Tangan kananya masih memegang ponsel yang sedetik yang lalu mati. Asap semakin tebal, penglihatannya hanya mencapai jarak satu meter. Satria menekan dadanya, nyeri akibat pukulan orang-orang yang menyerangnya tiba-tiba tadi ditambah asap tebal yang sudah memenuhi ruangan itu. Dia masih mencoba mencari jalan ke luar. Jendela ditutup teralis besi, tentu tidak bisa dia buka, pintu juga belum bisa dibuka meski Satria mengerahkan tenaganya yang tidak seberapa itu. Entah sudah seperti apa kebakaran di luar, tapi hawa panas membuat keringatnya mengucur, tubuhnya makin lemas dan pandangannya semakin buram, tubuhnya tersungkur bersamaan material dari atas menimpanya.Suara sirine terdengar dari luar. Satria masih bisa mendengarnya. Dia tersenyum saat merasakan tubihnya seperti diselimuti es dan terasa ringan lalu dia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.Dua jam sebelumnya. Satria sampai di sebuah rumah kuno yang menurut informasi rumah itu adalah markas Arlan. Dia sudah mendapat kabar
Abian panik saat ponsel Satria tidak bisa dihubungi. Di titik terakhir dia masih menangkap keberadaan Satria meminta sopir membawanya sesuai arahannya.Kepulan asap membumbung di sebuah rumah yang dituju, dalam keadaan seperti itu Abian tidak bisa berpikir jernih. Di dalam sana ada adiknya, bisa saja adiknya sudah terbakar atau …. Tidak, dia tidak akan membiarkan adiknya dalam bahaya. Abian meminta asisten ayahnya untuk mencari bantuan.Dia mencoba masuk dan beruntung pintu utama tidak dikunci. Meski rasanya ada yang ganjil karena tidak mungkin penyekap membakar rumah, tapi membiarkan rumah tidak dikunci. Apa Satria sudah ke luar dari sana atau … entahlah, dia harus bergerak cepat saat ini.“Sat, kamu di dalam?” Abian berteriak. Api semakin menjalar hampir ke seluruh ruangan. Dia ahrus awas kalau ada material terbakar menimpa dirinya. Pandangannya terus memindai setiap sudut dan masih membuka satu pursatu ruangan di lantai satu. Namun, kakinya terbenti saat menginjak kunci motor milik
“Kenapa lagi Feli?” tanya Maria setelah Abian berpamitan akan pulang selepas menerima telepon dari asisten rumah tangganya.“Dia pergi, aku akan cari dia.” Abian berjalan menuruni tangga dengan tergesa. Perasaannya tidak tenang, mengingat Felicia waktu itu bersama lelaki yang mungkin saja teman kencan Felicia. Bukankah ini penghinaan baginya, istri seorang Abian berkencan dengan lelaki.“Biarkan saja, Abi. Mama tidak rela kalau kamu kembali pada Feli, lepas dia dan perbaiki kehidupanmu. Nanti kalau kehidupanmu sudak teratur kembali, kamu bisa menikah, cari wanita baik-baik.”Abian menghentikan langkahnya tepat saat kakinya akan melangkah di tangga terakhir. Kenapa dia tidak berpikir seperti itu, bukankah dengan begini perjanjiannya dengan Felicia batal, bukan dia yang meninggalkan wanita itu, tapi wanita itu yang meninggalkannya. Dia tidak perlu repot memberikan sebagian hartanya untuk Felicia.“Abi. Pikirkan ucapan Mama, biarkan Feli pergi.”Wanita yang melahirkannya tiga puluh dua t
“Bu, jangan tiba-tiba pergi begini, nanti kalau Pak Nathan meninggalkan ibu bagaimana nasib Kenzo.” Asisten rumah tangga itu mencegah Felicia saat akan meninggalkan rumah.“Di sini aku tidak dianggap, Sri, aku lelah hanya dijadikan istri pajangan.”Setelah Nathan meyakinkannya akan tanggung jawab pada anaknya dan akan menikahinya, dia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Abian. Bukan pernikahan seperti ini yang dia harapkan, dia memang salah, tapi dia pikir Abian yang setia hingga lima tahun menunggunya, ternyata cinta lelaki itu cepat berubah.“Abi tidak mencintaiku, aku tidak bisa hidup seperti ini, Sri.”Pakaiannya sudah selesai dikemasi oleh pengasuh Kenzo dan sudah di bawa ke luar sembari menunggu jemputan dari Nathan.“Bu, pikirkan baik-baik. Pak Abi itu sangat mencintai ibu, buktinya lima tahun Bu Amara diabaikan karena Pak Abi setia sama ibu.”“Hei, itu dulu. Setelah tahu apa yang aku lakukan, dia tidak akan bisa seperti dulu.”Felicia duduk dikursi dan putranya berada di st
“Tenang saja, Tante, Amara aman, sudah berberapa kali menjalani pemeriksaan dan Amara juga patuh mengonsumsi vitamin sejak ….”Dara menatap sinis pada Abian, “coba kalau Abi tidak mengabaikan Amara, Amara pasti sudah hamil.” “Dara, kenapa malah mengungkit masa lalu.” Satria menarik tangan Amara meminta istrinya itu mendekat seolah takut kalau istrinya tiba-tiba mengingat masa lalunya bersama Abian. Bukankah untuk saat ini kondisinya yang perlu diperhatikan, Satria menjadi rendah diri karena ini.Amara mengusap punggung tangan Satria yang saat ini tiduran miring karena luka bakar di punggung.“Bukan mengungkit, aku cuma mau konfirmasi saja sama Tante kalau Amara aman, jangan salahkan Amara lagi.” Dara mendengus kesal, dia tahu bagaimana perjuangan Amara saat menjadi istri Abian dan bukan kebodohan wanita yang dia pikir dulu, tapi Amara adalah wanita yang menjalani janji yang dia ucapkan karena baginya menikah adalah janji yang akan dijalani seumur hidup dan itu sudah dia lakukan meski
“Udahlah, jangan seperti anak kecil,” kata Amara. Sejak kepulangan Satria dari rumah sakit dan setelah mendengar kabar bahwa dirinya dinyatakan tidak subur, Satria sangat sensitive. “Kita pergi yang jauh dari sini agar tidak ketemu Abian.”“Iya, nanti kalau kamu sudah sembuh, kita pergi jauh dari sini.”Andai bisa mengubur semua kenangan buruk itu, Amara ingin menguburnya dan orang-orang ikut melupakannya. Sungguh, dia tidak mau tetap berada dalam bayangan lima tahun itu, dia hanya ingin hidup tenang seperti pasangan suami istri lainnya. Satria yang masih anti pati setiap kali Abian datang masih membuatnya risih ditambah masalah anak yang seharunya tidak perlu dikhawatirkan Satria karena Amara tidak memikirkan soal anak saat ini, dia masih ingin menikmati kebersamaannya dengan Satria, terlalu banyak hal yang ingin dia selesaikan sebelum dia mengikat terlalu kencang pernikahannya.Amara mengambil salep setelah membersihkan punggung Satria mengelapinya dengan handuk lalu mengoleskan s
Kisah cinta Abian yang begitu rumit akhirnya mengatarkannya pada wanita yang kini di hadapannya, wanita yang dia kenal sejak pertama kali menapakkan karirnya di perusahaan ayahnya tanpa melalui proses dari awal karena Abian adalah puntra mahkota yang secara otomatis menduduki jabatan tertinggi di perusahaan. Namun demikian, Abian bukannya tidak mampu mengelola perusahaan, sejak kecil dia sudah belajar tentang bisnis, kehidupan remajanya sudah sangat monoton, tidak seperti teman-teman sebayanya yang menikmati kehidupan remajanya dengan pencarian jati diri.Berawal dari chat random, dia akhirnya berkenalan dengan Felicia dan dari perkenalan itu mereka semakin lama semakin dekat dan akhirnya Abian menjatuhkan pilihan pada gadis itu.Bagi Abian, Felicia adalah wanita paling cantik yang pernah ditemui, tidak bisa dipungkiri karena Felicia memang punya pesona yang memabukkan, tapi sialnya, hubungannya tidak bisa bertahan lama. Saat dia sedang gila-gilanya dengan Felicia, dia dijodohkan deng
