Edward yang baru saja tiba di rumah sakit langsung lari terbirit-birit menuju ruang rawat tempat Rosie berada, tadi dia sudah di beritahu oleh perawat suruhannya untuk menjaga Rosie sampai dia tiba di sana.
Napas lelaki itu memburu, dia sangat panik mengetahui Rosie jatuh pingsan dan ditambah dengan pendarahan. Batinnya tak ada henti meramalkan doa agar Rosie dan kedua anaknya selamat.
Edward langsung masuk ke dalam ruangan, membuka pintu dengan tidak sabaran. Edward langsung menemukan Rosie yang masih tidak sadarkan diri, terbaring lemah di atas bangsal.
"Ada apa dengan istri saya?" Edward langsung menyerbu perawat jaga yang ada di sana.
"Tadi, Ibu Rosie terjatuh di dekat tangga, ketika kami mengangkatnya, Ibu Rosie malah pendarahan. Mungkin, itu dampak dari Ibu Rosie yang terlalu lelah. Tidak kuat berjalan lama, terlebih lagi ada dua bayi di perutnya. Itu, menyulitkan."
"Engh, Edward." Edward menoleh dan langsung menemukan Rosie yang baru saja membuka mata. Bibirnya bergerak seolah hendak mengucap kata."Ah, maaf, Bu. Rosie baru saja sadar, nanti aku kabari lagi.""Baiklah, kabari terus pada Ibu."Tut."Rosie? Apa yang sakit? Kau butuh apa?" Edward seperti suami siaga yang langsung mengecek kondisi Rosie."A-aku i-ngin minum." Rosie berkata terbata-bata karena tenggorokannya yang terasa kering."Ini. Minum ini." Rosie langsung menerima gelas yang di sodorkan Edward dan langsung merasa lebih baik."Bagaimana? Kau sudah baikan?"Rosie mengangguk-angguk kepalanya, "Aku sudah lebih baik, Edward. Terima kasih."Edward membuang napasnya lega, lalu menatap Rosie dengan tatapan tajam, meski begitu Edward harus menahan emosinya agar tidak lepas kendali."Kenapa kau bisa pergi se
"Bukankah, itu Samuel? Dia sudah mulai bersekolah?"Alice mengangguk, "Ini hari pertamanya masuk sekolah."Damian tersenyum simpul, "Dia tumbuh baik dengan Rosie.""Rosie memang sangat menyayangi Samuel.""Aku tahu."Alice menegang habis minumannya, udara siang hari ini membuat tubuhnya sangat panas, dia butuh yang segar saat ini. Di tengah kesunyian melanda mereka, tiba-tiba ponsel Alice berbunyi. Tertera nama Edward di layar benda pipih itu."Sebentar.""Ya."Alice menekan tombol hijau di sana."Halo? Ada apa?""Apa anak-anak sudah pulang?""Sudah, mereka sedang main di taman.""Ah, setelah itu kau bisa mengajak mereka ke rumah sakit.""Rumah sakit? Siapa yang sakit?" Alice reflek melihat ke arah Damian yang ternyata juga tengah menatapnya.
"Samuel sedang perjalanan ke sini, aku yang akan mengurusnya, kau di sini saja." Edward mencoba tenang meski wajahnya sudah nampak geram melihat selang infus yang tetanam di tangan Rosie sedikit sedikit sudah mengeluarkan darah."Tidak bisa, Edward! Aku ingin menemuinya! Aku ingin menemaninya! Aku ini ibunya! Kau tahu apa tentangnya?!" Rosie kembali menjerit histeris, menatap murka pada Edward yang nampaknya juga sudah lelah."Kau baru saja lebih baik, Rosie. Apa kau lupa? Kau juga baru saja mengalami pendarahan! Apa kau juga tidak kasihan pada kandunganmu? Jadi, biarkan aku yang akan mengurus Samuel, kau sini saja. Aku melakukan ini juga demi kebaikanmu, Rosie. Aku mohon, ikuti perintahku sekali ini saja. Semuanya akan baik-baik saja, percaya padaku, Rosie." Edward menatap Rosie dengan lembut, meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan berjalan lancar dan baik-baik saja."Tidak." Rosie menggeleng tegas, menyangkal segala
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Edward langsung bertanya begitu pintu ruangan terbuka dan menampilkan Dokter.Pria berjas putih itu menghela napas, "Keadaan Rosie sudah agak membaik. Tapi, dia harus istirahat total karena flek di kandungannya sudah semakin menyebar. Tolong, usahakan pikirannya bebas dan tidak stress, itu akan sangat berdampak untuk kesehatan kandungannya."Edward menghela napas, melihat Rosie yang sedang terbaring lemah di sana dengan wajah prihatin."Rosie sudah saya berikan obat tidur agar istirahatnya semakin banyak.""Terima kasih, Dok.""Sama-sama, kalau begitu saya pamit dulu. Langsung hubungi jika terjadi sesuatu."Edward mengangguk dan Dokter itu segera enyah dari hadapannya. Mata hitam itu melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima sore, dia harus bergegas memeriksa k
"Keadaannya cukup mengkhawatirkan, otaknya mengalami kerusakan karena benturan yang cukup keras mengenai belakang kepalanya. Sekarang, dia belum sadarkan diri."Alice yang baru saja bangkit kini langsung kembali terjatuh duduk, tatapannya kosong dan tak lama air terjun langsung mengalir deras dari pelupuk matanya. David langsung menghampiri, merangkul sang istri berupaya memberi dorongan."Apa otaknya akan segera pulih? Tidak adakah tindakan lanjut agar otaknya kembali?"Dokter itu menghela napas, "Untuk saat ini, kami hanya bisa menunggunya sadar, setelah itu kami akan melakukan tindakan lebih lanjut, karena untuk merangsang kinerja otaknya dia harus sedikit mengingat hal."Edward lagi-lagi mendesah prustasi, "Apa saya boleh melihat anak saya di dalam?""Mohon maaf, Pak. Jika, pasien belum sadar kami menghimbau Bapak agar tidak menemuinya dulu, biarkan pasien istirahat untuk sekarang."
Edward menghela napasnya, menegak kopi yang dia beli lima menit lalu dengan tandas, menghalau rasa kantuk yang menyerang matanya. Kedua tangannya melirik ke arah pergelangan tangannya yang menampilkan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Tak terasa, dia sudah lima jam menunggu di ruang tunggu depan ruangan Samuel. Tadi, Dokter yang menangani Samuel sempat memberitahunya bahwa tekanan darah Samuel menurun hingga dua puluh persen. Maka dari itu, Edward memilih menunggu saja di sini agar tidak terlewat sesuatu yang penting."Edward."Edward yang sedang melamun tentu saja terkejut ketika ada sebuah tangan yang menyentuh bahunya seraya menyuarakan namanya."Ibu? Ibu sudah mau pulang?"Eliza menganggukkan kepalanya, "Rosie juga sudah tertidur. Bagaimana keadaan Samuel? Apa terjadi sesuatu?"Entah sudah berapa kali Edward menghe
"Sebelumnya, apa yang terjadi dengan pasien." Dokter itu sedikit melonggarkan pakaian yang di pakai Samuel seraya mengecek keadaan bocah itu melalui alat patient monitor."Dia baru saja mengalami kerusakan otak kemarin karena terjatuh dari permainan bola dunia." Dokter itu menatap sang perawat terkejut, kedua alisnya menukik tajam."Ini gejala epilepsi, segera berikan obat sodium valproate atau topiramate, saya akan berikan obat penenang untuk meminimalisir kejang-kejang.""Baik, Dok."Dokter itu dengan cekatan mengambil beberapa peralatan yang dia butuhkan, salah satunya jarum suntik yang harus segera dia ganti. Setelah semuanya sudah siap, Dokter itu segera menyuntikannya pada lengan Samuel di susul dengan suntikan obat yang diarahkan sang Dokter.Tak berapa lama, tubuh Samuel mulai kembali normal, kejang-kejangnya berangsur-angsur menghilang, Dokt
"Anak itu? Anak yang tadi di IGD-""Apa? Kenapa dia?""Tadi, dia sempat mengalami kejang-kejang karena gejala epilepsi yang dia idap kambuh, tapi untungnya sekarang sudah lebih baik, hanya perlu memperhatikan kondisi vitalnya.""Ah, syukurlah." Edward mendesah napas lega. Entah bagaimana lagi kondisi Rosie nanti kalau tahu kondisi Samuel yang sempat kejang-kejang."D-dia itu, siapa?" tanya Angel terdengar hati-hati. Edward menekuk kedua alisnya."Siapa?""Anak itu-""Ah, dia Samuel. Anakku.""Anakmu?" seru Angel yang tanpa sadar membuat beberapa orang yang baru sampai menoleh ke arah mereka."Kau memancing perhatian." Edward terkekeh. Angel sontak menutupi wajahnya karena malu."Ah, maaf. Aku hanya terkejut tadi. Apa dia anakmu dengan Alice?""
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa