Seharian berkutat dan terkurung dalam ruangan tanpa cahaya matahari langsung, sungguh sangat melelahkan.
Jam pulang kerja menjadi momen terindah yang dinanti para pekerja, tak terkecuali Gallen.Namun, Gallen harus merelakan kesempatan pertama untuk meninggalkan gedung kepada para karyawan lain.Ia mengalah dan pulang belakangan. Semua itu demi menghindari tatapan curiga atau rentetan pertanyaan dari mulut-mulut ember bila mereka melihat kantong keresek yang dibawanya pulang.Kinerja Sitompul memang patut diacungi jempol. Lelaki itu telaten memilah berkas sampah yang mengandung data penting.Selesai menyimpan barang bawaannya ke bagasi, Gallen menyalakan mesin.Menikmati belaian sepoi-sepoi angin petang, Gallen membelah jalanan dengan kecepatan rendah.Keningnya mengerut menyadari dua buah mobil tampak mencurigakan.Kecepatan mobil tersebut selalu menyesuaikan dengan laju motor bututnya.'Baiklah. Sepertinya ada yang ingin bermain-main denganku,'Terima kasih buat sobat readers yang sudah berkomentar dan memberi rating 5 untuk Gallen pada halaman muka cerita. Author terharu. Buat sobat readers yang berkomentar di akhir bab, terima kasih juga atas kesabaran sobat readers dalam menunggu balasan dari author. Soalnya, jika komen di sana, butuh waktu dan tenaga ekstra bagi author untuk mencari komentar sobat readers.
Jemari Nyonya Gustav mengalami tremor ketika dia mendorong pelan kotak perhiasan menjauh darinya."Lo, tidak jadi dilihat, Nyonya?" Jessy bertanya dengan sebelah alis terangkat."Em ... anu ... permatanya ada warna lain, tidak? Jangan yang biru seperti ini."Padahal yang sesungguhnya, Nyonya Gustav berkeringat dingin setelah Jessy menyebutkan harga satu set perhiasan tersebut.Ia tidak mengira akan semahal itu. Ia pikir ia hanya perlu merogoh kocek beberapa ratus juta saja.Lagi pula, ia berencana membeli perhiasan bukan untuk diri sendiri, melainkan akan dijadikan hadiah untuk Arabelle—wanita yang akan menjadi calon menantunya."Ini bagus lo, Nyonya. Warna birunya seperti kedalaman laut. Langka ini. Yakin Nyonya tidak jadi beli?""Em ... lain kali saja. Kebetulan kami ke sini hari ini sekadar mencari hadiah kecil untuk seseorang. Ada?""Oh, saya pikir untuk Nyonya pakai sendiri."Nyonya Gustav tersenyum mesem. Ia meneguk ludah.Hati kecilnya sangat men
"Oh, Anda mau melaporkan saya?"Jessy bertanya mengejek ketika Gallen terlihat sibuk menggulir layar ponselnya. "Silakan! Manajer saya terlalu sibuk untuk melayani keluhan pelanggan seperti Anda.""Dia akan datang," sahut Gallen dengan nada datar."Cih! Apa Anda pikir Anda begitu penting?""Hahaha ... kau lucu sekali, Anak Muda!" Gustav tak mampu menahan tawa. "Kau masih juga tak menyadari siapa dirimu.""Betul! Dia tidak tahu malu!""Apa dia pikir barang yang diinginkannya itu imitasi?"Gustav hanya mengomentari sekali, tetapi orang-orang menyahut dengan antusias. Semuanya mengecam kebulatan tekad Gallen dalam mempertahankan keinginannya."Maaf, Tuan-Tuan ... Nyonya-Nyonya ... ada yang bisa saya bantu?"Jasmin—salah satu penjaga toko yang dikucilkan teman sejawatnya karena selalu bersikap jujur—baru saja kembali dari toilet.Ia mengira para pelanggan bertengkar karena tidak sabar menunggu pelayanan. Senja itu, entah kenapa pelanggan yang berkunjung leb
"Apa yang Anda inginkan, Tuan? Katakan saja! Anda dapat membawa pulang apa pun yang Anda mau tanpa perlu membayar."Duar!Perkataan Bobby laksana gelegar halilintar yang mengejutkan semua orang. Mereka terdiam mematung."Terima kasih. Aku sudah memilih," tegas Gallen, memperlihatkan perhiasan yang dipilihnya kepada Bobby."Anda punya selera yang bagus, Tuan! Baiklah. Saya akan membungkusnya untuk Anda.""Tidak usah repot-repot! Biarkan Nona yang manis ini menyelesaikan bagiannya," tolak Gallen, tersenyum samar pada Jasmin."Ah, tentu, Tuan! Dengan senang hati!" Jantung Jasmin seakan mau meledak saking senangnya karena berhasil menjual satu set perhiasan termahal di toko itu."Cepat!" tukas Bobby, memperingatkan Jasmin.Jasmin mengangguk. Tangannya gemetar saat menata satu per satu item perhiasan yang dibeli Gallen ke dalam kotak."Ini, Tuan!" Jasmin menyerahkan belanjaan Gallen. "Terima kasih telah berbelanja di toko kami!"Jasmin masih belum mengetahui
Mentari telah terlelap di peraduannya. Menyisakan layung nan kian memudar, bertabirkan gelapnya malam.Mata elang Gallen terus mengawasi pergerakan mobil di belakangnya.Mereka tidak menyerah, meskipun Gallen telah menghabiskan banyak waktu di toko perhiasan.'Kalian sangat keras kepala! Mari sedikit bermain-main!'Seringai licik terbit di wajah Gallen. Ia membelokkan motor butut ke jalan kecil, menghindari keramaian di jalan utama.Melintasi jalan sunyi, di mana perumahan warga tak terlihat dan lahan kosong terbentang luas, salah satu dari mobil itu menikung laju kendaraan Gallen. Menggunting tepat di depannya.Gallen sudah menebak hal ini akan terjadi. Dia mengerem, dan pura-pura hendak memutar haluan.Mobil di belakangnya memepet maju. Memblokir akses Gallen untuk melarikan diri.Enam orang lelaki berbadan kekar keluar dari mobil. Melangkah tegap mendekati Gallen.Tampang mereka sangat tidak bersahabat dengan bibir tersenyum sinis dan tatap
Tangan Cakra terentang lurus ke depan. Tinjunya terkepal erat. Menyasar ulu hati Gallen.Gallen tegak bergeming. Tersenyum samar saat gebrakan kaki Cakra semakin memangkas jarak di antara mereka.Nafsu membunuh Cakra kian bergelora. Gallen menolak untuk ikut secara sukarela, maka satu-satunya cara yang tersisa untuk membawanya hanyalah dengan melumpuhkannya.Seringai kejam mencebik dari bibir Cakra, "Jangan salahkan aku! Kau sendiri yang meminta semua ini!"Kekuatan Cakra naik menjadi enam puluh persen. Ia yakin Gallen tidak akan selamat dari serangannya.Gallen menatap tak berkedip pada kepalan tinju Cakra. Di matanya, jurus yang ditampilkan pimpinan Tombak Emas itu tampak seperti gerakan bocah lima tahun sedang menirukan aksi pahlawan idolanya dari tayangan televisi.Begitu jarak bertambah dekat, Gallen mengangkat tangannya.Duk!Dua tangan beradu.Gallen tetap bergeming di tempatnya, seolah-olah dia baru saja menepis angin.Berbeda dengan Gallen,
Sibuk menghindari serangan balik jarum beracun miliknya sendiri, Cakra tak lagi memiliki kesempatan untuk melepaskan koleksi jarum yang bersembunyi di dalam tombak emasnya.Napasnya tersengal-sengal. Sebelah lengannya yang layuh mengganggu kelincahannya."Aaakh!"Cakra merintih kesakitan begitu salah satu jarum emas tersebut berhasil menembus kulit lengan kirinya.Gerakan Cakra semakin lamban. Sebelum dia mampu menguasai diri sepenuhnya, jarum lain bersarang di paha kanannya.Sekali lagi Cakra menjerit, lalu jatuh bergedebuk ke tanah dengan posisi tertelungkup setelah punggungnya menghantam pintu mobil.Dia kalah! Jarum-jarum pelumpuh saraf itu telah bekerja. Lengan kiri dan kaki kanan Cakra mati rasa. Kesadarannya mulai berkurang.Penglihatan Cakra berkunang-kunang. Di matanya, Gallen membelah diri menjadi dua dengan tubuh yang meliuk-liuk.Melihat lawan tak lagi bertenaga, Gallen menyeringai.Ia merontokkan lusinan jarum yang melekat pada cakram bers
Pagi menjelang, membawa rintik kecil dari langit. Mentari mengintip malu-malu dari balik awan kelabu.Gallen berdiri di teras rumah, menadahkan tangan pada cucuran atap. Sesekali ia menengadah, mengamati perubahan warna langit.Sepertinya rinai pagi ini tidak akan mudah berlalu. Gallen memutuskan untuk tetap berangkat kerja. Menerobos gerimis dengan jas hujan yang sudah sobek di beberapa tempat.Sebelum ke kantor, ia menyempatkan diri untuk mampir, menjenguk Erina."Halo, Nek! Bagaimana kabar Nenek pagi ini?" sapanya dengan wajah ceria."Tulang rentaku serasa beku, tapi kau tidak perlu khawatir. Aku cukup puas karena telah diberi kesempatan menikmati hidup hingga setua ini."Erina menarik selimut hingga ke dada. "Cuaca sedang tidak bagus. Kau tidak perlu repot-repot mampir kemari!"Gallen tertawa kecil, "Aku merindukanmu, Nek!"Sebelah alis Erina terangkat, "Kenapa? Apa kau tidak dapat tidur semalaman karena terus memikirkan cucuku?"Ya Tuhan! Mulut Er
"Ck! Kenapa kau harus bicara berputar-putar?" "Ya sudah. Kalau Nenek tidak mau makan, aku pamit ya." Gallen bangkit.Lebih cepat hengkang dari ruang perawatan Erina, lebih baik. Gallen pikir ia harus menyelamatkan diri dari rasa malu.Mulut wanita tua itu sangat tajam. Ia sepertinya sengaja mengorek-ngorek isi hatinya. Mengerikan!Sesaat Gallen bengong, menatap kosong ke luar jendela.Semesta tak merestui niatnya. Air bah seakan tumpah dari langit. Menghasilkan bunyi deru yang memekakkan telinga."Hujan deras begini, bagaimana kau akan pergi?" Erina mencibir. Matanya tersenyum mengejek.Erina benar! Kalau tetap nekat menerobos hujan, Gallen yakin ia akan basah kuyup tiba di kantor. Namun, ia terlanjur pamit.Lelaki sejati pantang menarik mundur kata-katanya. Gengsi, apalagi Grizelle memperhatikan dirinya.Ia tidak mau kehilangan muka di hadapan gadis itu dan dicap sebagai lelaki plin-plan."Aku bawa jas hujan, Nek. Tidak apa. Ini cuma hujan air, bu
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada