"Rosie." panggil Edward dengan rendah, nada prustasi tertanam di sana.
Tak bergeming, Rosie tetap di tempatnya seraya menggenggam tangannya kuat sampai kuku jarinya memutih akibat menahan tangis dan juga gejolak nyeri di dadanya yang membuncah.
"Aku mohon, sekali ini saja. Dengarkan aku dulu." Edward dengan perlahan mengambil tangan mungil Rosie dan menggenggamnya. Untung saja, Rosie hanya terdiam tanpa adanya perlawanan.
Edward yang mendapat sinyal baik merasa bahwa inilah gilirannya dia maju, menjelaskan semuanya agar Rosie juga tidak akan salah paham.
"Kau salah paham, yang tadi kau lihat bukan seperti apa yang kau pikirkan." Ada jeda sesaat, Edward menghela napasnya dalam-dalam, memantapkan hatinya agar Rosie juga percaya setiap kata yang dia lontarkan.
"Dia Angel, salah satu dokter di sini dan juga teman lama aku, aku kenal dengan dia ketika kami sama-sama menjad
"Permisi." Angel melangkah masuk seraya menunjuk senyuman terbaiknya."Ah, ini dia. Rosie, ini Angel, teman lamaku." Edward menghentikan usakan pada rambut Rosie dan beralih menggenggam tangan sang istri lalu menatap Angel yang perlahan mendekati mereka, "Ini dia yang tadi aku ceritakan." lanjut Edward berbisik.Rosie berkedip, "Rosie." Lalu, mengulurkan tangannya bermaksud ingin berjabat tangan berkenalan.Angel menatap uluran tangan itu sejenak lalu membalas Rosie, "Aku Angel. Salam kenal. Kurasa, kau sudah tahu dari Edward." Lalu, gadis berjas putih itu terkekeh.Rosie memberikan senyuman manis yang di mana membuat Angel tertegun, meski sudah lewat dari salah paham, jarang seoarang wanita yang lebih lagi seorang istri masih bisa tersenyum begitu manis setelah apa yang terjadi di balik kesalahpahaman.Rosie terkekeh, "Kesalahapahaman, aku sudah tidak masalah, aku percaya
"Alice." Alice yang sedang menyiram tanaman sontak saja terkejut ketika David tiba-tiba saja muncul di hadapannya."Aish, kau ini! Mengagetkanku saja." gerutu Alice seraya menatap suaminya itu dengan tajam."Maafkan aku." cecenges David seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Ada apa? Kau tidak ke kantor?" Alice menyudahi rutinitas paginya. Berjalan menuju bangku taman dan duduk di sana."Tidak. Pekerjaanku sudah aku handle semalam. Jadi, aku hanya sedikit mengerjakan satu laporan saja." jelas David seraya mengikuti Alice."Tadi, aku menelpon Edward dan dia bilang kalau kondisi Samuel sudah lebih baik dan bocah itu sudah sadar.""Benarkah? Syukurlah." Alice bernapas lega, dua hari ini pikirannya memang di hantui dengan keadaan Samuel. Bocah yang malang."Kau ingin ke sana sekarang?"Alice menoleh, "Apa dia suda
"Aku tahu kau pasti kemarin mengalami kesulitan." Kekehan David di sana membuat Edward tak sungkan-sungkan langsung memutar bola matanya malas."Tidak usah mengejek. Kau belum saja merasakannya.""Hey, Dude!" Keduanya sontak saja terkekeh."Ya sudah, aku ingin ke ruang Samuel. Dia ingin susu pisang kesukaannya.""Ah, baiklah kalau begitu, aku juga ingin memberitahu Alice kabar ini."Edward mengangguk dan tak lama setelah kata pamitan, sambungan itu terputus. Pemuda Quin itu berdiri dan segera melesat menuju ruang Samuel.***Ella yang sedari tadi hanya duduk terdiam di kursi panjang depan kelasnya kini mulai terusik karena salah seorang kehadiran seorang perempuan dengan bando berwarna polkadot merah di rambutnya mulai menatapnya menyelidik, dari atas sampai bawah.Ella yang mengetahui kehadiran Vina, perempuan yang serin
Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Rosie dan Edward sudah pasti menebak siapa yang datang."Itu pasti Ayah." girang Samuel yang sebentar lagi susu pisangnya akan datang.Ketika langkah itu semakin mendekati mereka, juga bayangan yang terasa semakin besar. Samuel sudah bersiap-siap ingin menyambut minuman kesukaannya. Rosie hanya diam, tersenyum memperhatikan."A-""Halo, Samuel. Rosie." Tapi naas, bukan sosok Edward sang ayah yang muncul di hadapannya, tapi seorang wanita cantik berponi tail dengan jas putih kebesarannya."Dokter Angel?" Rosie berdiri perlahan, menyapa Dokter itu. Tubuhnya masih belum stabil.Angel hanya tersenyum manis. "Samuel, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kepalanya masih sakit?"Samuel menggeleng, "Tidak, Dok. Tapi, masih agak sakit di sini." Tangan mungil Samuel menunjuk ke arah pe
"I'm sorry, Aunty." Setelah mengatakan itu, bocah itu segera pergi dari hadapannya. Rambut pirangnya yang basah bergerak seiring langkahnya yang semakin kencang, bocah itu berlari.Alice mengerjap, perasaan iba langsung mengerubunginya ketika tanpa sengaja dia melihat mata perempuan itu yang berkaca-kaca. Lagi pula, apa yang di lakukan gadis itu sampai membuat seragamnya basah? Tidak mungkin kan dia mandi di sekolah? Atau- ada satu hal yang mengganjal?Tak lama setelah itu, ada tiga seorang perempuan lain dengan gaya hebohnya datang dari arah perempuan pirang itu berasal. Ketiganya saling tatap lalu segera berlari menuju gerbang depan. Alice mengernyit, kenapa rasanya ada yang tidak beres di sini? Tapi, apa mungkin? Alice menghela napasnya sejenak lalu kembali berjalan menuju ruang kelas Eros.Setibanya wanita itu di sana, Eros ternyata sudah di temani oleh Zea dan Zelo, kebetulan sekali jadi Alice tidak harus kerj
Ella yang memang sedang memandang ke arah jalanan luar aktivitas kota sana mulai memikirkan hal yang menimpanya tadi. Pada awalnya, dia pikir bersekolah di negara lain akan terasa menyenangkan karena ada banyak teman baru. Tapi, dia malah mendapatkan apa yang sebelumnya tidak dia pikirkan akan terjadi.Flash back.Bel berbunyi, bertanda bahwa jam pelajaran sekolah sudah berakhir. Seperti hari-hari sebelumnya, Ella akan menjadi siswa terakhir yang keluar dari kelas karena ada banyak sekali tatapan mata yang membuatnya risih, Ella tidak suka itu. Maka, dia hanya diam sampai semua orang keluar kelas dan hanya tersisa dia sendiri.Barulah, ketika ruangan itu sudah sepi, Ella mulai berani untuk keluar. Menggenggam ujung tasnya dan mulai menyusuri lorong. Tapi, ada sebuah tangan yang menyeretnya sampai ke ujung lorong, tempat tersepi yang jarang di lalui oleh orang-orang selepas bel pulang berbunyi.
Sesampainya Rere di depan pintu kayu yang bertuliskan huruf E itu, dia langsung menekan kenop pintu tersebut. Namun, naas. Pintunya malah terkunci dari dalam. Perasaan Rere semakin tidak karuan ketika mendengar bunyi nyaring dari dalam, dari bunyinya saja Rere dapat menebak jika itu barang yang terjatuh. Tak lama, terdengar suara yang sama dari sumber yang sama, terus berulang seperti itu.Rere langsung mengetok pintu itu kuat-kuat sampai rasanya telapak tangannya terasa sakit seraya terus menyerukan nama Ella berulang kali."Ella! Hey, open the door! What are you doing? Hey, Ella! Let me in."Bukannya suara Ella yang lemah lembut menyahutinya tapi malah suara teriakan Ella yang memenuhi gendang telinganya.Ella sontak saja langsung mengetok pintu itu dengan kuat-kuat. Tapi, tetap saja hanya suara barang terjatuh dan juga jeritan tangis Ella yang terdengar."Ella! Hey
"Samuel." panggil Eros dan Samuel langsung menoleh."Kenapa, Kak?"Wajah Eros yang nampak serius membuat Samuel mengerutkan keningnya, bingung."Apa kau kenal dengan gadis pirang di sekolah kita?""Pirang? Apa perempuan yang dari luar negeri itu?"Eros terdiam sejenak, tapi tak lama langsung mengangguk. "Sepertinya, seperti itu.""Aku kenal, dia bernama Ella. Aku sekelas dengannya, memang ada apa?"Eros menoleh ke arah Zea dan Zelo yang rupanya sedang asik menonton TV karena sedang tayang kartun kesukaan mereka berdua."Tadi, aku melihatnya sedang-""Rosie, Edward." suara Alice membuat Eros tidak jadi melanjutkan ucapannya, apa lagi Rosie dan Edward kini sedang berjalan menuju mereka, tepatnya Samuel."Nanti saja." batin Eros bersuara.
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa