"Mami, napa malem cekali puangnya." rengek Gagah, saat ia baru sampai di teras rumah. Bocah cilik itu sudah menunggunya. Ganis berjongkok, mengimbangi tinggi tubuh Gagah. "Iya sayang, Mami lagi banyak kerjaan di kantor. Kenapa Gagah ada di luar, menunggu Mami, ya?" Tangan Ganis terulur mengelus pipinya dengan penuh rasa sayang. Gagah langsung memeluk leher ibunya. "Gagah bocan, nunggu Mami puang." Tubuh bocah kecil itu segera diangkat, meletakkan bokong gempalnya di pinggang, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. "Sayang, sudah makan sama eyang, kan?" tanya Ganis. Duduk di ruang tamu menaruh tas di meja. "Udah, Mami." Anak itu menatap maminya."Mami cape, ya?" "Rasa capek Mami ilang kalau sudah liat Gagah cakep begini." Ya! Siapapun yang melihatnya, bila mengenal Prana tentu tidak akan menyangsikan, siapa ayahnya. Wajah Prana tergambar jelas di raut muka Gagah.Dengan penuh sayang, Gagah menciumi maminya. Dari pipi, kening, hidung hingga bibir. Ganis tertawa melihat bibir Gagah y
"Mami … Cini! Temenin Gagah." ajak Gagah, di tengah-tengah bola berwarna-warni. Mereka melanjutkan bermain, selepas dari kolam renang. Ke sebuah tempat bermain anak-anak, di mall yang pernah mereka kunjungi waktu itu.Meski lelah, tapi akhirnya Ganis turun juga. Mengikuti pergerakan anaknya yang tidak pernah bisa diam."Gagah udahan, yuk? Kita makan dulu. Mami udah laper nih." bujuk Ganis."Bental lagi Mami, Gagah macih mau main." teriaknya, masih belum beranjak dari mandi bola."Gagah udah berenang, udah perosotan, lagi mandi bola juga, udah capek. Makan dulu, yuk!" bujuk Ganis lagi."Ah, Mami ... Gagah belum lapel." Gagah malah berlari menjauh."Kalau lagi main pasti gak kerasa laper, maunya main terus." Ganis menghampiri tubuh anaknya, tetapi bocah itu malah berlari lagi sambil tertawa. Banyak anak-anak lain sedang bermain bersamanya."Di cini banyak temen, di lumah hanya cendilian mainnya." Cemberutnya, saat tubuh kecilnya berhasil diambil oleh Ganis."Tapi kalau Mami libur, kan
Sepanjang perjalanan sampai ke rumah, Gagah masih tertidur. Sesudah meletakan tubuh anaknya di tempat tidur, Ganis memperkenalkan Mila pada Naning."Bu, ini Mila yang pernah Ganis ceritakan. Yang memasukan kerja ke perusahaan itu lo, Bu." "Oh, iya. Terima kasih sudah membantu Ganis, ya, Nak Mila." kata Naning sambil bersalaman."Ganis memang terbaik saat di kelas, Bu. Jadi, saat ada perusahaan mencari orang saya keingetan sama Ganis." jawab Mila, tersenyum ramah."Yah, dua tahun terakhir kuliah memang Ganis sepertinya tidak banyak berteman. Tidak ada lagi teman yang diajak ke rumah.""Ganis terlalu fokus sama kuliah, Bu. Tapi bukan temen yang sombong juga kok. Hanya sedikit membatasi diri, mungkin karena keadaan saat itu." bela Mila, sangat pengertian.Ibunya mengangguk. "Silahkan dilanjut ngobrolnya, ibu mau istirahat dulu sebentar mumpung Gagah tertidur." ijin ibu Naning, masuk ke kamar.Mereka duduk di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga. Rumah kontrakan itu tidak begitu be
Saat Prana mencium bibir Ganis, ia tidak mampu menghindarinya. Mereka berciuman dengan hati yang sama-sama sakit. Air Mata kering karena kecupan-kecupan Prana di wajahnya. "Jangan ucapkan kata cerai lagi, karena itu suatu hal yang mustahil aku lakukan. Aku hanya ingin melihat sampai batas mana kamu akan terus menjadi wanita yang suka menggoda pria." Ciumannya agak kasar, lalu melepaskannya. "Bodohnya! Aku juga selalu tergoda olehmu, Ganis!" erang Prana, penuh dengan kekesalan. Namun anehnya, malah dia sendiri semakin merapatkan tubuhnya. Ciuman Prana semakin dalam, bercampur rasa frustasi yang membuat dia kian menggila. Tangannya sudah tidak di wajah Ganis lagi, tetapi sudah berada di dada. Meraba, mengelus, hingga Ganis ikutan untuk mengerang. "Pran, hentikan ...! Jangan begini, kamu tidak pernah berbuat kasar, kamu menyakitiku." rintih Ganis kemudian, setengah menangis lagi. Untuk sesaat Prana terdiam. Ia memandang wajah yang penuh berurai air mata. "Aku mengenalmu sebagai lela
Sekretaris Prana, Siscka. Memasuki ruang kantor, untuk memberitahukan jadwal keberangkatan ke Timika. "Bapak kan, mintanya yang langsung dari Jakarta ke Timika tanpa transit. Itu ada, Pak. Tapi perginya tengah malam dan sampainya pagi." kata Siscka menjelaskan. "Boleh, itu ambil. Pesankan tiketnya." jawabnya singkat. "Baik, Pak. Saya akan urus secepatnya." Siscka meninggalkan ruangan.. Prana memang suka bersikap seperlunya. Tidak pernah banyak bicara, to the point, dan sangat disiplin. Dari itu sebagai sekretarisnya, Siscka bekerja dengan patuh tidak ada peluang untuk bersikap lebih. Bahkan tubuhnya yang bohay saja, tidak membuat Prana bergeming. Tetap dingin dan tidak tersentuh.Ganis, Aldy, Bram dan beberapa yang lain, sudah diberitahukan mengenai jadwal keberangkatan mereka. Menjelang tengah malam, mereka harus sudah bersiap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sementara Felix ngotot untuk menjemput Ganis, dua jam sebelum jadwal keberangkatan. Jadilah Ganis di antar Felix
Mereka sudah sampai di pintu gerbang Komplek Kuala Kencana. Ada pemeriksaan yang ketat, oleh petugas keamanan di checkpoint perbatasan Timika Kuala-Kencana. Di depan ada gapura dan taman instalansi ucapan selamat datang, yang di rancang dengan sangat indah. Tampak patung-patung kayu khas etnik Papua, berdiri kokoh menambah jati diri wilayahnya. Jalanan lebar beraspal sempurna, dengan di samping terhampar luas hutan hujan tropis yang memikat pandangan mata. Lingkungan yang sangat bersih terawat dengan baik, dengan tatanan lingkup perumahan yang sangat tertata dengan rapi. Ganis tidak melepaskan pandangannya pada sekitar. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, dalam diam tanpa pertanyaan. Hingga tiba di sebuah rumah elit yang berderet rapi. Tidak berdempetan, tetapi ada halaman di samping kiri-kanan dan di depannya. Dengan model bangunan yang sama, begitupun dengan cat rumahnya. Ketika turun, mereka disambut langsung oleh pak Bob Peter Obie bersama beberapa orang lainnya. Dengan
Dalam ruangan gelap, kedua orang terdiam untuk sesaat. Hanya terdengar detak jantung mereka.Setelah dirasa tubuh Ganis melentur tidak tegang lagi, secara perlahan Prana melepaskan bekapan di mulutnya.Ganis segera membalikkan tubuh. Ingin benar-benar memastikan kalau orang yang dihadapannya ini, adalah Prana.Walau dalam gelap Ganis dapat mengenali, terutama saat mencium aroma tubuhnya."Mengapa kamu ada di sini?" bisiknya."Sepertinya sama denganmu, haus." jawab Prana."Aku mau balik lagi ke kamarku." Ia bermaksud mau pergi lagi, tetapi tangannya segera dicekal oleh Prana."Ke kamarku atau ke kamarmu?" bisik Prana dengan nada menggoda."Jangan mimpi!" semprotnya sewot."Kamu sudah menggodaku di depan semua orang di meja makan tadi siang, mau menyangkalnya?" "Aku sama sekali tidak bermaksud menggodamu." elaknya, "aku hanya terbawa candaan Aldy. Jangan berpikiran lebih.""Sifat penggodamu sudah mendarah daging, ya?" Cengkraman tangan Prana terasa lebih kuat, membuat Ganis ingin melep
"Kita akan ke mana?" tanya Ganis mulai waspada."Nanti kamu akan tahu." jawab Prana. Tidak mau panjang menjelaskan."Aku tidak mau kejadian di Puncak itu terulang. Kamu harus jelaskan ke mana kita akan pergi." desaknya.Tiba-tiba Prana tertawa. "Kejadian yang sangat menyakitkan." ujarnya, masih dalam nada tawa."Katanya menyakitkan, tapi kamu malah tertawa." cibir Ganis."Aku menertawakan kebodohanku, yang dengan mudah dipermainkan oleh mahluk penggoda seperti kamu." Prana menghentikan tawa. "Toh kamu sangat pandai, Nis. Membawa seseorang ke puncak, lalu menerjunkannya tanpa belas kasihan." Prana meliriknya sekilas. Ada kilat api di mata dia."Mempermainkan? Aneh. Kamu yang berlaku seenaknya, jelaslah aku tidak mau diperlakukan seperti itu." balas Ganis ketus.Prana terdiam. Apakah kata-kata barusan, mampu menohok tepat di hatinya?"Kita akan ke Nabire, tidak begitu jauh dari sini. Ada sungai yang sangat indah, dengan aliran air yang jernih. Nama sungainya, Mayon. Aku pernah pergi ke
Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b