Udara semakin tegang. Suara petir yang menggelegar tak kunjung berhenti, mengiringi pusaran energi besar di atas langit. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya bagi Aveline. Matanya terpaku pada makhluk raksasa yang perlahan mendekat, langkahnya mengguncang tanah seolah bumi sendiri berteriak ketakutan.Armand tergeletak lemah di sisi Aveline, napasnya tersengal-sengal. Luka-lukanya yang dalam membuat setiap gerakan terasa seperti siksaan. Namun, meski dalam kondisi seperti itu, ia masih mencoba berbicara. "Aveline... jangan takut. Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan," ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam hiruk pikuk kekacauan di sekitar mereka.Aveline menggenggam pedangnya erat-erat. Tangannya gemetar, bukan hanya karena ketakutan tetapi juga kelelahan yang mulai menggerogoti tubuhnya. Ia tahu bahwa kekuatan makhluk di hadapannya berada di luar jangkauan mereka. Namun, ia juga tahu bahwa menyerah berarti akhir segalanya.Di kejauhan, suara seperti dentuman ge
Langit masih bergemuruh, seolah menyuarakan kekacauan yang terjadi di medan pertempuran. Sosok bercahaya yang berdiri di antara Aveline dan makhluk raksasa itu memancarkan aura yang begitu kuat, hingga udara di sekitarnya bergetar dengan intensitas yang memukau. Wajahnya tersembunyi di balik cahaya, tetapi kehadirannya memancarkan rasa tenang yang luar biasa.Aveline, yang masih terguncang oleh serangan sebelumnya, mencoba berdiri meski tubuhnya gemetar. Ia memandang sosok itu dengan mata penuh rasa ingin tahu sekaligus harapan. Siapa pun dia, jelas bahwa kehadirannya telah mengubah dinamika pertempuran ini.Makhluk raksasa itu menggeram dengan penuh amarah. "Beraninya kau menghalangi jalanku! Apa kau pikir cahaya itu cukup untuk menghentikan kegelapan abadi ini?" suaranya menggema, penuh dengan kekuatan yang menakutkan.Sosok bercahaya itu mengangkat tangannya perlahan, dan seketika udara di sekitarnya berubah. Cahaya yang terpancar dari tubuhnya mulai menyelimuti medan pertempuran,
Angin dingin malam menusuk kulit Liu Feng saat ia berdiri di tepi jurang yang menghadap lembah luas. Suara desiran angin berpadu dengan suara gemericik air terjun di kejauhan, menciptakan harmoni yang misterius namun menenangkan. Lembah itu tampak tak berujung, diterangi oleh sinar bulan yang pucat. Di kejauhan, bayangan pohon-pohon besar tampak seperti penjaga tua yang menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.Liu Feng merasakan dadanya sesak, bukan karena ketinggian atau udara dingin, tetapi karena perasaan aneh yang terus menghantuinya sejak ia tiba di tempat ini. Perasaan itu seperti panggilan, suara tanpa wujud yang berbisik lembut di telinganya, memintanya untuk melangkah lebih jauh, lebih dalam. Namun, ia tahu bahwa setiap langkah ke depan berarti meninggalkan kehidupannya yang lama—sebuah kehidupan yang sudah hancur sejak keluarganya dihabisi oleh tangan-tangan kejam orang-orang yang ia percaya.Malam ini adalah titik balik.“Apakah aku benar-benar siap untuk
Setelah menerima tawaran Shen Tao, Liu Feng berdiri di depan rumahnya untuk terakhir kalinya. Desa Batu Tenang, dengan segala kehangatannya, kini terasa terlalu kecil untuk mimpi-mimpinya. Langkahnya berat, tapi hatinya dipenuhi semangat baru. Di satu sisi, ia tahu perjalanan ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Namun di sisi lain, ia tak dapat menghilangkan rasa bersalah karena meninggalkan ayahnya yang masih memulihkan diri. "Liu Feng, kau harus percaya bahwa takdirmu ada di luar sana," ujar ayahnya saat ia berpamitan. "Pergilah, jadilah lebih dari apa yang pernah kubayangkan. Aku bangga padamu." Dengan air mata yang tertahan, Liu Feng mengikuti Shen Tao meninggalkan desa. Mereka melewati hutan, bukit, dan jalan-jalan berbatu yang sepi. Selama perjalanan, Liu Feng terus memperhatikan Shen Tao, seorang pria yang tampak tenang namun memancarkan aura kekuatan. "Shifu," Liu Feng akhirnya memberanikan diri bertanya. "Mengapa Anda memilih saya?" Shen Tao berhenti berjalan dan
Liu Feng berdiri di atas puncak tebing, memandangi hutan belantara yang terhampar di bawahnya. Angin kencang berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Meski tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang, semangatnya tetap menyala. Ia menggenggam erat pedang yang telah menemani perjalanannya sejauh ini, merasakan kekuatan baru yang mengalir perlahan di tubuhnya.“Liu Feng, fokuslah!” suara Shen Tao menggema, membuyarkan lamunannya. Mentor barunya itu berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. “Jika kau tak bisa mengendalikan energi itu, kau akan menghancurkan dirimu sendiri sebelum menghadapi lawan.”Liu Feng mengangguk tegas. Pelatihan bersama Shen Tao baru saja dimulai, tetapi ia sudah merasakan tekanannya. Tidak ada kelonggaran dalam metode Shen Tao. Setiap gerakan salah dihukum dengan keras, setiap keraguan dianggap kelemahan. Namun, Liu Feng tahu bahwa semua itu dilakukan demi mengasahnya menjadi lebih kuat.Hari itu, Shen Ta
Liu Feng melangkah meninggalkan lembah dengan tubuh yang masih terasa berat. Pertarungan melawan makhluk besar semalam masih membekas di pikirannya. Luka-luka kecil di lengannya terasa perih, tetapi ia tidak mengeluh. Baginya, rasa sakit itu adalah bukti bahwa ia telah melewati ujian pertamanya."Langkah pertamamu sudah berhasil," ujar Shen Tao sambil berjalan di depan, tangannya menggenggam tongkat kayu yang digunakan untuk menyingkirkan ranting dan dedaunan. "Namun, kau harus ingat, ini baru awal dari pelatihanmu. Energi Roh Api itu tidak stabil. Jika kau tidak mempelajari cara mengendalikannya, maka energi itu bisa menghancurkanmu kapan saja."Liu Feng hanya mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh—sebuah keyakinan bahwa ia bisa mengatasi apa pun yang datang.Mereka akhirnya tiba di sebuah hutan bambu yang lebat. Suara gemerisik angin di antara batang bambu menciptakan harmoni yang menenangkan, tetapi Shen Tao tidak
Hutan bambu yang awalnya terasa menenangkan kini berubah menjadi tempat yang penuh misteri. Suara angin yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi jeritan halus yang menggema di telinga Liu Feng. Malam semakin larut, dan kegelapan mulai melingkupi tempat itu. Liu Feng duduk di depan rumah tua, matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang bergoyang tertiup angin."Apa yang kau pikirkan?" suara Shen Tao tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Pria itu berdiri di depan pintu, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya redup. Wajahnya terlihat serius, seolah ia merasakan sesuatu yang tidak biasa."Aku merasa... ada sesuatu yang salah," jawab Liu Feng. "Hutan ini terasa berbeda, seperti sedang memperhatikan kita."Shen Tao menghela napas panjang. "Kau tidak salah. Hutan ini memang memiliki kehidupan sendiri. Namun, yang membuatku khawatir adalah kehadiran energi asing yang aku rasakan sejak tadi sore.""Energi asing?" Liu Feng mengerutkan kening. "Apa itu berarti ada seseorang atau sesuatu d
Fajar mulai menyingsing, menyingkirkan sisa-sisa kegelapan malam. Sinar matahari pertama memantul di dedaunan hutan bambu, menciptakan kilauan yang indah namun tidak cukup untuk mengusir perasaan gelisah di hati Liu Feng. Ia terus memandangi tanda hitam yang kini menghiasi lengannya, merasakan denyutan aneh yang seolah memiliki kehidupan sendiri. "Shen Tao," panggil Liu Feng dengan suara pelan, namun penuh kecemasan. "Apa sebenarnya tanda ini? Mengapa aku bisa merasakannya seperti darah yang mengalir di nadiku?" Shen Tao tidak langsung menjawab. Pria itu duduk di sebuah batu besar, matanya menatap kosong ke arah pepohonan. Sepertinya ia tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Tanda itu bukan hal yang seharusnya muncul begitu saja," ucap Shen Tao dengan nada serius. "Hanya mereka yang telah bersentuhan dengan energi kegelapan terdalam yang bisa memiliki tanda seperti itu." Liu Feng terkejut mendengarnya. "Energi kegelapan? Tapi aku
Langit masih bergemuruh, seolah menyuarakan kekacauan yang terjadi di medan pertempuran. Sosok bercahaya yang berdiri di antara Aveline dan makhluk raksasa itu memancarkan aura yang begitu kuat, hingga udara di sekitarnya bergetar dengan intensitas yang memukau. Wajahnya tersembunyi di balik cahaya, tetapi kehadirannya memancarkan rasa tenang yang luar biasa.Aveline, yang masih terguncang oleh serangan sebelumnya, mencoba berdiri meski tubuhnya gemetar. Ia memandang sosok itu dengan mata penuh rasa ingin tahu sekaligus harapan. Siapa pun dia, jelas bahwa kehadirannya telah mengubah dinamika pertempuran ini.Makhluk raksasa itu menggeram dengan penuh amarah. "Beraninya kau menghalangi jalanku! Apa kau pikir cahaya itu cukup untuk menghentikan kegelapan abadi ini?" suaranya menggema, penuh dengan kekuatan yang menakutkan.Sosok bercahaya itu mengangkat tangannya perlahan, dan seketika udara di sekitarnya berubah. Cahaya yang terpancar dari tubuhnya mulai menyelimuti medan pertempuran,
Udara semakin tegang. Suara petir yang menggelegar tak kunjung berhenti, mengiringi pusaran energi besar di atas langit. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya bagi Aveline. Matanya terpaku pada makhluk raksasa yang perlahan mendekat, langkahnya mengguncang tanah seolah bumi sendiri berteriak ketakutan.Armand tergeletak lemah di sisi Aveline, napasnya tersengal-sengal. Luka-lukanya yang dalam membuat setiap gerakan terasa seperti siksaan. Namun, meski dalam kondisi seperti itu, ia masih mencoba berbicara. "Aveline... jangan takut. Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan," ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam hiruk pikuk kekacauan di sekitar mereka.Aveline menggenggam pedangnya erat-erat. Tangannya gemetar, bukan hanya karena ketakutan tetapi juga kelelahan yang mulai menggerogoti tubuhnya. Ia tahu bahwa kekuatan makhluk di hadapannya berada di luar jangkauan mereka. Namun, ia juga tahu bahwa menyerah berarti akhir segalanya.Di kejauhan, suara seperti dentuman ge
Langit perlahan kembali tenang setelah pertarungan dahsyat yang hampir merenggut segalanya. Sisa-sisa kehancuran menyelimuti medan pertempuran. Batu-batu besar berserakan, pohon-pohon yang sebelumnya kokoh kini hanya menjadi abu hitam yang tertiup angin, dan udara masih diselimuti aroma logam yang menyengat. Namun, di tengah semua itu, sinar lembut dari bulan mulai muncul, menyapu sisa-sisa kegelapan yang tertinggal. Aveline menggenggam tangan Armand yang terkulai lemah di pangkuannya. Napas pria itu terdengar berat dan terputus-putus, tetapi ada kehangatan yang masih terasa di kulitnya. Mata Aveline dipenuhi air mata, tetapi ia menolak untuk menangis. "Kau tidak boleh menyerah, Armand," bisiknya pelan, mencoba menyuntikkan semangat kepada pria yang sudah memberikan segalanya untuk melindungi mereka. Di sekitarnya, tubuh makhluk raksasa yang menjadi sumber kehancuran telah hilang, hanya menyisakan debu hitam yang beterbangan. Jejak pertempuran itu masih terasa jelas di udara, sepert
Langit bergemuruh tanpa henti, menciptakan suasana mencekam yang seolah mengundang kehancuran. Pusaran energi gelap menguasai cakrawala, perlahan-lahan menelan cahaya bulan yang sebelumnya menerangi tempat itu. Udara semakin berat, sarat dengan bau besi bercampur aroma sihir kuno yang menusuk indera. Tiap tarikan napas membawa ketegangan, mengingatkan bahwa di tempat ini, hidup dan mati hanya sekejap jaraknya.Armand berdiri tegap di tengah medan yang luluh lantak. Tubuhnya basah oleh keringat bercampur darah yang mengalir dari luka terbuka di lengannya. Napasnya terengah-engah, tetapi genggaman pada pedang di tangannya tetap kokoh, meskipun bilah itu telah retak akibat pertempuran. Di hadapannya, sesosok raksasa dengan tubuh hitam berkilauan berdiri penuh wibawa, menatapnya dengan mata merah yang memancarkan kebencian mendalam. Tiap gerakan makhluk itu mengguncang tanah, seperti gempa kecil yang merambat hingga ke ujung medan.“Aveline, kau masih di sana?” Armand berseru tanpa menole
Langit yang pekat di atas lembah mulai dihiasi kilatan cahaya dari benturan senjata dan sihir yang menggelegar. Armand melangkah maju di tengah gelombang kegelapan, matanya fokus pada makhluk raksasa yang kini berdiri tegak di depan gerbang. Pedangnya yang bercahaya seperti obor di tengah malam menebas apa pun yang mendekatinya. Setiap langkahnya terasa seperti pertarungan melawan gravitasi. Bayangan yang mengelilingi mereka tidak hanya mencoba menyerang secara fisik, tetapi juga merasuki pikiran, membisikkan janji-janji manis untuk menyerah. Namun, Armand menepis semuanya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Aveline! Jangan terpisah dariku!" teriaknya saat bayangan mencoba memisahkan mereka dengan menciptakan dinding kegelapan. Aveline, yang berada di belakangnya, menghunuskan pedangnya dengan gerakan cepat. Serangan bayangan itu hanya meninggalkan retakan kecil di dinding energi yang ia ciptakan sebagai perlindungan. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Armand! Kita akan melewa
Langit masih gelap, meskipun malam sudah terasa begitu panjang. Suara langkah pasukan di lembah terdengar seperti ritme yang tak berkesudahan. Di kejauhan, cahaya yang sebelumnya menyala terang kini memudar, menyisakan hanya sisa-sisa kilatan kecil yang membingungkan siapa saja yang melihatnya. Namun, Armand tidak peduli dengan itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan, ke arah tempat Dalkar menghilang di balik bayangan.Aveline berdiri di sebelahnya, memegang pedang dengan tangan gemetar. "Armand, apa kita benar-benar akan mengejarnya? Dia... dia terlalu kuat."Armand tidak menjawab. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan ekspresi yang sulit ditebak. Amarah, ketegangan, dan mungkin sedikit rasa takut. Tetapi di balik semua itu, ada tekad yang membara."Aku tidak punya pilihan, Aveline," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar datar. "Jika aku tidak melakukannya, tidak ada yang bisa menghentikannya."Aveline terdiam. Kata-kata Armand begitu sederhana, tetapi ada kebenaran yang t
Langit kelam menjadi saksi bisu dari kehancuran yang baru saja terjadi. Lembah yang sebelumnya penuh dengan hiruk-pikuk suara pertempuran kini berubah menjadi lautan keheningan yang mencekam. Debu dan asap memenuhi udara, menyembunyikan pandangan serta menyisakan rasa takut yang mengakar dalam hati setiap orang yang masih bertahan. Armand berdiri di atas tebing kecil, tubuhnya penuh luka dan napasnya tersengal. Di depannya, pemandangan kehancuran membentang luas. Pasukan kecilnya tersebar, beberapa tertunduk lemas di tanah, sementara yang lain mencoba membantu rekan-rekannya yang terluka. Tapi satu hal yang pasti—mereka masih hidup. "Aveline!" seru Armand dengan suara serak, matanya mencari-cari sosok yang ia kenal. Dari balik reruntuhan, Aveline muncul dengan langkah tertatih, wajahnya dipenuhi kotoran dan darah. Namun matanya tetap penuh tekad. "Aku di sini," jawabnya lemah, tapi nadanya tetap tegas. Armand bergegas mendekat, membantu Aveline berdiri. "Kau baik-baik saja?" Avel
Langit di atas bentangan pegunungan mulai berubah, dari warna jingga mentari sore menjadi abu-abu kelam yang dipenuhi awan berat. Tidak ada bintang yang berani menampakkan diri, seolah kegelapan telah mengambil alih segalanya. Angin yang biasanya membawa kehangatan dan aroma dedaunan kini terasa seperti hembusan kematian, dingin dan menusuk hingga ke tulang. Armand berdiri di atas tebing, tatapannya mengarah ke lembah di bawah yang kini dipenuhi pasukan bayangan. Wajahnya yang lelah menunjukkan keteguhan hati yang tidak tergoyahkan, tetapi di balik itu, ada ketakutan yang tak bisa ia pungkiri. Bayangan dari makhluk raksasa yang baru saja mereka hadapi masih terukir dalam pikirannya. Kekuatan seperti itu melampaui apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya, dan ia tahu, pertempuran berikutnya tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga nasib dunia. "Armand." Suara lembut namun penuh ketegasan itu membuyarkan lamunannya. Aveline melangkah mendekat, wajahnya penuh luka dan noda dar
Langit di atas markas utama Persekutuan Bayangan mendung dan penuh amarah, menggambarkan konflik yang sedang berkecamuk. Di dalam ruangan besar yang dingin dan dipenuhi ukiran gelap, para pemimpin fraksi kegelapan mulai merasa sesuatu yang aneh. Udara seolah memberat, seperti beban tak terlihat menghimpit dada mereka. Namun, mereka tak menyadari bahwa itu adalah awal dari serangan balik yang sudah lama direncanakan oleh pihak terang.Sementara itu, di sudut lain, Armand berdiri di hadapan sekumpulan prajurit yang bersiap untuk melancarkan serangan. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan meski ia tahu apa yang akan mereka hadapi adalah kekuatan yang telah berakar selama ribuan tahun. Suaranya lantang memecah kebisuan, memberikan semangat kepada mereka yang mulai dirundung keraguan."Kita mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar mereka, tetapi jangan pernah lupakan satu hal: keadilan selalu menemukan jalannya. Ingat apa yang kita perjuangkan!"Kata-katanya membakar semangat pasukan yang