“Kita nikah kapan, Pak?” tanya Stevani. Wanita itu meletakkan beberapa berkas yang perlu ditanda tangani oleh Abian. Lelaki yang yang ditumbuhi rambut halus di jenggot hingga pipi itu mengerutkan keningnya. “Ngebet banget,” jawab Abian dengan senyum tipis tersungging di sana.“Bukan saya yang ngebet, tapi orang tua saya, Pak.” Stevani menjauhi meja kerja Abian lalu mengempaskan tubuhnya di sofa panjang di ruangan itu.“Memangnya apa tujuan orang tuamu mempercepat pernikahan kita?”“Ya, biar aku nggak dibilang perawan tua dan biar aku segera punya ….” Stevani menggeleng, dia pikir pernikahan dengan Abian hanya saling membutuhkan saja. Dia akan terbebas dari tuntutan menikah dan mungkin juga jika Abian mau menyentuhnya dia akan mendapatkan anak, setelah itu terserah Abian mau melakukan apa, berpisah pun dia tidak keberatan.Hidup sesimpel itu, Stevani tidak akan membawa perasaannya dalam pernikahan nanti. Jika bisa bahagia dengan cara sendiri, kenapa harus menggantungkan kebahagiaanny
Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s
“Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m
Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan
“Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”
“Aku yakin Mama yang merencanakan semua ini.”“Diam kamu Abi.”Abian menggeleng melihat kelakuan ibunya yang sudah tidak bisa dia cerna dengan akal sehat. Entah kepercayaan apa yang tertanam dalam pikiran ibunya dari dulu hingga kini tetap berpikir primitive.“Makanya Mama itu belajar sama ustaz, bukan sama guru spiritual. Guru spiritual itu sama dengan dukun. Mama tahu seberapa besar dosa orang yang mendatangi dukun?”“Sudah, jangan ceramah. Salat saja bolong-bolong malah ceramahin Mama. Sana belajar agama dulu sebelum ceramah.”Abian lantas meninggalkan ibunya, dia tidak mau peduli lagi karena capek jika berdebat dengan ibunya. Sejak dulu saat dia memprotes kenapa ibunya selalu membedakannya dengan adiknya, selalu saja jawabannya bahwa Satria adalah anak pembawa sial yang harus disingkirkan.Apa mungkin ini yang dimaksud ibunya? Bukankah beberapa waktu yang lalu ibunya sudah menerima Satria?Semakin dipikir membuat Abian pusin sendiri. Biarlah itu menjadi masalah ibu dan adiknya, ya
“Kamu tahu ‘kan kalau sejak dulu Mama tidak terlalu peduli padaku?” “Bukan tidak peduli, Sayang. Orang tua itu punya cara berbeda mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya. Mungkin bagi Mama kamu cukup mandiri hingga Mama tidak terlalu mengkhawatirkanmu dan terbukti ‘kan kamu bisa mandiri tanpa bantuan mereka.”Amara mengusap bahu suaminya lalu duduk di sebelah lelaki itu.“Itu salah satu alasan. Ada alasan lain yang membuat Mama tidak terlalu mempedulikanku. Mama yang bilang setelah kita periksa waktu itu dan aku mulai berpikir bahwa ini adalah karma yang keluargaku lakukan di masa lalu.” Lelaki itu menggusah napasnya kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.“Karma?” Amara mengerutkan keningnya lantas meraih tangan suaminya. “Dalam agama kita tidak ada yang namanya karma. Apa kamu pernah lihat orang jahat hidupnya senang terus? Itu karena balasan dari perbuatan manusia itu nanti saat manusia telah mati. Di dunia itu hanyalah ujian.”“Tapi, Ra. Kesalahan keluarga kami sa
Felicia kali ini merasa menang, entah kenapa dia merasa berkali-kali mendapat dukungan semesta andai apa yang dia lakukan mendapatkan balasan, nyatanya dia masih tetap beruntung dan Abian yang telah dia bodohi kembali masuk perangkap dan dia yang beruntung.“Fel, thanks ya, kamu sudah membantuku. Tanpa kamu aku tidak bisa membalas mereka.”“Kamu ‘kan tahu kemampuanku, makanya jangan remehkan aku.” Felicia mengerucutkan bibirnya, tangannya bersendekap.“Iya, iya. Aku tidak akan meragukan kemampuanmu. Aku akan turuti apa pun yang kamu mau. Aku puas benget melihat Ferdian sudah jadi mayat.”Felicia hanya memberi tahu keberadaan Ferdian, tapi dia mendapatkan bonus kabar kalau Ferdian sudah membusuk di tempat persembunyiannya. Dia masih ingat dulu sering dijadikan alat oleh Ferdian untuk menjebak Abian, seingatnya tiga kali dia melakukan itu dan dalam hati kecilnya dia tidak tega melihat Abian menderita karena ulahnya.Bagaimana pun juga dia punya hati. Dia pernah mencintai Abian dan tidak
"Pasti ada masalah di sana, Ferdi pasti belum ke luar dari sana." Satria berjalan mondar-mandir setelah mengetahui tidak ada penerbangan atas nama Ferdian. Mereka memperkirakan Ferdian pasti akan ke Singapura setelah ketahuan, mereka tahu ke mana Ferdian akan bersembunyi."Coba Papa tanyakan Om Antony," kata Abian.Sejak penggrebekan Ferdian di salah satu rumah persembunyian Ferdian, mereka menunggu dengan cemas lelaki itu. Bagiamana pun juga mereka tidak mau Ferdian dalam bahaya, setidaknya jika dipenjara itu lebih aman.Kabar di lapangan Ferdian kabur dan setelah ditelusuri tidak ada jejak penerbangan atas nama Ferdian dan mobil Ferdian masih berada di sana."Ommu tidak tahu kabar Ferdi, mereka juga mencari," kata Atmaja menginformasi. "Pa, apa mungkin Ferdi terjebak di dalam rumah?" Satria mulai mencurigai karena yang dia tahu dari informasi anak buahnya, ada ruangan khusus bawah tanah yang menghubungkan ke arah dekat dermaga. Kemungkinan Ferdian berlayar juga bisa dipertimbangkan
"Abi, tolong bantu aku." Sebenarnya Felicia malu meminta bantuan pada Abian, dia malu karena telah beberapa kali menyakiti lelaki itu. Mengkhianati dan juga mempermainkan lelaki itu. Entah kemana urat malunya dia tanggalkan, dia hanya tidak bisa melakukannya sendiri. Dia masih berharap Abian mau menolongnya, setidaknya meski lelaki itu kemungkinan besar akan menghardiknya, tidak mengapa, Abian tidak akan tega membiarkannya, apalagi saat ini Felicia dalam keadaan terpuruk, ada beberapa luka memar di tangannya. "Memangnya apa yang dilakukan Nathan?" tanya lelaki itu.Felicia menunduk, dia mencoba menutupi lengannya yang terbuka, ada bekas cakaran di sana, entah bagaimana Nathan melakukannya."Ini semua karena Ferdian, dia yang membuat mood Nathan jadi buruk," jawab Felicia. Lelaki itu tersenyum sinis menatap felicia, kakinya disilangkan dan kedua tangannya bersendekap. Sungguh, lelaki itu tampak puas melihat penderitaan Felicia.Meski Felicia sudah memprediksi apa yang akan dilakukan