Setelah sepuluh menit berbelanja, gadis itu kembali pada atasannya. Tampak wajah Reyner yang sudah bosan menunggunya. Pria itu meletakkan ponselnya untuk menatap Zinnia.
"Lama," celetuknya sembari menghidupkan mesin mobil.
"Ya Allah. Cuma sepuluh menit dibilang lama," balas Zinnia menatap sang atasan. "Kalau nggak ikhlas ngapain tadi malah berhenti?" tanya gadis itu.
"Kau kan yang minta berhenti? Dasar tak tahu diri," cecar Reyner sembari memutar kemudi.
"Ish. Dahlah males debat sama Bapak. Capek." Gadis itu menyandarkan tubuhnya lalu meraih sesuatu dari kantung belanjanya.
"Nih, Pak. Buat Pak Rey biar nggak ngambek lagi," ujar Zinnia sembari menyodorkan dua bangkus sosis ayam yang masing-masing berisi tiga buah. Reyner hanya meliriknya.
"Nggak perlu."
"Beneran? Nanti nyesel lagi."
"Nggak. Kau buatkan saja aku makan malam! Ada yang mau aku bicarakan," ucap pria itu tanpa menatap gadis yang duduk di sampingnya.
"Bicara so
Hari Rabu, tepatnya hari ke dua puluh tujuh setelah pertukaran itu. Zinnia masih memikirkan kesepakatannya dengan sang direktur. Meski ia sudah setuju, tetapi rasanya menyakitkan karena mereka akan menikah karena pura-pura.Sore itu Reyner mengajak sekretaris pribadinya untuk pergi berbelanja. Hal ini dilakukan untuk kepentingan pertemuan mereka dengan keluarga inti Sukmajaya. Karena mereka kini bertukar jiwa, Zinnia yang berada di tubuh Reyner pun memilihkan baju yang cocok untuk dirinya sendiri. Kedua orang itu pun menuju ke sebuah mall terbesar di ibu kota."Cepat pilih empat atau lima baju!" perintah Rey dengan suara gadisnya."Bapak bikin saya bingung. Jadi yang bener pilih empat apa lima? Yang pasti aja, Pak," sungut Zinnia kesal."Ck. Sepuluh sekalian. Bahkan kalau kau beli semua aku bisa saja. Tapi nanti kau yang keenakan," ejek Reyner dengan sombongnya."Ih. Sombong banget jadi orang. Percaya yang orang kaya," balas Zinnia ikut meledek san
Pada hari berikutnya, Reyner mengajak Zinnia untuk ikut makan malam di rumahnya. Malam itu ia memutuskan untuk memperkenalkan gadis itu secara resmi. Zinnia pun berdandan secantik mungkin. Meski pernikahan mereka hanya akan menjadi pernikahan pura-pura, tetapi gadis itu tak bisa menolaknya begitu saja. Entah mengapa ada setitik rasa bahagia di dalam hatinya."Bagus juga bajunya." Sang direktur memberikan komentar."Bagus kan, Pak? Siapa dulu yang milih," balas Zinnia memuji dirinya sendiri."Ck. Belinya pakai uangku," ucap Rey mengingatkan."Ih. Gak ikhlas ya, Pak?" sungut gadis itu kesal. Reyner hanya memutar bola matanya."Emmm. Menurut Bapak saya sudah cantik belum malam ini?" tanya Zinnia meminta pendapat pria itu.Reyner menatap kembali gadis di hadapannya dari atas ke bawah. Lalu menatap dari bawah ke atas. Berhenti pada wajah Zinnia. Gadis itu salah tingkah tatkala ditatap pria itu. Reyner pun perlahan mendekatkan tubuhnya. Wajahnya k
"Tapi, Pah. Kita kan baru kenal dia. Lagipula apa Papah nggak curiga kalau dia cuma mengincar harta kita?" protes sang istri tak terima. Jujur saja hati gadis itu sakit mendengarnya."Mah. Jangan berbicara seperti itu," balas Pak Haris mencoba menenangkan sang istri."Ma-maaf. Saya sama sekali tak menginginkan harta Pak Haris dan Bu Nurmala. Maaf jika kehadiran saya tak diinginkan keluarga ini. Tapi ... saya benar-benar menyukai Pak Reyner dengan tulus," tutur Zinnia tanpa kebohongan di setiap ucapannya.Chandra terus fokus menatap gadis itu. Melihat apakah ada ancaman atau tekanan yang gadis itu rasakan. Ia benar-benar tak mengerti kenapa Zinnia mau menerima untuk menikahi sang kakak. Apakah ini berkaitan dengan pertukaran jiwa yang mereka alami? Tanya Chandra dalam hati."Tetap saja aku curiga padamu," ujar Nurmala sembari berdiri, meninggalkan ruang makan."Mah! Hahhh. Maaf ya, Zinnia. Tidak apa-apa aku akan membujuk istriku. Kalian tetaplah ter
Pagi hari di hari Jumat, Zinnia kembali bertukar jiwa dengan sang atasan. Sore itu Reyner meminjam ponsel sang sekretaris untuk menghubungi keluarga gadis itu."Assalamu'alaikum, Zin," ucap Bu Siti, ibu Zinnia dari seberang telepon."Wa'alaikumussalam, Bu. Ibu gimana kabarnya?" tanya Reyner dengan suara Zinnia."Alhamdulillah. Baik. Ada apa, Nduk?""Aku mau ngabarin Ibu sama Bapak kalau besok aku mau pulang.""Oh. Begitu. Iya, Zin. Pulanglah. Ibu sama Bapak kangen banget," ujar Bu Siti."Tapi aku pulangnya nggak sendiri, Bu. Ada orang yang mau ketemu Bapak sama Ibu," ujar Reyner. Zinnia yang duduk di samping dirinya sendiri hanya diam menyimak dengan baik."Siapa? Temen kerja? Boleh-boleh. Ajak saja pulang ke rumah," balas Bu Siti."Bukan teman. Dia calon mantu Ibu sama Bapak," jelas Reyner."Apa? MasyaAllah. Kalau gitu Ibu sama Bapak siap-siap ya buat calon mantu." Bu Siti terdengar antusias."Iya, Bu."
Sabtu pagi Reyner dan Zinnia sudah mempersiapkan pulang kampung ke kota Adipura Kencana. Direktur sombong itu sudah memesan tiket pesawat tujuan Jakarta-Jogja. Zinnia tampak gugup tatkala menaiki burung besi raksasa itu. Pasalnya ini pengalaman pertama baginya."Nggak usah kampungan gitu," ejek sang direktur sembari melirik pada sekretarisnya."Ish. Mas. Ini kan pertama kalinya bagiku," sungut Zinnia. Sepertinya gadis itu sudah mulai membiasakan diri menggunakan panggilan aku kamu pada pria itu.Reyner memutar bola matanya malas. Pria itu langsung duduk diikuti oleh Zinnia yang masih celingak-celinguk melihat seisi pesawat. Gadis itu lalu duduk di dekat sang direktur. Pria itu malah sibuk dengan ponselnya. Tanpa mempedulikan gadis yang duduk di sampingnya, Reyner memilih memejamkan kedua matanya. Sepertinya pria itu kelelahan dengan kesibukannya akhir-akhir ini."Yah tidur. Mas Rey! Temenin aku dong!" panggil Zinnia mencoba membangunkan pria di sampingnya
Seperti yang telah diduga sebelumnya, Bella datang mengunjungi sahabatnya. Gadis itu langsung memeluk sang sahabat. "Zin. Beneran kamu nikah sama majikan kamu?" tanya Bella dan langsung ditutup mulutnya."Sini, Bel. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu!" ujar Zinnia sembari menuntun Bella ke luar rumah. Zinnia masih mengenakan mukenanya.Gadis itu lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bagaimana pun juga Bella merupakan sahabat baiknya. Ia tak mau merahasiakan kejadian aneh yang menimpanya. Bella pun terkejut saat mendengar penjelasan dari sang sahabat."Jadi, yang waktu malem itu aku temui bukan kamu? Tapi Pak Rey yang ganteng itu?" tanya Bella tak lupa dengan logat Jawanya. Zinnia hanya menganggukkan kepala."Ya Allah. Pantesan kok aneh banget. Ndak kaya kamu yang biasanya," imbuh Bella."Iya. Tapi aku minta kamu jangan cerita ke siapa-siapa, ya? Aku nggak mau buat Ibuk sama Bapak khawatir," pinta Zinnia menatap lurus sahabatnya.
"Zin, bangun!" panggil Siti pada putrinya sembari mengetuk pintu kamar Zinnia.Gadis yang dipanggilnya sebenarnya sudah berada di tubuh sang atasan. Hari itu waktu mereka bertukar jiwa lagi. Jiwa Zinnia yang berada di dalam tubuh Rey pun mulai jengkel dibuatnya."Biar aku saja yang bangunin, Buk," ujar Zinnia sebagai Rey."Oh. I-iya. Maaf ya, Nak. Tumben sekali si Zin susah dibangunin. Apa karena sudah lama ndak tidur di rumah, ya?" tanya Siti."Mungkin Zin lagi capek, Buk," jawab Zinnia membela dirinya sendiri.Gadis itu membuka pintu kamarnya dengan tangan kekar itu. Ia lihat dirinya sendiri masih tidur meringkuk di atas ranjang. Zinnia pun mulai berkacak pinggang. Bagus sekali sang atasan menjelekkan dirinya di depan sang ibu."Mas, bangun! Sudah subuh," panggil Zinnia sembari menggoyangkan tubuhnya sendiri. Reyner hanya menggeliat sebentar dan kembali tidur."Bangun, Mas! Plis lah. Bangun cepet!" panggil gadis itu lagi se
Sore pun tiba. Reyner dan Zinnia berpamitan untuk kembali ke Jakarta. Siti dan suaminya melepas kepergian mereka. Satu hari tak bisa menghilangkan rasa rindu kedua orangtua itu."Tolong jaga Zin kami dengan baik ya, Nak," ucap Pak Agus sembari memeluk tubuh Reyner."Iya, Pak. InsyaAllah," balas Zinnia mewakili sang atasan."Kamu juga jaga diri baik-baik ya, Nduk," ucap Siti ikut memeluk tubuh putrinya."I-iya," balas Reyner canggung."Zin. Hati-hati yo!" ucap Bella yang ikut melepas kepergian sang sahabat. Reyner pun membalasnya dengan anggukan saja."Bapak sama Ibuk jaga diri baik-baik ya! Kamu juga, Bel," ujar Zinnia menatap kedua orangtuanya lalu beralih menatap sang sahabat. Bella nampaknya sedang memahami situasi yang sebenarnya. Ia teringat dengan ucapan Zinnia tempo hari. Gadis itu pun sadar jika pertukaran jiwa antara sang sahabat dengan direkturnya tengah berlangsung."Iya, Pak Rey," balas Bella sebari terse
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela