"Ayah Anda memang punya seorang adik. Dia Tuan David Kyler.""Kenapa pamanku tidak mendapat bagian saham?"Syadid tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Gallen. Ayahnya belum sempat menjelaskan semuanya.Pada hari menjelang ayahnya pergi meninggalkan rumah untuk menghadiri pemakaman Rianna, Akmal hanya menyerahkan salinan dokumen tersebut beserta catatan berisi pesan.Jika ayahnya tidak bisa pulang dengan selamat, maka dia harus menggantikan ayahnya untuk mencari Gallen. Sehelai foto anak lelaki berusia TK terlampir di balik catatan itu."Um ... i—"Syadid menjeda penjelasannya. Lampu yang menggantung pada langit-langit berkedip dan berubah warna menjadi merah."Gawat!" ceplosnya seraya bangkit. "Kenny, sembunyikan ayahku!""Baik, Tuan!"Lelaki bernama Kenny itu segera melarikan Akmal, memasuki ruang yang lain."Apa yang terjadi?" tanya Gallen, ikut tegak, mengawasi ekspresi cemas di wajah Syadid."Penyusup," sahut Syadid.Jarinya gemetar saat menyingkap sebuah lukisan di dinding. Ia
"Tuan, aku suka rumah ini! Aku akan membelinya! Apa harganya tidak bisa ku—"Gallen terdiam begitu dua moncong senjata mengarah kepadanya saat ia berteriak keluar dari kamar pembantu.Pelan-pelan ia mengangkat tangan. Tatapannya melirik pada Syadid yang tergeletak tak berdaya di lantai.Betapa malangnya. Pengacara muda itu meringis setiap kaki lelaki bertopeng menekan dadanya.Dalam hati Gallen merasa miris melihat tubuh Syadid babak belur demi melindungi dirinya."A–aku ... hanya calon pembeli rumah ini. A–aku bukan penjahat!" ujar Gallen terbata.Si lelaki bertopeng menyipitkan mata. Ia membandingkan wajah Gallen dengan foto yang tersimpan di galeri ponselnya. Wajahnya yang tersembunyi menyemburatkan perasaan kecewa."Ayo, pergi! Bukan dia!"Komandan penjahat itu berbalik, diikuti oleh anak buahnya.Namun, sebelum mereka berhasil meraih pintu, empat jarum kecil mendesing di udara. Pada detik selanjutnya, empat tubuh mengeluarkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh.Mereka semua pin
"Tuan Muda, tempat ini sudah tidak aman. Para penjahat itu sudah mengetahuinya. Siapa pun dalang di balik tindakan kejam mereka, orang itu pasti akan dapat menebak bahwa ayah saya bersembunyi di sini.""Justru karena mereka sudah tahu, maka tempat ini menjadi tempat paling aman bagi ayah Anda untuk bersembunyi.""Tolong, jangan terlalu sopan pada saya, Tuan Muda! Saya berutang nyawa pada Anda. Perlakukan saya sebagai bawahan Anda saja. Saya merasa tidak enak hati setiap kali Anda merujuk kepada saya dengan sapaan formal," protes Syadid."Tidak usah sungkan! Usia Anda sepuluh tahun lebih tua, tidak pantas bagiku untuk memanggil Anda seperti layaknya menyapa teman. Anda juga terlalu muda untuk menjadi pamanku."Lagi pula, Anda bukan bawahanku. Anda sendiri yang bilang bahwa ayah Anda adalah sahabat nenekku. Itu artinya kita sudah seperti keluarga. Bukankah suatu hal yang wajar bagi anggota keluarga untuk saling melindungi?"Anda tidak berutang apa-apa padaku. Sudah menjadi kewajibanku j
"A–Ayah? Ayah belum tidur?" Grizelle bertanya kikuk.Ghifari baru datang tadi pagi. Sialnya, Grizelle lupa akan hal itu, padahal belum dua puluh empat jam berlalu.Bisa jadi juga, kekhawatirannya terhadap Gallen yang membuatnya mengabaikan keberadaan Ghifari di ruang tengah."Kau sama saja dengan Gallen. Ditanya malah balik bertanya," sungut Ghifari, "Pantas saja kalian berjodoh. Sepertinya suatu hari nanti, aku akan mati karena penasaran. Ah, orang tua yang malang!"Grizelle merasa serba salah mendengar keluhan Ghifari. Apa itu semacam tantrum pada orang tua yang kembali bersikap seperti anak kecil?Kalau diperhatikan, Ghifari memang tampak kesepian, atau mungkin bosan karena tidak memiliki kegiatan yang menyenangkan.Ah, ada baiknya nanti ia membicarakan hal itu dengan Gallen. Ayah mertuanya butuh melakukan aktivitas yang dapat mengusir rasa bosan."Bukan begitu, Ayah. Aku ... ada barang penting yang harus kubeli.""Apa tidak bisa ditunda sampai besok? Ini sudah jam sembilan malam.
Mentari pagi bersinar redup. Grizelle bangun dengan gerakan malas. Duduk di tepi ranjang, memperhatikan Gallen yang sedang mematut diri di depan cermin.Kemarin malam ia ingin mencecar Gallen dengan serangkaian pertanyaan perihal ponselnya yang tidak aktif.Sialnya, sikap manis Gallen saat menemuinya di supermarket membuatnya terpana, hingga melupakan rasa penasarannya terhadap sang suami."Kenapa kau belum siap-siap? Enggak kerja?" tanya Gallen sambil mengancingkan kemeja."Aku dipecat," sahut Grizelle dengan nada lesu. Ia kembali menjatuhkan punggungnya ke atas kasur."Kok bisa?""Bisalah. Kan bukan aku pemilik perusahaannya.""Ya sudah. Tidak apa-apa. Anggap saja kau lagi cuti! Tidak bekerja pun kau tidak akan mati kelaparan. Aku masih sanggup menafkahimu."Gallen mengulum senyum melihat bibir Grizelle manyun."Aku hanya tidak terbiasa. Lagi pula, tidak melakukan sesuatu sepanjang hari akan terasa sangat membosankan. Emosi bakal jadi tidak stabil.""Kau bisa memanjakan diri dengan
Berjalan mengitari mal sambil cuci mata, otak Grizelle tak hentinya bekerja keras memikirkan perkataan Sandra.Tujuan hidup Sandra terdengar aneh. Kalau diingat-ingat, Grizelle belum pernah mendengar Sandra punya pacar.'Ya Tuhan! Jangan-jangan ....' Grizelle tak berani meneruskan kalimat sangkaannya. Ia menggeleng, menepis pikiran buruk yang muncul di benaknya."Kenapa? Enggak bagus ya?" Sandra tampak kecewa melihat reaksi Grizelle saat ia meminta pendapat tentang gaun yang ia pilih.Ditaruhnya gaun itu ke tempat semula. Tangannya meraih gaun yang lain.Ia menyikut Grizelle, "Kalau yang ini bagaimana? Bagus, enggak?"Grizelle tersadar dari lamunannya. Diliriknya gaun yang dipamerkan Sandra, tapi ia tidak mengatakan apa pun.Pandangannya beredar, menyelisik setiap helai gaun yang terpajang."Ini bagus! Kayaknya cocok sama kamu," komentarnya, menyentuh gaun berbahan lembut yang tadi diperlihatkan Sandra kepadanya.Sandra mengernyit. "Tapi tadi kamu tidak bilang begitu.""Huh? Kapan? Ak
Grizelle menganggap angin lalu kemarahan Miranda. Ia menyibukkan diri dengan memilih gaun yang akan dibelinya."Ini bagus!" puji Grizelle, melihat gaun berwarna lavender."Ini punyaku!" sambar Miranda.Jemari Grizelle pindah ke gaun yang lain."Yang ini juga!"Setiap kali tangan Grizelle ingin meraih baju incarannya, Miranda selalu merebutnya.Sandra yang mendampingi Grizelle geregetan menyaksikan kejahilan Miranda. Kalau saja Grizelle tidak terus-terusan mengodenya untuk mengalah, sudah sedari tadi ia patahkan tangan Miranda.Mata Grizelle berbinar melihat sebuah gaun berwarna merah fanta yang di pajang pada bagian atas."Mau saya ambilkan yang itu, Nona? Anda tidak akan menyesal membelinya. Itu koleksi terbaru butik kami.""Oh ya? Berapa harganya?""Alah! Sok-sokan nanya harga. Memangnya kamu bisa beli? Enggak punya uang, tidak usah kebanyakan gaya!"Miranda mencerocos sebelum karyawan butik itu sempat menggerakkan bibir untuk menyahuti pertanyaan Grizelle."Aku ada uang atau tidak,
"Bagaimana, Nona Dayyan? Jadi bayar, tidak? Kalau tidak mampu bayar, Anda harus merapikan semua gaun ini seperti semula.""Kamu menghinaku? Aku akan bayar. Toko ini juga mampu aku beli!"Miranda gondok mendengar pelayan toko terkesan meremehkan dirinya.Dia menghubungi kakaknya, "Kak, transfer uang tiga ratus juta dong!""Banyak banget. Untuk apa?""Aku lagi belanja, tapi uangku kurang."Namun, selang beberapa detik Miranda menutup telepon dengan bibir mengerucut."Kenapa? Tidak dapat uangnya? Kasihan!" ejek Sandra."Bawel!" umpat Miranda.Karena malu, Miranda terpaksa menghubungi mamanya."Halo, Ma. Aku lagi butuh uang nih," cerocosnya tanpa basa-basi. "Transfer sekarang tiga ratus juta ya, Ma. A—"Tuts!Sambungan telepon terputus. Baterai ponselnya habis. Ia lupa mengisi ulang daya gawainya sebelum keluar dari rumah.Muka Miranda memerah lantaran malu."Ditolak, Mir?" tanya Shelly sedikit mengernyit."Ponselku mati.""Ini ... pakai ponselku!" Shelly menyodorkan ponselnya pada Mirand
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada