Setelah makan siang, aku bersiap-siap untuk pergi menemui dokter bersama mama. Aku menyisir rambutku sambil berkaca di depan cermin. Kupandang diriku yang mengenakan baju kaus bermotif garis hitam putih.Bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman simpul. Walaupun aku tersenyum, pandangan mataku berkata lain. Pandangan mataku terlihat sayu, seperti orang sedih atau orang yang kehilangan semangat di dalam kehidupannya. Tiba-tiba terdengar suara mama memanggilku. "Freya, ayo cepat."Sontak aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati mama berdiri di ambang pintu kamarku. Dia menyilangkan tangannya di dada dan menatapku dengan intens. Tatapan matanya yang intens seolah-olah menyuruhku untuk segera menyelesaikan kegiatanku.Aku memalingkan mukaku dari mama lalu lanjut menyisir rambutku. Setelah selesai merapikan rambutku, aku mengambil sebuah tas selempang dari lemari bajuku, lalu memasukkan telepon pintarku ke dalam tas berwarna pink itu.Melihat aku sudah selesai bersiap-siap, mama
"Kalau begitu, kenapa dulu kamu tidak bawa dia ke dokter?" Mama membalas perkataan papa dengan sebuah pertanyaan yang tajam.Mendengar pertanyaan dari mama, papa langsung terdiam karena tidak mampu menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Kedua orang dewasa yang berdiri saling berhadapan itu melemparkan tatapan tajam kepada satu sama lain.Aku hanya menatap mama dan papa secara bergantian dengan bete. Aku yakin mereka akan bertengkar lagi, seperti tadi malam. 'Padahal mereka baru saja bertengkar kemarin malam, sekarang mau bertengkar lagi? Tidak bosan apa?'"Kenapa tidak menjawab? Sekarang kamu sadar kalau yang salah bukan hanya aku saja?" tanya mama kepada papa lagi.Sebelum pertengkaran mereka meletus, aku memutuskan untuk segera pergi dari tempat yang akan menjadi medan perang ini. Kulangkahkan kakiku menuju kamar tidurku, meninggalkan kedua orang tuaku di ruang tamu.Aku mengganti bajuku ke baju yang lebih nyaman dipakai lalu mengisi waktu luang ini dengan bermain game online
"Freya Renata," panggil asisten dokter.Aku dan mama langsung bangkit dari bangku lalu berjalan memasuki ruang praktik. Ruangan ini terlihat sepi karena minim perabotan di dalamnya, hanya ada sebuah ranjang dan sebuah mesin yang berukuran cukup besar."Silakan baring," ujar asisten dokter sambil mengarahkan telapak tangan kanannya ke ranjang yang berada di sisi kiri ruangan.Aku pun melangkahkan kakiku menuju ranjang pasien lalu berbaring di atasnya. Saat aku memandang ke depan, kulihat seorang pria berjas putih keluar dari pintu yang berada di sisi kanan ruangan ini.Sebelum pemeriksaan dimulai, mama menjelaskan keadaanku kepada dokter terlebih dahulu, dokter juga mendengarkan suara detak jantungku dengan menggunakan stetoskop. Setelah mendengarkan keadaanku, dokter beserta asistennya mulai memeriksaku."Tolong dibuka bajunya, Dik. Bra-nya juga dibuka, ya," pinta asisten dokter kepadaku.Aku membelalakkan mataku saat mendengar permintaan itu. Aku enggan membuka bajuku di hadapan oran
2 hari telah berlalu sejak aku diperiksakan ke dokter spesialis jantung. Hari ini, aku dan mama akan memeriksakan kondisi jantungku lagi di rumah sakit. Pagi-pagi sekali, tentunya sesudah sarapan, kami langsung berangkat ke RSUD yang berjarak lumayan jauh dari rumah.Tak lama setelah sampai di rumah sakit, aku diarahkan ke ruang radiologi untuk melakukan rontgen. Sesudah melewati pemeriksaan sinar-X di dadaku, aku diarahkan ke ruang tunggu poli jantung. Aku dan mama disuruh menunggu dokter memeriksa pasien lain sebelum dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu.Aku mengatupkan tanganku yang dingin dan memainkan jemariku. Sepertinya aku sangat gugup sampai-sampai telapak tangan beserta jemariku terasa dingin, seperti habis masuk kulkas."Anak Freya Renata." Kudengar namaku dipanggil dari speaker yang terpasang di atas pintu ruang poli jantung.Aku dan mama pun bangkit dari bangku lalu melangkah memasuki ruangan yang lumayan luas ini. Terdapat ada 4 ranjang berjejer rapi di dalam ruangan
Keesokan harinya, Natal pun telah tiba. Biasanya kami pasti menikmati hari ini dengan berkumpul bersama keluarga dan makan-makan bersama, tetapi tidak dengan natal kali ini. Aku, mama, dan papa sibuk mengepak barang yang akan dibawa saat berangkat nanti.Aku membantu mama memasukkan pakaian dan barang lainnya ke dalam koper. Selama mengepak barang, mama asik berteleponan dengan kakak laki-lakinya yang tinggal di kota lain. Untung saja paman berbaik hati mau menampung kami di rumahnya selama beberapa hari.Setelah selesai mengepak barang-barang kami, aku kembali ke kamarku dan beristirahat. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang dan memejamkan kedua mataku. Akhir-akhir ini ada banyak hal yang terjadi sehingga membuatku lelah fisik maupun batin.Kubuka kedua mataku dan memandang kosong langit-langit kamarku yang berwarna putih. 3 hari lagi, aku tidak akan tinggal di sini lagi juga tidak akan melihat wajah ayah dan kakak selama beberapa hari.Sebuah hembusan napas panjang keluar dari mulutku
Keesokan harinya, paman dan tante mengajak aku dan mama untuk pergi berwisata ke Jawa Timur Park 2, atau yang biasa disebut sebagai Jatim Park 2. Tempat itu sangat menarik karena berisikan hewan-hewan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Hari ini benar-benar menyenangkan karena aku bisa bersenang-senang dengan bebas, tanpa dikekang oleh bayang-bayang masalah yang membebaniku. Sayang sekali ada beberapa wahana yang tidak bisa kunaiki karena penderita penyakit jantung dilarang untuk menaikinya.Aku memandang kereta roller coaster yang meluncur di jalurnya dengan cepat. Suara teriakan orang-orang yang menaiki wahana itu kedengaran sampai di tempatku yang berada tak begitu jauh dari sana.Perasaan iri dan kesal mulai timbul di dalam hatiku saat memandang orang lain menaiki wahana itu. 'Padahal aku sangat ingin mencoba menaiki roller coaster sekali saja ... 'kan belum tentu aku punya penyakit jantung.'"Kalau kamu melamun terus, nanti Mama tinggal lho," ujar mama memperingatkanku.Sontak
Mama memperlihatkan hasil rontgen dadaku lalu menjelaskan kondisiku kepada dokter. Pria berambut putih itu pun menyimak penjelasan mama dan memperhatikan hasil rontgen yang diperlihatkan kepadanya."Kelihatannya jantungnya tidak bermasalah, tidak bengkak sama sekali," gumam dokter dengan mata yang terfokus pada kertas berwarna hitam putih di tangannya.Dia mengembalikan hasil rontgenku lalu menyuruhku untuk mengukur berat badanku. Aku pun menuruti perintahnya walaupun heran mengapa dia menyuruhku untuk menimbang berat badanku. 'Memang apa hubungannya berat badan sama penyakit jantung?'"39 kg? Ceking banget kamu," komentar dokter mengenai berat badanku.Aku turun dari atas timbangan badan tanpa mengatakan apa-apa. Aku merasa malu karena dikatai ceking a.k.a kurus kering. Aku tidak bisa membantahnya karena apa yang dikatakannya memang benar. Seharusnya berat badan idealku adalah 50 kg."Baring di atas ranjang," perintah dokter sambil mengarahkan tangan kanannya ke ranjang pasien berwar
Siang ini, aku, mama, dan tante pergi ke supermarket. Kali ini paman tidak ikut berpergian bersama kami karena ada urusan kantor. Kami bertiga pergi ke pasar swalayan untuk belanja bahan makanan dan buah-buahan.Aku berdiri mematung di hadapan rak yang memajang makanan-makanan ringan dan manis. Makanan ringan yang dijual di supermarket kota ini lebih lengkap dan beragam daripada di kota asalku. Ada banyak yang baru pertama kali kulihat dan ingin kucoba.Pandanganku terfokus pada jajanan manis yang biasa disebut sebagai rambut nenek. Jajanan itu dikemas di dalam kemasan plastik sehingga tetap higienis. Ini pertama kalinya aku melihat rambut nenek secara langsung, biasanya aku hanya melihatnya melalui internet."Lagi lihatin apa, Freya?" tanya mama yang berjalan menghampiriku sambil mendorong troli."Rambut nenek," jawabku sambil mengarahkan jari telunjukku ke jajanan berwarna pink itu.Mama pun melirik ke arah jajanan jadul itu. "Oh, gulali."Di tempat kami, rambut nenek memiliki bentu
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang