"Aduh! Mampus aku!"Keringat sebesar butiran jagung menggelinding jatuh dari pelipis Sadikin.Jemarinya tak lagi mampu memutar kunci dengan benar. Setelah membukakan pintu untuk Joe dan mengusir Gallen, ia sengaja memasang gembok.Apesnya! Sang Nona Muda menelepon dan memaki habis dirinya begitu tahu bahwa dialah penyebab keterlambatan Gallen untuk hadir memenuhi undangannya.Sekarang, dia harus secepatnya menemukan dan mengawal Gallen untuk bertemu dengan sang majikan.Sadikin menghela napas lega saat melihat Gallen belum pergi jauh. Lelaki berbaju lusuh dan terlihat kumuh itu berdiri membelakanginya. Sibuk bercengkerama melalui sambungan telepon.Berdiri dua langkah di belakang Gallen, Sadikin tak berani bersuara hingga Gallen mengakhiri percakapannya."Tuan! Tolong, maafkan kebodohan saya!"Entah ke mana perginya arogansi Sadikin yang tadi begitu meraja lela. Wajahnya kini tertekuk kuyu, dipenuhi rasa bersalah.Sikap semena-mena dan sok ku
Atmosfer di meja makan sedikit mencekam bagi pemilik jiwa yang dipenuhi dengki.Kerlingan mata penuh kebencian milik Joe tak pernah bergeser dari sosok Gallen.Kalau saja kedua mata itu mampu menembakkan sinar laser, tubuh Gallen pasti sudah sejak tadi hancur menjadi serpihan debu. Menghilang tanpa jejak terbawa embusan angin."Jangan malu-malu! Anggap saja di rumah sendiri!" Silvana menyodorkan sepiring potongan ayam bakakak panggang ke hadapan Gallen.Ara yang duduk di samping Gallen segera menyambar peluang itu untuk melayaninya, layaknya seorang istri yang sangat berbakti pada suami.Pipi Ara terasa panas dan bersemu merah ketika ia menaruh sepotong ayam di atas piring Gallen. Perasaannya campur aduk, senang sekaligus malu.Saat ujung jarinya tanpa sengaja bersentuhan dengan kulit Gallen, ia merasakan sensasi geli yang sangat aneh.Ribuan semut seakan menjalari seluruh jaringan saraf di sekujur tubuhnya. Bermuara pada satu titik di bawah
"Apa kau tidak bisa berhenti mengoceh? Aku jadi kehilangan selera makan gara-gara liurmu menghujani makanan di meja ini!" Suapan Ara terhenti. Separuh makanannya masih bersisa. Rasanya ia ingin mencabik-cabik mulut Joe dan memberikan cacahan daging busuk itu untuk makanan anjing pemburu. Muka Joe merah padam. Ia semakin kesal. Maksud hati ingin memancing emosi Gallen, tetapi malah Ara yang kebakaran jenggot. Menyaksikan ketegangan antara Joe dan putrinya, Guntur merasa tidak enak hati. "Sudahlah, Ara. Tidak baik membesar-besarkan masalah sepele. Joe cuma bertanya." Guntur berpaling pada Gallen dan mencoba tersenyum, "Maaf, Tuan Kyler. Anak muda cenderung bersikap impulsif. Saya yakin Anda jauh lebih bijak dan dewasa. Tidak perlu mengambil hati ucapan Joe dan Ara." "Tidak apa-apa, Tuan Guntur. Anda terlalu sungkan." Meskipun ia mempertahankan sikap sopan di hadapan tuan rumah, tak dapat dipungkiri bahwa Gallen juga telah kehilangan selera makannya.
Untuk mencegah timbulnya kesalahpahaman yang lebih dalam, Guntur menceritakan pengalaman buruk Ara saat rem mobilnya disabotase.Kedua tangan Joe mengepal erat saat mendengar bagaimana Ara nyaris kehilangan nyawa dan diselamatkan oleh Gallen.Melihat urat-urat di tangan Joe mencuat akibat ia mencengkeram terlalu kuat, Guntur maklum. Diam-diam ia merasa senang dengan reaksi calon menantunya itu.Ia tidak tahu bahwa Joe tidak kesal pada pelaku yang menyebabkan kemalangan Ara, melainkan pada aksi Gallen yang datang tiba-tiba dan menjadi pahlawan bagi Ara.Rencana yang sudah disusunnya dengan matang jadi berantakan gara-gara Gallen. Ia sangat membenci mantan pacar sepupunya itu! Bahkan, hingga ke sum-sum tulangnya!Namun, dia harus tetap berpura-pura. Dengan senyum yang dibuat-buat, Joe berkata pada Gallen, "Terima kasih banyak, Tuan Kyler! Maaf, aku tidak tahu jika Andalah malaikat pelindung tunanganku."Joe bangkit, lalu membungkuk sembilan puluh derajat pada Gal
Berdiri di tengah pintu, muka Joe merah padam menyaksikan Ara melepas kepergian Gallen. Ia benci dikalahkan oleh gembel.Meninggalkan kediaman Guntur dengan hati rasa terbakar, Joe tidak langsung pulang ke rumah. Ia memacu kuda besinya menuju rumah Laura.Ia mengenyakkan pantat dengan keras di atas sofa begitu masuk ke ruang tamu."Mau tante ambilkan minum?" tawar Mama Laura sebelum beranjak memanggil anak gadisnya."Nggak usah, Tante.""Ya sudah. Tunggu saja! Laura sebentar lagi turun."Tidak lama kemudian, Laura berdiri dengan kening mengerut, menatap heran pada Joe yang bersandar lesu dengan mata tertutup rapat."Tumben tampangmu kusut begitu. Habis diterjang badai?"Joe membuka mata dengan malas. "Dihantam tsunami!" sahut Joe asal."Wah, kamu anak ajaib dong, masih bisa bertahan hidup.""Aku sedang tidak ingin bercanda, Laura!""Cih! Sensitif sekali! Kayak cewek lagi dapat, tahu?!"Joe memperbaiki posisi duduknya. "Aku lagi kesal! Tebak si
Harapan laksana setitik cahaya di ujung lorong nan gulita. Ke sanalah jiwa yang terperangkap putus asa akan melangkah.Begitulah seumpama Gallen saat ini. Jantungnya berdegup riang mengetahui sesaat lagi ia akan bertemu dengan Bellona—salah satu sumber titik terang yang akan membantu mata batinnya untuk melihat fakta di balik kematian Nick.Tiba di tempat tujuan, Gallen terkejut dengan restoran yang dipilih Bellona. Terakhir kali bertemu, mereka berseteru di sana. Tak disangka dia masih menjadi pelanggan setia.Kalau saja Bellona tahu bahwa restoran itu sebenarnya telah diserahkan Willy kepada Gallen, mungkin dia tidak akan memilih tempat itu."Di sini?" tanya Gallen, meyakinkan diri."Yep. Dia sendiri yang memutuskan."Sepertinya kemampuan dan koneksi Bellona tak cukup kuat untuk dapat menyelidiki latar belakang perusahaan yang diincarnya.Begitu memasuki ruang privat, Gallen dan Kenzie disambut oleh pemandangan sesosok tubuh wanita yang membelakan
Di sisi jalan sebuah gang, berdiri rumah tunggal dua lantai bercat putih, dengan penampakan wajah terlihat suram.Rerumputan di halaman yang luas tumbuh liar, tak terurus. Beraneka ragam bunga telah kehilangan pesona indah.Kecantikan yang sedap dipandang mata tak lagi terlihat. Berganti pemandangan bunga layu bak di musim kemarau. Tangkai dan dedaunan didominasi oleh warna kuning kecokelatan, tanpa mahkota.Seluruh penghuni taman rumah itu seakan sangat menderita oleh jeratan pita berwarna kuning. Ya! Garis polisi masih setia memagari rumah tak berpenghuni itu."Ini ...." Kalimat Gallen menggantung di ujung lidah. "Ya. Ini tempat tinggal almarhum Nick," tegas Regan, seakan dapat membaca tebakan Gallen. "Ayo masuk!"Kriiet!Derit pintu merintih pilu saat Regan mendorong daunnya perlahan. Sekumpulan debu bagai terjaga dari lelap. Kocar-kacir melarikan diri tanpa arah akibat sepakan sepatu.Sebagian menyerang balik Regan dan Gallen dengan menyerbu hidung m
Nick menyalakan senter dan mengarahkan cahayanya ke dalam sumur. Dia beruntung. Sumur itu kering dan tidak terlalu dalam.Dengan gerakan hati-hati, Nick menurunkan karung setelah melepaskan tali pengikat di bagian kepala.Air matanya meluruh begitu telinganya menangkap bunyi bergedebuk."Maafkan, Paman, Tuan Muda. Paman terpaksa melakukan ini."Nick tergugu. Dadanya berguncang hebat. Jemarinya mencengkeram bibir sumur penuh amarah.Dia marah pada ketidakmampuannya menyelamatkan sang bocah."Tetaplah bertahan, Tuan Muda! Tumbuhlah dengan sehat hingga dewasa. Balaskan dendam kedua orang tuamu!"Selesai menyemangati bocah yang entah sudah sadar atau malah mati, Nick melempar sebungkus roti ke dalam sumur. Sisa sarapannya pagi tadi saat buru-buru meninggalkan rumah.Separuh jiwanya seakan mati ketika ia kembali ke mobil.Begitu tiba di rumah, ia menumpahkan seluruh beban hati dan perasaannya dalam sebuah buku diary. Tak lupa ia juga menuliskan pes
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada