Saat bangun dan mendapati Marvel di depannya, ia terkejut bukan main. Bayangan Keith membunuh Lyana, ibunya begitu jelas. Sesuatu yang sama sekali tidak ia duga. Karenanya, wanita itu menjadi lebih berhati-hati dan menjaga jarak dari Marvel.
Begitu Marvel menutup pintu, ia bergegas ke jendela, melongok ke luar. Seperti halnya rumah-rumah di desa-desa Yorkshire, rumah ini terlihat memiliki jarak dari tanah. Ada bebatuan yang menopang sebagai pondasi. Meskipun begitu, itu tidak cukup tinggi sehingga Marshella mempertimbangkan untuk melompat.
“Tidak. Kalaupun aku melompat dari sini dan keluar dari sini, bagaimana caraku kabur?” gumamnya. Ia lantas ingat kalau Marvel membawa mobil ke sini—kendaraan milik Steve.
“Benar. Aku harus mencuri kunci mobil. Mungkin bisa kulakukan setelah Marvel tidur!”
Marshella pun bergerak ke pintu dan bermaksud untuk membukanya sedi
Marvel terbangun dan mendapati dirinya di tempat yang tidak biasa. Udara lembab dan pengap. Ia menyadari bahwa dirinya berada di dalam gua begitu mendengar tetesan air dari langit-langit. Pria itu ingat bahwa dirinya sedang bicara dengan Sir Thomas Rodrigo sebelum semuanya terasa menyakitkan dan akhirnya tidak sadarkan diri. “Kau sudah bangun?” Suara dari bagian gua yang lebih gelap mengagetkan laki-laki itu. Matanya menyipit, mencoba mencari siapa yang berbicara. Dibantu oleh semburat cahaya matahari yang menerobos dari celah-celah langit goa, seseorang muncul dari bagian yang gelap. “Sir Rodrigo?” Marvel mengernyitkan dahinya. Laki-laki tua itu mengenakan pakaian yang sangat asing, seperti pakaian jaman dulu. jauh berbeda dengan saat mereka bertemu pertama kalinya. Dan lagi, Sir Rodrigo terlihat lebih muda meskipun keriput masih terlihat jelas dan janggutnya le
York, Tahun 1488 [Setahun sebelum Perang Saudara Berakhir] Marvel terlempar ke momen lainnya. Kali ini, ia berada di depan sebuah rumah yang cukup megah dengan lukisan bunga mawar merah di pintunya. “Ah, mimpi ini benar-benar membuatku gila.” Marvel bergumam sendiri. Lalu, ia merasa menyatu dengan tubuh dan pikiran orang lain. Ada kenangan yang sebelumnya tidak ia ingat sama sekali—dan sekarang justru terpatri dengan jelas. Seraya menekan kepalanya yang terasa sakit. Saat itulah, Marvel melihat seorang gadis dengan rambut dikepang dan mengenakan penutup kepala menoleh padanya sebelum masuk ke dalam sebuah rumah di seberang jalan bertuliskan, “Toko Roti Ann”. “Marshella?” Otak Marvel mengenalinya sebagai Marshella. Namun, nama lain juga muncul di saat bersamaan. “Kelly?” Marvel menoleh mendengar suara itu. Namun,
“Jadi kau yang dikirim Rodrigo untuk tugas ini?” Seorang pria setengah baya berdiri di depan Marvel yang masih berada di tubuh yang sama dengan Keith. Pria itu adalah Lord Frederick yang namanya berulang kali disebut oleh geng Gale dan Marshella sendiri. Perawakannya tidak semenakutkan yang ia dengar. Bahkan pria ini sudah cukup ringkih untuk dikatakan sehat. Tulang pipinya menonjol dengan keriput di mana-mana. Bahkan, jalannya pun tidak segagah Sir Rodrigo. Lalu kenapa sepertinya semua orang takut padanya? Marvel tidak habis pikir. Untunglah sepertinya hanya dirinya yang menyadari ada jiwa dan ingatan yang lain dalam satu tubuh ini. Keith sepertinya tidak bingung dengan ingatannya sendiri, berbeda dengan Marvel yang harus berulang kali menahan diri untuk tidak menunjukkan jati dirinya sebagai Marvel dan bukannya Keith. Ia masih belum sepenuhnya bisa
Marvel membuka matanya. Kali ini, ia berada di sebuah tempat yang mirip barak pelatihan. Suara desing pedang saling berbenturan dan juga suara ringkikan kuda terdengar di luar ruangan ini. Laki-laki itu berdiri dari tumpukan jerami. Seraya menyingkirkan beberapa helai jerami yang menempel di pakaian sembari berjalan keluar. Tepat saat pintu dibuka, sebuah pedang melayang ke arahnya. Dengan sigap, Marvel menerimanya. “Kudengar kau pandai bermain pedang,” ucap seorang pria yang sepertinya seumuran dengannya. Marvel sedikit terkejut karena orang itu adalah Gale, ketua geng yang memburu dirinya dan Marshella beberapa hari ini di kehidupan yang berbeda. Marvel berusaha menebak posisinya di sini. “Tidak juga.” Pemuda itu menjawab tanpa menunjukkan ekspresi yang berarti. Ia mulai bisa menerima dirinya adalah Keith. Marvel bisa merasakan bahwa secara perlahan, ke
Masa kini “Kau … sudah bisa mengingatnya?” Marvel bangun dengan susah payah. Keringat bercucuran di pelipis dan juga di punggung. Terasa lengket di kulit. “Sir, apa yang baru saja kualami?” tanya Marvel dengan napas terengah-engah. “Penglihatan dan ingatanmu sudah kembali … meskipun mungkin belum sepenuhnya. Tapi apa sekarang kau benar-benar percaya kalau namamu yang sebenarnya adalah Keith?” Sir Rodrigo mengulurkan cangkir berisi cokelat panas. “Aku tidak punya alasan untuk hidup sebagai Keith,” celetuk Marvel dengan tenaga seadanya. Mimpi, penglihatan, atau apa pun itu telah benar-benar menguras tenaganya. “Setiap kita punya alasan untuk hidup kembali, Keith.” “Namaku Marvel dan bukan Keith,” tukas Marvel. “Kau Marvel dan juga … Keith. Kau masih ingin me
“Keith bajingan! Keluar kau!” Suara itu menggelegar di lorong rumah Sir Rodrigo.Siapa?Marvel dan Sir Rodrigo saling berpandangan. Namun, saat suara langkah kaki itu semakin mendekat, Sir Rodrigo segera memberi isyarat pada Marvel untuk bangun dan mengikutinya. Laki-laki tua itu memutar sebuah hiasan dinding berbentuk tanduk rusa. Lemari pun bergeser. Di belakangnya, terdapat sebuah pintu kayu yang sama warnanya dengan dinding ruangan ini. SirRodrigo membuka daun pintu itu.“Masuk!” perintah Sir Rodrigo. Marvel segera turun dari tempat tidur dan dengan sedikit terhuyung, berjalan melewati pintu tersebut.Setelah Marvel masuk, ia pun menyusul dan segera menggeser kembali pintu sebelum pemilik suara-suara yang mereka dengar tadi sampai di tempat Marvel berbaring tadi.“Ikuti aku!” Sir Rodrigo berjala
“Ikutlah bersamaku!” Sir Rodrigo terkejut mendengarnya. “Aku sudah katakan, setelah memahami isi buku itu, kau mungkin tidak akan seramah ini padaku, Keith.” “Aku sama sekali tidak bersikap ramah selama ini pada Anda, Sir Rodrigo.” Marvel yang sudah berada di ujung tangga, menyanggakan diri dengan ujung siku di lengan tangga tersebut. “Lalu baru saja kau mengajakku untuk pergi denganmu?” Marvel sedikit mendongakkan kepala ke atas. Suara kegaduhan di atas masih terdengar. Mereka sepertinya sedang memporak-porandakan rumah Sir Rodrigo. “Aku hanya tidak ingin meninggalkan Anda di sini bersama orang-orang itu.” Sir Rodrigo hendak membantah, tetapi Marvel segera melanjutkan kata-katanya. “Dan untuk apakah aku akan tetap ‘ramah’ pada Anda, itu urusan nanti. Aku sudah mengingat Anda di masa lalu sebagai orang yang baik. Kala
Marvel terbangun begitu air dingin menampar wajah dan sekujur tubuhnya. Kepalanya masih terlalu sakit. Perlahan, ia membuka mata dan mendapati Gale berdiri memegang ember yang tadinya digunakan untuk menyiram dirinya. Tak jauh dari Gale—di kursi sofa berwarna cokelat tua—duduk seorang pria setengah baya yang mengenakan setelan mahal. Marvel tahu karena ia pun—sebelum semua kesialan ini menghampirinya—juga begitu. “Kau sudah bangun, Keith? Atau harus kupanggil … Marvel Dawson?” Suara itu tida berbeda dengan suaranya beratus tahun yang lalu. Suara yang memberinya perintah untuk menghabisi keluarga Wood dan juga ibunya sendiri. “Berikan dia handuk, Gale. Mati kedinginan bukan pilihan yang bagus,” cicit orang itu lagi sebelum menyesap cerutu. Asap berkelindan di hidung dan bibirnya, melayang-layang, dan menghilang. Gale bergerak mengambil handuk dari lemari usang dan