Liu Feng berjalan perlahan di jalan setapak yang hampir tertutup kabut tebal. Udara di sekitarnya dingin dan berat, seolah menekan paru-parunya dengan setiap langkah yang ia ambil. Di kejauhan, suara angin menderu seperti bisikan makhluk-makhluk yang mengintai dari balik bayangan. Tempat ini adalah perbatasan antara Lembah Kaisar Takdir dan wilayah kegelapan yang disebut "Batas Kegelapan."“Ini tempat yang menyeramkan,” gumam Wu Lan, sahabat setianya yang berjalan di samping. Ia menggenggam gagang pedangnya erat, matanya terus bergerak mencari tanda bahaya.“Berhati-hatilah,” ujar Shen Tao yang berjalan di depan mereka. Mantan pengelana legendaris itu tampak waspada, matanya menyipit seolah mencoba menembus kabut. "Tempat ini adalah daerah tak bertuan. Banyak yang memasuki Batas Kegelapan, tapi hampir tak ada yang kembali."Liu Feng mengangguk. Ia tahu betul bahwa tempat ini adalah ujian baru dalam perjalanannya. Batas Kegelapan tidak hanya dikenal karena bahayanya, tetapi juga karena
Liu Feng berdiri diam, matanya menatap tajam pada wanita berambut putih di hadapannya. Kehadirannya begitu mencolok di tengah kehancuran kota. Aura dingin yang memancar darinya membuat suasana di sekeliling semakin mencekam. Wu Lan di sisinya menggenggam pedangnya erat, bersiap untuk bertindak jika keadaan memaksa. "Siapa kau?" Liu Feng akhirnya angkat bicara. Suaranya tegas, meskipun hatinya diliputi rasa penasaran dan waspada. Wanita itu tersenyum tipis, tatapannya dingin namun tidak menunjukkan permusuhan langsung. "Namaku Xue Lian," katanya dengan suara lembut namun tegas. "Aku bukan musuhmu, tapi aku juga bukan sekutumu... belum." Kata-katanya membuat Liu Feng dan Wu Lan saling bertukar pandang. Situasi ini semakin membingungkan. Namun sebelum Liu Feng sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah berat menggema di belakang mereka. Jenderal Bayangan yang memegang pedang besar bergerak maju, menatap Xue Lian dengan mata penuh kebencian. "Kau pengkhianat," desisnya, suaranya sepe
Liu Feng dan Wu Lan melangkah perlahan ke dalam lorong gelap yang baru saja mereka masuki. Udara di dalam terasa berat, seperti membawa kenangan yang terperangkap selama ribuan tahun. Dinding-dinding lorong itu dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang memancarkan cahaya lembut, memberikan penerangan yang cukup untuk mereka bergerak maju."Ini tempat apa sebenarnya?" tanya Wu Lan dengan nada bingung. Ia mengamati ukiran-ukiran itu, mencoba memahami arti di balik simbol-simbol misterius tersebut."Entahlah," jawab Liu Feng sambil mengusap salah satu ukiran. "Tapi aku merasa... tempat ini bukan sekadar lorong biasa. Ada sesuatu yang hidup di sini."Wu Lan menelan ludah. "Hidup? Maksudmu apa?"Namun sebelum Liu Feng sempat menjawab, langkah kaki aneh yang mereka dengar sebelumnya semakin mendekat. Wu Lan langsung menggenggam gagang pedangnya dengan erat, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."Siap-siap," bisik Liu Feng, matanya menatap lurus ke depan.Dari kegelapan, sosok-sosok mulai muncul.
Lorong itu dipenuhi tekanan yang menyiksa, seolah-olah udara itu sendiri ingin menghancurkan tubuh Liu Feng dan Wu Lan. Shen Tao, yang berdiri di depan mereka, memancarkan aura yang asing. Cahaya merah yang keluar dari matanya seperti bara api yang tak pernah padam, membakar tanpa henti.“Shen Tao, apa yang kau lakukan? Ini aku, Liu Feng!” seru Liu Feng sambil mengacungkan pedangnya, mencoba menahan aura mengerikan yang terpancar dari pria itu.Namun, Shen Tao tidak menjawab. Sebaliknya, ia menyerang dengan kecepatan yang tidak pernah Liu Feng duga sebelumnya. Wu Lan nyaris tidak sempat bereaksi ketika Shen Tao melompat ke arah mereka, pedangnya berkilau seperti darah.“Dia bukan Shen Tao yang kita kenal!” seru Wu Lan.Liu Feng menggertakkan giginya. Ia tahu ada yang salah. Gerakan Shen Tao terlalu agresif, terlalu... dingin. Bukan seperti pria yang dulu membimbingnya. Dengan refleks yang terlatih, ia mengangkat pedangnya, menangkis serangan mematikan yang hampir menebas lehernya.Ben
Tubuh Liu Feng melayang di udara, terjatuh ke dalam kegelapan yang tampaknya tak berujung. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan samar berputar seperti pusaran air, menyelimuti dirinya, Wu Lan, dan Shen Tao. Angin kencang menghantam wajahnya, membuatnya sulit bernapas.“Feng, hati-hati!” Wu Lan berteriak, tetapi suaranya hampir tak terdengar di tengah gemuruh yang menggelegar.Liu Feng mencoba menenangkan pikirannya. Ia memusatkan energi spiritualnya di telapak tangan, menciptakan pijakan energi untuk memperlambat kejatuhannya. “Wu Lan! Shen Tao! Gunakan energi kalian untuk mengurangi kecepatan jatuh!”Wu Lan merespons cepat, menciptakan lingkaran energi biru di sekeliling tubuhnya, melambatkannya. Namun, Shen Tao masih belum pulih sepenuhnya. Tubuhnya terus meluncur dengan kecepatan penuh ke bawah.“Shen Tao!” Liu Feng melompat ke arahnya, menangkap tubuh mentornya di udara. Dengan susah payah, ia menyalurkan energi ke dalam tubuh Shen Tao untuk melindunginya.Saat itu, sebuah cahaya r
Tangga yang menurun ke kegelapan terasa seperti tak berujung. Setiap langkah yang diambil Liu Feng, Wu Lan, dan Shen Tao semakin memperdalam rasa tegang yang menyelimuti mereka. Udara di sekitar menjadi semakin berat, dan energi yang terasa seolah-olah menarik mereka ke bawah dengan paksa.Wu Lan menggenggam tombaknya erat-erat. “Tempat ini… sepertinya dibuat untuk menjebak siapa pun yang berani masuk.”Liu Feng menoleh ke arahnya, sorot matanya penuh dengan kewaspadaan. “Jika itu memang jebakan, maka kita harus memecahkannya. Jalan satu-satunya adalah maju.”Shen Tao, yang masih terlihat lemah meski sedikit membaik, berbicara pelan. “Tangga ini menuju ke tempat yang lebih tua dari yang kita duga. Aku bisa merasakan aura para leluhur kuno… tempat ini memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan.”Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di sebuah ruangan lain. Ruangan itu berbeda dari yang sebelumnya. Dindingnya terbuat dari kristal berkilauan, dan di tengahnya terdapat sebuah kolam keci
Getaran yang mengguncang ruangan itu semakin hebat, menyebabkan serpihan-serpihan kristal jatuh dari langit-langit. Liu Feng menarik tangan Wu Lan, memaksanya untuk berlari menuju pintu keluar. Shen Tao, yang masih lemah, dibantu berdiri oleh Liu Feng.“Cepat! Kita harus keluar dari sini sebelum tempat ini benar-benar runtuh!” seru Liu Feng dengan nada mendesak.Ketiganya berlari melewati tangga yang sebelumnya mereka lalui, namun jalan itu sekarang penuh dengan retakan besar dan tumpukan batu yang menghalangi. Energi merah yang sebelumnya berasal dari kolam kini menjalar melalui dinding, menciptakan ledakan kecil yang membuat perjalanan mereka semakin berbahaya.Wu Lan, dengan nafas terengah-engah, berteriak, “Apa yang terjadi, Feng? Apa sebenarnya yang kita hancurkan?”Liu Feng menggelengkan kepala, wajahnya penuh kekhawatiran. “Aku tidak tahu! Tapi energi ini… terasa seperti sesuatu yang lebih kuat daripada yang bisa kita bayangkan.”Ketika mereka hampir mencapai pintu keluar, sebu
Cahaya rembulan menyinari lembah yang tenang, tetapi di balik ketenangan itu, gejolak besar tengah berlangsung. Liu Feng berdiri di atas puncak tebing, mengamati lembah yang dipenuhi kabut tipis. Aura ancaman terasa di udara, membuat napasnya terasa berat.“Liu Feng, kau yakin ingin turun ke sana?” suara Su Mei memecah keheningan. Gadis itu berdiri di belakangnya dengan wajah cemas. Dia tahu bahwa lembah ini bukan tempat sembarangan—legenda tentang makhluk penjaga bayangan sudah sering ia dengar sejak kecil.Liu Feng menoleh, senyum tipis di wajahnya. “Aku tidak punya pilihan, Su Mei. Jawaban atas misteri ini ada di bawah sana. Jika aku tidak mencoba, semuanya akan sia-sia.”Su Mei menggigit bibirnya, merasa tidak berdaya. “Kalau begitu, aku akan ikut denganmu.”“Tidak,” jawab Liu Feng tegas. “Ini adalah tugas yang harus aku selesaikan sendiri. Kau sudah cukup banyak membantuku. Aku tidak ingin kau terluka.”Su Mei ingin membantah, tetapi sorot mata Liu Feng yang penuh tekad membuatny
Langit masih gelap, meskipun malam sudah terasa begitu panjang. Suara langkah pasukan di lembah terdengar seperti ritme yang tak berkesudahan. Di kejauhan, cahaya yang sebelumnya menyala terang kini memudar, menyisakan hanya sisa-sisa kilatan kecil yang membingungkan siapa saja yang melihatnya. Namun, Armand tidak peduli dengan itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan, ke arah tempat Dalkar menghilang di balik bayangan.Aveline berdiri di sebelahnya, memegang pedang dengan tangan gemetar. "Armand, apa kita benar-benar akan mengejarnya? Dia... dia terlalu kuat."Armand tidak menjawab. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan ekspresi yang sulit ditebak. Amarah, ketegangan, dan mungkin sedikit rasa takut. Tetapi di balik semua itu, ada tekad yang membara."Aku tidak punya pilihan, Aveline," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar datar. "Jika aku tidak melakukannya, tidak ada yang bisa menghentikannya."Aveline terdiam. Kata-kata Armand begitu sederhana, tetapi ada kebenaran yang t
Langit kelam menjadi saksi bisu dari kehancuran yang baru saja terjadi. Lembah yang sebelumnya penuh dengan hiruk-pikuk suara pertempuran kini berubah menjadi lautan keheningan yang mencekam. Debu dan asap memenuhi udara, menyembunyikan pandangan serta menyisakan rasa takut yang mengakar dalam hati setiap orang yang masih bertahan. Armand berdiri di atas tebing kecil, tubuhnya penuh luka dan napasnya tersengal. Di depannya, pemandangan kehancuran membentang luas. Pasukan kecilnya tersebar, beberapa tertunduk lemas di tanah, sementara yang lain mencoba membantu rekan-rekannya yang terluka. Tapi satu hal yang pasti—mereka masih hidup. "Aveline!" seru Armand dengan suara serak, matanya mencari-cari sosok yang ia kenal. Dari balik reruntuhan, Aveline muncul dengan langkah tertatih, wajahnya dipenuhi kotoran dan darah. Namun matanya tetap penuh tekad. "Aku di sini," jawabnya lemah, tapi nadanya tetap tegas. Armand bergegas mendekat, membantu Aveline berdiri. "Kau baik-baik saja?" Avel
Langit di atas bentangan pegunungan mulai berubah, dari warna jingga mentari sore menjadi abu-abu kelam yang dipenuhi awan berat. Tidak ada bintang yang berani menampakkan diri, seolah kegelapan telah mengambil alih segalanya. Angin yang biasanya membawa kehangatan dan aroma dedaunan kini terasa seperti hembusan kematian, dingin dan menusuk hingga ke tulang. Armand berdiri di atas tebing, tatapannya mengarah ke lembah di bawah yang kini dipenuhi pasukan bayangan. Wajahnya yang lelah menunjukkan keteguhan hati yang tidak tergoyahkan, tetapi di balik itu, ada ketakutan yang tak bisa ia pungkiri. Bayangan dari makhluk raksasa yang baru saja mereka hadapi masih terukir dalam pikirannya. Kekuatan seperti itu melampaui apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya, dan ia tahu, pertempuran berikutnya tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga nasib dunia. "Armand." Suara lembut namun penuh ketegasan itu membuyarkan lamunannya. Aveline melangkah mendekat, wajahnya penuh luka dan noda dar
Langit di atas markas utama Persekutuan Bayangan mendung dan penuh amarah, menggambarkan konflik yang sedang berkecamuk. Di dalam ruangan besar yang dingin dan dipenuhi ukiran gelap, para pemimpin fraksi kegelapan mulai merasa sesuatu yang aneh. Udara seolah memberat, seperti beban tak terlihat menghimpit dada mereka. Namun, mereka tak menyadari bahwa itu adalah awal dari serangan balik yang sudah lama direncanakan oleh pihak terang.Sementara itu, di sudut lain, Armand berdiri di hadapan sekumpulan prajurit yang bersiap untuk melancarkan serangan. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan meski ia tahu apa yang akan mereka hadapi adalah kekuatan yang telah berakar selama ribuan tahun. Suaranya lantang memecah kebisuan, memberikan semangat kepada mereka yang mulai dirundung keraguan."Kita mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar mereka, tetapi jangan pernah lupakan satu hal: keadilan selalu menemukan jalannya. Ingat apa yang kita perjuangkan!"Kata-katanya membakar semangat pasukan yang
Kegelapan yang pekat masih melingkupi Azlan, namun kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Beban berat yang selama ini menghimpit jiwanya mulai tergeser sedikit demi sedikit oleh percikan cahaya di dalam dirinya. Di tengah pusaran kegelapan yang nyaris menelannya, suara dari dalam hatinya menggema lebih kuat. "Bangkitlah, Azlan. Ini belum berakhir." Perlahan, tubuhnya yang sebelumnya tak berdaya mulai merespons. Ia merasakan energi hangat yang mengalir dari inti jiwanya, membakar segala ketakutan dan keraguan yang membelenggu. Ia menggerakkan jarinya, lalu tangannya, hingga akhirnya seluruh tubuhnya kembali terkontrol. Meskipun gravitasi dari pusaran energi hitam masih menariknya dengan kuat, Azlan berhasil menancapkan pedangnya ke lantai untuk menahan dirinya. Suara gesekan logam dengan batu menggema, memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap makhluk itu dengan sorot mata yang penuh dengan keberanian yang baru ia temukan. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya tegas, suaranya men
Di sebuah ruang yang terpisah dari dunia fana, suasana memanas di antara berbagai elemen yang saling berseteru. Setiap inci ruangan tampak diwarnai oleh aura konflik, dengan garis-garis energi yang menghubungkan entitas-entitas kuat di dalamnya. Di tengahnya berdiri seorang pemimpin, wajahnya terukir oleh campuran keputusasaan dan determinasi yang membara.Bayangan masa lalu terlintas dalam benaknya, mengingatkan dirinya pada perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Namun, kali ini, jalan yang dia tempuh terasa lebih berat. Setiap langkah seakan-akan dipenuhi dengan duri, menguji tekadnya untuk terus maju."Apa yang sebenarnya kau cari di sini, Azlan?" suara dingin menggema dari sisi ruangan. Suara itu milik seorang wanita dengan mata yang menyala tajam seperti pisau. Dia adalah salah satu penjaga dimensi ini, seseorang yang tidak pernah gentar menghadapi ancaman apa pun.Azlan menghela napas, mencoba mengatur emosinya yang bercampur aduk. "Aku mencari kebenaran, dan aku tidak akan b
Kehancuran yang disebabkan oleh pertempuran besar itu meninggalkan jejak yang begitu nyata. Lembah yang sebelumnya penuh dengan kehidupan kini hanya menyisakan tanah hangus dan retakan yang menganga. Angin yang bertiup membawa aroma tajam abu dan debu, menciptakan suasana yang sepi dan menyesakkan. Zhao Feng berdiri di tengah kawah besar, tubuhnya dipenuhi luka dan napasnya masih tersengal. Pedang yang ia genggam kini tampak redup, seperti kehilangan sebagian besar cahayanya. Namun, meski kelelahan menyelimuti seluruh tubuhnya, tatapannya tetap terarah ke depan, mencari sesuatu. “Guru…” bisiknya pelan, namun hanya keheningan yang menjawab. Ia menurunkan pedangnya dan menghapus keringat serta darah yang menetes dari dahinya. Gurunya, yang sempat muncul di tengah pertempuran, kini menghilang seperti embun yang lenyap saat matahari terbit. Tidak ada jejak yang tersisa, tidak ada petunjuk yang menunjukkan keberadaannya. “Apakah itu hanya bayangan… ataukah benar-benar dia?” Zhao Feng m
Di dalam kegelapan yang pekat, Zhao Feng berdiri tak bergerak. Keringat dingin membasahi wajahnya, namun genggaman tangannya pada pedang suci tak goyah sedikit pun. Suara makhluk yang barusan berbicara masih menggema di pikirannya, membuat semua yang ia lakukan terasa seperti permainan yang sudah dirancang sebelumnya.Namun, meski kegelapan memeluknya dengan erat, ada cahaya kecil yang tetap bersinar dari pedangnya. Cahaya itu memancar pelan, seakan mencoba meyakinkan dirinya bahwa tidak semua telah hilang.“Aku tidak boleh berhenti di sini,” gumam Zhao Feng pada dirinya sendiri. “Jika aku menyerah sekarang, segalanya akan benar-benar berakhir.”Bayangan-bayangan yang tadi menyelimuti tempat itu mulai muncul kembali, kali ini dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Mereka tidak menyerang langsung, melainkan bergerak dengan pola yang menyerupai tarian mematikan, membuat Zhao Feng merasa semakin tertekan.Namun, di saat itu juga, sebuah suara lembut terdengar di telinganya, suara yang tak
Cahaya matahari pagi menembus dedaunan hutan yang lebat, menyinari lapisan embun yang menempel pada rumput liar. Di tengah kesunyian alam, seorang pria berdiri dengan pandangan tajam ke arah cakrawala yang dihiasi awan kelabu. Langit, seolah mencerminkan isi hatinya, tampak gelisah, bergemuruh dengan suara yang mengancam. Zhao Feng menarik napas dalam, aroma tanah basah bercampur angin dingin yang menyegarkan paru-parunya. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya penuh gejolak. Di tangannya tergenggam pedang yang tidak hanya melambangkan kekuatan, tetapi juga beban tanggung jawab yang luar biasa. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur," gumamnya pelan, tetapi cukup keras untuk didengar oleh bayangan yang bersembunyi di kejauhan. Langkah kaki terdengar dari belakang, dan suara lembut yang familiar memanggil, "Zhao Feng, apakah kau yakin dengan keputusanmu? Jalan ini akan mengubah segalanya." Luo Xue, dengan jubah putihnya yang tertiup angin, mendekat perlahan. Wajahnya yang bias