ujar Jeff terkekeh kecil. Jeff menatap dalam manik mata Lynn. Jeff menarik kedua tangan Lynn, menggenggamnya. Ibu jarinya mengusap-usap punggung tangan Lynn.
Lynn menatap Jeff berkerut kening. Dia ingin menarik tangannya, tapi dia tak melakukannya. Dibiarkanlah tanganny
Steve berdiri di sebuah lorong dengan semak belukar yang tinggi, dindingnya berlumut. Ia melangkah masuk lebih dalam menemui lorong-lorong yang bercabang. Ini bukan lorong biasa, lorong ini menyusahkan, lorong labirin. Salah satu hal yang tak disukai Steve. Baginya, hidupnya saja sudah menyulitkan, Steve tak ingin menyulitkan kakinya hanya untuk menemukan pintu keluar. Lorong-lorong itu sangat terang bahkan Steve dapat melihat langit yang biru, tapi tak terasa panas sedikitpun. Steve berjalan mundur, pintu keluar masih dalam ambang penglihatannya. Steve mundur menyisakan lima langkah lagi mencapai pintu keluar. "Rose?" ujar Steve menatap sebuah punggung wanita yang muncul dari lorong kiri. Rambut sepinggang berwarna pirang, gelang berliontin mawar di pergelangan tangan kirinya lalu setangkai mawar merah berduri di tangan kanannya. Darah tangan kanan Rose menetes, melumuri buku-buku tangannya, sangat kontras di kulit pucatnya. "Rose!" pan
"Pak Endrik mengatakan sesuatu?" tanya Emily. "Tidak ada. Hanya salam perpisahan," jawab Steve.Arya dan Emily hanya manggut-manggut. Wajah keduanya nampak murung, mereka akan segera berpisah nanti malam. Pertemuan, apakah pertemuan hanya ada untuk membuahkan perpisahan? "Aku akan ikut mengantarmu nanti malam dan kau jangan lupa menjemputku!" tunjuk Emily ke arah Arya dengan sedotan minumannya.Arya hanya mendelik sedangkan Steve terkekeh kecil menyaksikan keduanya. Saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Steve mulai membenahi barangnya. Tak butuh waktu lama barangnya terkemas dalam kopernya bersamaan dengan ponselnya yang berdering. "Halo!" sapa Steve.Terdengar grasak-grusuk di seberang telepon. "Steve!" panggil Jessica. "Kau akan pulang nanti?" tanya Jessica. "Ya," jawab Steve singkat.
"Ayo berangkat!" ujar Steve. Lynn mengangguk sambil lalu membawa piring kosong keduanya. Lynn cukup mengerti, Steve berada dalam keraguan dengan Jessica. Steve berdiri di samping motor besarnya menunggu Lynn yang belum keluar. Steve menatap terpaku ke arah Lynn yang juga menatap Steve tak berkedip. "Ada apa, Steve? Aneh?" tanya Lynn lalu memerhatikan kostumnya. Jean ketat abu-abu berpadu baju berlengan panjang, rambut panjangnya dikuncir tinggi dengan kalung kecil melingkar di leher jenjangnya. Tak ada yang salah dengan kostumnya, memang sudah seharusnya begitu. Lynn tak mungkin mengenakan dress untuk mengendarai motor. "Tidak ada," jawab Steve. Ada sesuatu yang menggejolak dalam dirinya. Namun, dia sendiri tak tahu apa. Steve menyodorkan helm untuk Lynn. "Steve, pengaitnya tak bisa masuk," ujar Lynn. Steve menoleh menatap Lynn,
"Maafkan aku," ulang Lynn menyodorkan ponsel miliknya. Lagi-lagi pria itu hanya mengangguk, dan berlalu cepat meninggalkan tempat tersebut."Kau tak apa?"Lynn menggeleng-gelengkan kepalanya, dia baik-baik saja. Ia menyelipkan rambut basahnya di belakang telinganya."Kau lihat tadi?" Lynn memperagakan reaksi pria tadi yang hanya mengangguk terus, seperti orang bisu saja."Ah, sudahlah. Ayo!" Lynn menarik Steve.Degup jantungnya masih memacu, apa yang terjadi padanta jika saja pria tadi tak menangkapnya. Buruknya, kepalanya mungkin akan terkantuk di pinggir kolam atau barangkali kecebur kembali ke kolam dengan kepala di bawah, menubruk dasar kolam. Oh tidak, yang terakhir memalukan.Lynn baru saja keluar dari ruang ganti, Steve sudah berdiri bersandar di dinding dekat pintu. Keduanya berjalan beriringan menuju ke parkiran. Steve memasangkan helm di kepal
Steve yang selesai makan duluan, tersenyam-senyum menatap Jessica yang lahap makannya. Jika saja semua wanita seperti Jessica tentu akan sangat mempermudah para pria tanpa perlu merasa bersalah karena salah pesan menu."Pulang?"Jessica mengangguk."Kau bisa menemaniku besok malam?" tanyanya sebelum turun dari mobil Steve."Jadwalku besok kosong," lanjutnya.Steve mengangguk, "Iya, tentu."Steve menarik koper Jessica, mengikuti langkah wanita itu menuju kamarnya. Pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kamar wanita itu. Sangat luas, jauh lebih luas ketimbang ruang tamunya, ditambah lagi lemari full kaca yang semakin membuat luas ruangannya. Wajar saja jika kamarnya luas, Jessica seorang model, dia butuh ruangan untuk menampung pernak-pernik kebutuhan modelnya. Tak kunjung habis Steve menatap sudut ruangan tersebut. Lalu, matanya melotot saat objek matanya Jessica."A-apa yang kau lakukan?"
"Bersenang-senang di Bali, huh?!" Fianne bersedekap tangan di dada, menatap Steve yang baru saja datang."Untukmu." Steve menyodorkan paperbag."Syal?" Wajah Fianne berubah 180 derajat, yang tadinya berwajah masam kini berubah sumringah."Kau tahu saja aku pengoleksi syal. Kau yang terbaik." Fianne mengacungkan dua jempolnya.Tentu saja Steve tahu, sejak hari pertama kerja. Steve memang sudah mengulas segala hal yang disukai teman kerjanya. Menurutnya, suatu saat akan berguna terlebih untuk menyumpal mulut cerewetnya."Oh ya, ada kabar baru tentang Lynn dan Jeff?" Steve sudah mencoba mengorek info dari Lynn, tapi wanita itu memang susah buka mulut terlebih soal cinta."Sepertinya tidak ada. Aku sering melihatnya, dan keduanya bagai teman biasa alih-alih seorang kekasih. Eh, tapi aku punya kabar buruk tentangnya." Fianne menahan tawa.Steve mengerutkan kening, "Kok senyam-senyum, kabar buruk ba
Jessica mengalihkan pandangannya, "Tapi aku masih ingin melihatmu, Steve," ujarnya dengan tampang memelas dibuat-buatnya, bibir sulam tebalnya mengerucut ke depan."Biarkan kami pulang, Jessica. Ini juga sudah larut, kamu ada pemotretan, kan besok pagi? Kau harus istirahat sekarang."Lynn berlalu keluar, emosinya membuncah melihat Jessica."Ya sudah, hati-hati." Jessica kembali memeluk Steve yang membuat pria itu terjungkang ke belakang menjaga keseimbangan."Maaf atas perlakuan buruk Jessica padamu," ujar Steve sembari menekan starter mobilnya. Berbeda dengan Lynn yang kini bersedekap tangan di dada, amarah masih menaungi kepalanya."Lain kali jangan mempertemukanku dengannya atau mungkin akan kucakar wajah plastiknya itu," ujar Lynn menggeram kesal."Wajah plastik?" Steve mengerutkan kening.Lynn menoleh, menatap datar wajah Steve."Tak lihatkah kau hidung mancung buatannya dan bi
"Tidak sama sekali. Kenapa kau mengira seperti itu?" Ia kembali menatap lurus jalan raya."Kau mendiamkanku.""Aku fokus mengemudi."Jessica tak membalas, ia merogoh tas kecilnya mengeluarkan benda pipih. Sesekali, dia melirik ke arah Steve yang tak berniat sedikitpun mengajaknya mengobrol. Bibir Jessica terangkat menggumam kata 'cih' yang hanya dirinya mendengarnya."Kau ingin menonton ini?!" tunjuk Jessica pada poster film yang akan tayang hari ini "The Conjuring III". Steve mengangguk mantap, dia sudah lama ingin menonton itu. Namun, selalu tak kesampaian karena kesibukan."Tidak, tidak. Aku tak ingin menonton ini." Jessica memalingkan wajah sembari bersedekap tangan."Aku tak menyukai film horor," lanjutnya."Kau takut? Tenang, kan ada aku."Jessica kembali menggeleng."Aku ingin menonton ini!" Poster film yang bersampul dengan wanita yang hanya tertutup secarik kai
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye