Hari ke dua puluh dua. Zinnia dan Reyner kembali ke tubuh mereka masing-masing. Pagi itu Bella sudah kembali mengemasi barang-barangnya. Lalu berpamitan pada Zinnia.
"Makasih yo sudah ngizinin aku menginap di sini," ucap Bella tersenyum menatap sahabatnya.
"Sama-sama, Bel. Hati-hati ya di jalan," balas Zinnia sembari memeluk Bella dengan erat. Melepaskan kerinduannya.
"Iya, Zin. Oh iya. Salam buat Pak Reyner yo!"
"Iya. Nanti aku sampaiin," balas Zinnia yang sebenarnya malas.
"Dan kamu Zin. Berjuang yo!" seru Bella membuat sahabatnya bingung.
"Berjuang untuk apa?"
"Berjuang jadi istrinya Pak Reyner. Kan kalau di cerita-cerita yang pernah kubaca itu, pembantu bisa nikah sama majikannya," ucap Bella.
'Pembantu? Ya Allah. Gitu amat sih direktur sableng itu,' rutuk Zinnia sebal.
"Mana ada yang seperti itu. Ya udah sana! Udah ditungguin pak sopir tuh," tutur Zinnia mengingatkan.
"Oke. Dah ya,
Zinnia secara terpaksa melaksankan tugasnya. Gadis itu sudah berdiri di tepi kolam renang dengan kemeja dan rok kerja yang masih lengkap. Kini ia bingung bagaimana caranya membuka penutup di dasar kolam. Ia sama sekali tak dapat berenang. Hukuman dari Reyner benar-benar kejam."Kenapa masih diam saja? Cepat bersihkan!" seru Rey yang sedang membetulkan kemejanya."Bagaimana saya bisa mulai, Pak? Saya nggak bisa mengambil penutup itu," ujar Zinnia sembari menunjuk ke dasar kolam."Ya ambil lah!""Tapi saya nggak bisa renang, Pak," cicitnya."Pikirkan caranya!" ujar Reyner sembari menunjuk kepalanya sendiri."Jahat banget sih jadi orang," sungut gadis itu."Pokoknya kalau aku pulang, kolam ini harus benar-benar bersih. Pikirkan caranya sendiri!" Reyner pun meninggalkan Zinnia yang masih memikirkan cara mengambil penyumbat di dalam kolam renang. Pria itu benar-benar tak peduli dengan kelemahan Zinnia."Aku mau berangkat sekarang. B
Pagi berikutnya bertepatan dengan hari ke dua puluh empat setelah pertukaran jiwa Rey dan Zin. Kedua orang itu tengah menikmati hari Minggu pagi. Bukan. Lebih tepatnya hanya Reyner lah yang menikmati dengan bersantai, sedangkan Zinnia seperti biasa mencuci pakaiannya dan pakaian sang atasan. Apalagi sekarang ditambah dengan seperai dan selimut laki-laki itu.Tepat pukul sepuluh pagi, ketika Zinnia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, bel rumah itu pun berbunyi. Tiga kali bel itu berbunyi seperti sedang memanggil sang pemilik rumah."Cepat lihat siapa yang datang!" perintah Rey pada gadis itu."Ya lihat sendiri lah, Pak," balas Zinnia yang sepertinya sudah capek. Untung saja Reyner masih memberi gaji lebih."Jangan balik memerintahku. Cepatlah!" tegas Rey lagi."Iya, iya. Bawel ah," sungut Zinnia sembari berjalan menuju pintu gerbang untuk mengintip siapa yang datang."Kurang ajar kau!"Gadis itu tak menghiraukan kekesalan sang atas
"Aku tahu ada seseorang di dalam. Siapa di sana? Tunjukkan dirimu!" tanya Chandra yang semakin curiga dengan sang kakak. Awalnya ia memang mengira sang kakak memiliki kebiasaan aneh. Namun, sekarang kecurigaannya beralih. Beranggapan bahwa sang kakak suka bermain dengan perempuan secara diam-diam.Zinnia hanya diam. Tak menjawab pertanyaan dari putra kedua keluarga Sukmajaya. Gadis itu terus menahan pintu agar tak terbuka."Kenapa kau bermain-main dengan Kak Rey? Cepat tunjukkan wajahmu!" perintah Chandra yang sudah tersulut emosi. Dalam benaknya ia merasa Reyner sedang punya hubungan terlarang dengan seorang wanita. Pria itu tak menyangka bahwa kakaknya menyembunyikan hal yang menurutnya salah. Bagaimana pria sedingin dan sesombong Reyner bisa bermain-main dengan wanita? Tanya Chandra dalam hati.Zinnia masih bungkam. Gadis itu lalu meraih kunci. Sebelum ia berhasil memutar kuncinya, Chandra dengan kekuatannya akhirnya mampu membuka pintu itu dengan paksa. Alan
Senin pagi Reyner dan sekretarisnya kembali ke kantor. Seperti yang terjadi sebelumnya, mereka kambali bertukar jiwa. Zinnia seperti biasa selalu tampak ceria, aura hangat terpancar meski gadis itu berada di tubuh yang berbeda. Kini gadis itu mendapatkan beban pikiran yang lain. Putra kedua Sukmajaya telah mengetahui rahasianya.TOK TOK TOKKembali terdengar ketukan pintu dari luar ruangan direktur utama. Zinnia memberi isyarat pada atasannya untuk segera membukakan pintu. Seperti biasa Reyner akan mengutuk perbuatan sang sekretaris itu."Zin ...." panggil suara berat itu. Reyner yang sedang berada di tubuh sang pemilik nama pun menatap sebal. Kenapa adiknya datang di siang itu?"Ada apa?" tanya Reyner dingin dengan suara gadisnya.Chandra tampak sedang menganalisis keadaan. Ia teringat dengan ucapan Zinnia tentang pertukaran jiwa yang dialaminya dengan sang kakak. Pria itu memang sengaja datang ke perusahaan untuk mengece
Pagi itu Zinnia disibukkan dengan tumpukan dokumen di atas meja. Reyner memerintahkan gadis itu untuk memeriksa semua dokumen tebal itu dengan teliti dan memindahkannya ke dalam file seorang diri."Kerjakan dengan cepat dan benar! Kalau tidak kau akan tahu sendiri akibatnya," ancam pria itu sembari menatap sinis sang sekretaris.Zinnia yang sudah kembali ke dalam tubuhnya sendiri mendengus kesal dengan sikap semena-mena sang direktur. Mau protes pun tetap tak bisa. Yang ada nanti gajinya dipotong atau yang paling menyebalkan adalah fotonya akan ditempel pada papan pengumuman kantor. Mau ditaruh mana wajahnya?"Baik, Pak. Saya akan menyelesaikannya dengan cepat," balas Zinnia penuh dengan percaya diri sembari mengambil beberapa lembar dokumen yang tertumpuk di atas meja kerjanya."Cepat dan tepat! Tak boleh ada yang salah maupun terlewat!" Rey kembali memperingati gadis itu dengan tatapan tajamnya."Iya, Pak. Iya." Zinnia membalas tatapan s
Setelah sepuluh menit berbelanja, gadis itu kembali pada atasannya. Tampak wajah Reyner yang sudah bosan menunggunya. Pria itu meletakkan ponselnya untuk menatap Zinnia."Lama," celetuknya sembari menghidupkan mesin mobil."Ya Allah. Cuma sepuluh menit dibilang lama," balas Zinnia menatap sang atasan. "Kalau nggak ikhlas ngapain tadi malah berhenti?" tanya gadis itu."Kau kan yang minta berhenti? Dasar tak tahu diri," cecar Reyner sembari memutar kemudi."Ish. Dahlah males debat sama Bapak. Capek." Gadis itu menyandarkan tubuhnya lalu meraih sesuatu dari kantung belanjanya."Nih, Pak. Buat Pak Rey biar nggak ngambek lagi," ujar Zinnia sembari menyodorkan dua bangkus sosis ayam yang masing-masing berisi tiga buah. Reyner hanya meliriknya."Nggak perlu.""Beneran? Nanti nyesel lagi.""Nggak. Kau buatkan saja aku makan malam! Ada yang mau aku bicarakan," ucap pria itu tanpa menatap gadis yang duduk di sampingnya."Bicara so
Hari Rabu, tepatnya hari ke dua puluh tujuh setelah pertukaran itu. Zinnia masih memikirkan kesepakatannya dengan sang direktur. Meski ia sudah setuju, tetapi rasanya menyakitkan karena mereka akan menikah karena pura-pura.Sore itu Reyner mengajak sekretaris pribadinya untuk pergi berbelanja. Hal ini dilakukan untuk kepentingan pertemuan mereka dengan keluarga inti Sukmajaya. Karena mereka kini bertukar jiwa, Zinnia yang berada di tubuh Reyner pun memilihkan baju yang cocok untuk dirinya sendiri. Kedua orang itu pun menuju ke sebuah mall terbesar di ibu kota."Cepat pilih empat atau lima baju!" perintah Rey dengan suara gadisnya."Bapak bikin saya bingung. Jadi yang bener pilih empat apa lima? Yang pasti aja, Pak," sungut Zinnia kesal."Ck. Sepuluh sekalian. Bahkan kalau kau beli semua aku bisa saja. Tapi nanti kau yang keenakan," ejek Reyner dengan sombongnya."Ih. Sombong banget jadi orang. Percaya yang orang kaya," balas Zinnia ikut meledek san
Pada hari berikutnya, Reyner mengajak Zinnia untuk ikut makan malam di rumahnya. Malam itu ia memutuskan untuk memperkenalkan gadis itu secara resmi. Zinnia pun berdandan secantik mungkin. Meski pernikahan mereka hanya akan menjadi pernikahan pura-pura, tetapi gadis itu tak bisa menolaknya begitu saja. Entah mengapa ada setitik rasa bahagia di dalam hatinya."Bagus juga bajunya." Sang direktur memberikan komentar."Bagus kan, Pak? Siapa dulu yang milih," balas Zinnia memuji dirinya sendiri."Ck. Belinya pakai uangku," ucap Rey mengingatkan."Ih. Gak ikhlas ya, Pak?" sungut gadis itu kesal. Reyner hanya memutar bola matanya."Emmm. Menurut Bapak saya sudah cantik belum malam ini?" tanya Zinnia meminta pendapat pria itu.Reyner menatap kembali gadis di hadapannya dari atas ke bawah. Lalu menatap dari bawah ke atas. Berhenti pada wajah Zinnia. Gadis itu salah tingkah tatkala ditatap pria itu. Reyner pun perlahan mendekatkan tubuhnya. Wajahnya k
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela