Gallen berhasil menyusul langkah kaki Laura dan mencekal lengannya. Dia butuh penjelasan kenapa Laura memutuskan hubungan kasih mereka hanya karena sebuah film pendek yang mengekspos sebagian kecil kebenaran tentang dirinya.
“Singkirkan tangan kotormu itu dariku!” Laura meledak. Ekspresi jijik tergambar jelas pada wajahnya.
“Tidak, sebelum kau menjelaskan kenapa hubungan kita harus berakhir.”
“Hahaha ….” Ledakan tawa kembali terdengar, diiringi langkah kaki yang kian mendekat.
“Lihat lelaki bodoh itu! Dia masih belum sadar juga!” Bram menampilkan seringai mengejek di wajahnya.
Gallen mengabaikan kata-kata Bram. Tatapannya lekat pada Laura. Mereka sudah menjalin hubungan lebih dari tujuh tahun. Walaupun sebagian besar dari jalinan cinta itu mereka jalani secara jarak jauh, tetap saja mereka tidak bisa mengkhirinya begitu saja.
“Aku tidak sudi menjadi kekasih seorang penipu!”
Suara Laura bergetar karena marah. Dia benar-benar kecewa menyadari Gallen selama ini membohonginya. Lelaki itu berada di kota yang sama dengan dirinya, tetapi tidak pernah datang untuk menemuinya.
Bertahun-tahun dia meyakini Gallen berada di luar negeri melanjutkan pendidikan. Namun, film dokumenter yang baru saja ditontonnya menjadi bukti valid bahwa lelaki itu bekerja di bengkel setiap tahun. Dia benci dibohongi!
“Apa hubungan yang kita jalani selama tujuh tahun itu tidak ada artinya sama sekali bagimu?”
Gallen membaca raut wajah Laura dengan ketelitian akurasi tingkat tinggi. Kesadaran Laura dihantam gelombang syok. Mulutnya ternganga. Penampakan tersebut memancarkan kilat harapan di mata Gallen.
“Bagus! Kau baru saja menyadarkanku. Betapa bodohnya aku menyia-nyiakan waktu mudaku menjalin hubungan dengan seorang idiot sepertimu selama itu!”
Sinar di mata Gallen padam seketika. Rangkaian kata pedas Laura seperti ujung tombak yang menembus tepat ke jantungnya.
“A–apa maksudmu berkata begitu?”
Gallen terlihat linglung seperti orang bodoh. Dia tidak menyangka Laura tega menyakiti hatinya dengan lidah setajam itu. Bertahun-tahun dia menahan diri untuk tidak menemui Laura demi memberi wanita itu sebuah kejutan.
Setiap kali pulang liburan, dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan bekerja di bengkel. Semua itu dia lakukan karena dia pikir bahwa belum waktunya dia muncul di hadapan Laura. Dia harus benar-benar mempersiapkan diri dengan matang sebelum menemui wanita pujaannya.
Tak disangka ketika kesempatan itu datang, Laura bukan hanya tidak menghargainya, tetapi wanita itu juga mengakhiri jalinan cinta kasih mereka. Hati Gallen seperti ditusuk ribuan duri dalam waktu bersamaan.
“Hei, Bung! Otakmu benar-benar tidak berfungsi,” ejek Jody. Sudut bibirnya membentuk seringai sinis. “Kau tidak pantas bersanding dengan Laura. Lihat dirimu!”
Jody menyapu penampilan Gallen dengan tatapan menghina yang sangat kentara. “Perbedaan kau dan Laura seperti langit dan bumi. Kau tak ubahnya bagai pungguk merindukan bulan. Berhentilah bermimpi!”
Tatapan Jody berubah hangat dan lembut ketika dia berpaling kepada Laura. “Apa sekarang kau sudah sadar bahwa hanya aku yang pantas untukmu?”
Senyuman pongah menghias bibir Jody. Tiga tahun dia mengejar Laura tanpa lelah. Namun, wanita itu selalu saja bersikap tak acuh kepadanya. Sekarang dia yakin, kesabarannya tidak akan sia-sia.
Pandangan Laura mulai terbuka. Jody adalah pewaris tunggal keluarga Hopkins—pengusaha real estate. Saat terikat dengan Gallen, dia tidak pernah melirik Jody. Dia setia pada Gallen karena yakin Gallen sedang sibuk menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat doktoral di luar negeri. Sementara Jody hanya lulusan pascasarjana.
Mendapati kenyataan Gallen bekerja di sebuah bengkel kecil, Laura sungguh kehilangan muka di hadapan keluarga besarnya. Terlebih pada tamu-tamu penting yang hadir di pesta pernikahan sepupunya itu.
“Tentu, Jody. Kau jauh lebih pantas untuk berdiri di sampingku.”
Jody terkekeh penuh kemenangan. Dia mendorong bahu Gallen dengan jari. “Kau dengar, Bung? Saatnya bagimu untuk angkat kaki dari sini!”
Gallen menatap Laura tanpa ekspresi. “Kau yakin ingin mengakhiri hubungan kita sampai di sini, Laura? Jika suatu saat nanti kau menyesal, sudah terlambat bagimu untuk kembali.”
Sudut bibir Laura mencebik sinis. “Enyahlah! Aku menyesal pernah memberikan hati dan kesetiaanku pada lelaki sampah sepertimu!”
Riuh tepuk tangan mengapresiasi keputusan Laura. Kumpulan sepupunya menampilkan senyuman puas pada wajah mereka.
Gallen tercacak dalam bisu, melepas kepergian Laura sambil menggandeng mesra lengan Jody menjauh darinya.
Berpikir tak ada gunanya lagi berada di tempat itu, Gallen balik badan. Meninggalkan ruangan yang dipenuhi tawa dan seringai mengejek dengan langkah gontai. Hatinya remuk redam.
Laura adalah cinta pertamanya. Dia berharap itu juga akan menjadi cinta terakhirnya. Sayangnya, takdir tidak berpihak kepadanya. Laura justru memilih berpisah darinya pada saat dia merasa siap untuk mengokohkan hubungan mereka.
Berdiri di dekat motor bututnya, Gallen mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celana dan membukanya. Kemilau sebuah cincin berlian menyilaukan mata begitu tertimpa cahaya matahari.
Apa yang harus dilakukannya dengan cincin berlian itu? Haruskah dia membuangnya? Atau mengembalikan cincin itu ke toko? Gallen melempar pandang pada pintu masuk lobi hotel seraya menghela napas panjang.
***
Berpikir bahwa kehadirannya tak lagi bermakna di hotel itu, Gallen melarikan motor bututnya dari pelataran parkir. Pikiran kacau karena hatinya tercabik dengan luka yang tak berdarah membuat laju kendaraannya kehilangan tenaga. Motor bebek butut itu merupakan warisan ayahnya. Setiap kali dia mengendarainya, orang-orang selalu meledeknya, tetapi mereka tidak tahu kalau dia telah memodifikasi mesin motor tua itu. Dalam kondisi terdesak, Gallen dapat memacu motor butut tersebut menyamai motor dengan kapasitas bahan bakar di atas 1.000 cc. Sialnya, hari ini yang terjadi justru sebaliknya. Motor itu berlari seperti kura-kura bila disandingkan dengan kelinci. Sepanjang jalan kepala Gallen dipenuhi dengan adegan Laura mencampakkannya. Dia tidak pernah tahu kalau patah hati bakal sesakit itu. Rasanya dia kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya. Di tengah pikiran yang sedang kalut, Gallen menjengkit. Sebuah mobil berwarna merah metalik melaju oleng dari arah ber
“Papa?” Ara terperangah saat mengenali lelaki yang baru saja menyabotase perkenalannya dengan Gallen. Dia terlonjak tegak, begitu pula dengan Gallen. Siapa yang mengira Guntur Priambudi akan menemukannya di sini. Gallen mengernyit sepintas lalu lantaran tak mengharapkan kemunculan keluarga Ara yang tiba-tiba. Sebelum Gallen sepenuhnya mampu menguasai rasa terkejutnya, Ara sudah diseret menjauh, meninggalkan meja. Dua lelaki berbadan kekar membekuk Gallen. Kekagetan membuatnya lengah. Dia hanya bisa mengikuti ke mana dua orang itu membawanya. “Lepaskan dia, Pa!” cicit Ara, memandang Gallen dengan perasaan bersalah. “Masuk!” Guntur mendorong Ara ke dalam mobil. Di mobil lainnya, Gallen pun menerima perlakuan yang sama. Hidungnya nyaris mencium permukaan jok ketika dia tersungkur. Sebelum Gallen sempat memperbaiki posisi tubuhnya, sesuatu menusuk lehernya. Rasanya seperti digigit semut merah. Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap. Gallen kehilangan kesadaran
Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya. Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen. “Dia masih hidup, Bos!” Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.” “Tapi, Bos—” “Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!” “Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain. “Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?” Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berus
Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara. “Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya. Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!” Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa. Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya. Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala. Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!” Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?” “Siapa lagi kalau bukan lelaki yan
“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.” Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.” Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit. Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh. Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya. Helaan na
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada