Gallen mendatangi Rumah Sakit tempat Laura di rawat."Akhirnya kau datang juga, Bro!" sambut Regan, menyalami Gallen.Sekilas Gallen memperhatikan dua oknum polisi yang berjaga di pintu kamar perawatan Laura."Kau sudah menempatkan anak buahmu di sini. Tak perlu merepotkan diri untuk menyambutku," kata Gallen, melangkah masuk ke ruangan Laura bersama Regan."Kangen, Bro! Sudah lama sekali kita tak bertemu.""Ish, kata-katamu membuatku merinding!""Gallen!" Laura berseru riang melihat kemunculan Gallen.Sesaat kemudian ia terdiam. Melihat penampilan Regan dengan seragam polisi lengkapnya, hati Laura ketar-ketir.Ia belum tahu bahwa Gallen telah melaporkan dirinya, dengan sebuah permintaan agar pihak kepolisian tidak memborgol Laura selama menjalani perawatan."Aku merasa lebih baik setelah kamu datang menemuiku," kata Laura, memfokuskan pandangan pada Gallen seraya berjuang duduk."Kau terlalu percaya diri," sahut Gallen dengan nada acuh tak acuh. "Aku ke sini tidak untuk menanyakan ka
"Dia ... dia ...."Laura menengadah, menatap Gallen dengan ragu, kemudian memaku tatap pada ujung kakinya yang bergerak gelisah.Gallen mengeluarkan ponsel dari saku, lalu dengan sebelah tangan, ia terlihat mengetik sesuatu.Laura bergidik melihat pemandangan itu. "Tunggu, Gallen!" serunya, khawatir Gallen meminta oknum polisi itu untuk menangkapnya.Gallen menghentikan gerakan jemarinya dari atas keyboard ponsel. "Aku tidak punya waktu untuk melayanimu bermain-main.""Aku akan bicara! Ya. Akan kuturuti apa maumu. Tapi, tolong ... simpan ponselmu!""Laura, kau tidak dalam situasi yang bisa bernegosiasi denganku!"Laura membuang napas resah. "Baiklah. Pamanmu yang merencanakan semua itu.""Apa?!" Gallen tak percaya David yang terlihat pendiam ternyata merupakan otak dari tindak kejahatan yang ditujukan untuk Grizelle."Ya. Tuan David Kyler yang menyusun segala strategi untuk menyingkirkan istrimu. Tidak hanya itu, dia juga berencana untuk memindahkan seorang sandera lainnya.""Apa maks
Wajah Stephen pucat pasi saat berpas-pasan dengan Gallen yang baru tiba, hendak naik ke kamar orang tuanya."Masih berani datang ke sini setelah menuduhku macam-macam?" cibir Stephen, berjuang menyembunyikan ketakutannya di balik topeng kemarahan."Ini rumah warisan nenekku. Aku bisa datang dan pergi sesuka hati," balas Gallen, telah kehilangan rasa hormat pada Stephen. "Apa Anda lupa, Tuan Besar Kyler? Anda sendiri yang telah mengakui kejahatan Anda pada diri Anda sendiri. Tuhan dan malaikat yang menjadi saksi pengakuan Anda saat itu."Gallen menyeringai sinis sambil berlalu. "Oh ya, aku juga punya bukti rekamannya."Stephen menegang. Otaknya berasap memikirkan cara untuk merebut benda kecil yang membahayakan itu dari Gallen, tetapi idenya buntu.Gallen pasti telah mengamankan bukti yang ditemukannya."Berengsek! Ini semua karena si Handoyo bodoh itu sangat payah!" maki Stephen, melempar kesalahan pada Handoyo yang selama ini merupakan tangan kanannya.Ia tidak mengetahui bahwa lelak
'Siapa yang datang? Apa David telah kembali?' batin Gallen, mulai tak tenang mendengar derap langkah yang kian mendekat.Cepat-cepat ia bersembunyi ke balik rak, tidak jauh dari meja kerja David."Bibi Rose, ayahku belum pulang," seru Atha, "Anda tidak perlu masuk ke ruangannya."Gallen mengembuskan napas lega mendengar seruan lantang Atha dan juga entakan sepatu yang menjauh.'Di mana lelaki itu meletakkan berkas dan catatan penting?' Gallen memutar otak, memikirkan kemungkinan ide gila yang dimiliki David untuk melindungi rencana kerjanya.Sekali lagi Gallen kembali ke meja David. Kali ini ia memeriksa laci dengan lebih hati-hati dan teliti. Sesekali ia mengotak-atik bagian bawah meja, mencari-cari jika ada laci rahasia yang tersembunyi.Gallen mengusap wajah dengan kasar ketika tak menemukan apa-apa."Akh!" Gallen meringis, lalu cepat-cepat membekap mulut dengan sebelah tangan ketika menyadari keteledorannya menimbulkan suara.Kepalanya terasa nyeri akibat terantuk sudut laci yang
"Tidak ada yang mengetahui sepak terjang kejahatan Bellona kecuali Ayah dan aku. Aku tidak mungkin melaporkan istriku sendiri," sanggah David. "Semua bukti-bukti itu sangat valid.""David, tenanglah! Bisa jadi bukti itu palsu. Mungkin ada seseorang yang sedang berusaha mengadu domba kita." Stephen membujuk David."Ayo masuk! Kita bicara baik-baik." Stephen celingukan. Khawatir Gallen mendengar perdebatan mereka. "Dinding bisa saja punya telinga."David mengalah. Ia mengekori langkah tertatih Stephen, masuk ke kamar sang ayah.'Sial! Mereka malah masuk!' Gallen membatin kecewa. 'Padahal tinggal selangkah lagi aku mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.'Gallen mengingat-ingat ruang rahasia yang dulu sering ia datangi bersama Rianna. Apakah ruangan itu juga terhubung ke kamar tidur sang nenek?'Ah, aku harus mencari tahu!' Bergegas Gallen melompat turun dari ranjang.Gallen berputar-putar di tengah ruang rahasia milik Rianna. Mencari-cari tombol atau apa pun yang dapat mengantarnya ke k
Saat semua orang terlelap, Gallen meninggalkan rumah Stephen tanpa pamit."Kamu pulang?" tanya Grizelle, mengucek mata dan bangkit."Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu." Gallen merasa bersalah. Ia berjalan dengan berjinjit, tapi istrinya masih juga terjaga."Apa terjadi sesuatu?"Grizelle mengintip penunjuk waktu pada layar ponsel yang ia taruh di atas meja kecil, di samping tempat tidur. Hampir pukul tiga dini hari."Tidak ada," bohong Gallen. "Aku hanya tidak bisa tidur karena jauh darimu."Gallen duduk di tepi ranjang. "Lanjutkan saja tidurmu! Kau telah melalui hari yang berat setelah menemui Mika."Masih banyak kelindan tanya yang ingin diungkapkan Grizelle, tapi ia benar-benar letih. Selama Gallen berbicara, beberapa kali ia menguap. Akhirnya, ia pun kembali rebah.Setelah memastikan Grizelle tertidur, Gallen turun ke lantai basemen.Ia duduk termangu dalam ruang rahasianya. Melototi hasil pindaian catatan yang ia peroleh dari ruang pribadi David.Andai David ada di hadapan
"Aku kecewa padamu, Paman! Kukira Paman seseorang yang berada di pihakku, tapi ternyata Paman menusukku dari belakang. Apa salah keluargaku pada Paman?"Gallen mengungkapkan unek-uneknya pada Handoyo.Pagi ini ia sengaja mendatangi kantor polisi untuk menginterogasi lelaki itu secara pribadi.Handoyo membuang muka, lalu menunduk. Tak berani beradu pandang dengan Gallen."Maaf!"Hanya satu kata bernada lirih yang terucap dari bibir Handoyo."Aku ke sini bukan untuk mendengar permintaan maaf, Paman. Aku butuh penjelasan. Kenapa Paman tega mengkhianatiku?"Handoyo masih setia memeluk bisu."Siapa wanita yang berdiri di belakang Paman?"Handoyo mendongak. Sesaat beradu tatap dengan Gallen, kemudian kembali tafakur menatap meja."Aku bekerja sendiri.""Hanya orang gila yang berbicara sendiri. Aku mendengar pembicaraan Paman via telepon dengan seorang wanita. Siapa dia?"Bulu mata Handoyo bergetar. Ia terperangah mendengar perkataan Gallen. Ia ingat betul, malam itu tak ada orang lain di de
Pukul 8.50 pagi.Gallen melangkah santai memasuki kediaman Stephen. Ia disambut suasana hening yang terasa janggal.Tidak ada tanda-tanda kehidupan saat ia menginjakkan kaki semakin ke dalam.Biasanya pada jam segitu, Stephen duduk santai sambil menikmati secangkir teh lemon.'Aneh! Ke mana perginya orang-orang di rumah ini? Kenapa mereka membiarkan pintu utama tak terkunci? Ceroboh sekali!'Gallen tegak sembari menyembunyikan tangan dalam saku jaket yang dikenakannya. Pandangannya beredar ke lantai atas."Tuan Muda, kapan Anda tiba?" sapa Rose, muncul dari belakang Gallen. Ia mengelus seekor kucing hitam dalam gendongannya.Gallen berbalik. "Bibi Rose," balas Gallen, "aku tidak melihat Bibi saat datang. Maaf, kalau aku langsung masuk.""Tuan Muda, Anda terlalu sungkan. Rumah ini juga milik Anda. Anda bebas keluar masuk kapan saja."Meong!Kucing dalam gendongan Rose mengeong keras, lalu melompat turun. Melarikan diri ke lantai atas setelah menabrak sebuah vas bunga dan menjatuhkannya
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada