“Kenapa muka kamu tegang gitu?”“Eh, nggak kok, Tante.” Haidar menjadi bingung sendiri, ingin mengaku tapi takut salah bicara namun apa yang dikatakan Launa begitu jelas.Hanya Haidar lelaki asing yang berada di rumahnya, namun Haidar memilih bungkam. Ia tidak ingin lancang apalagi Alesha baru saja mengalami hal yang tidak baik.Launa bisa menyimpulkan dari apa yang dilakukan Haidar kemarin, meski selama ini ia juga yakin Haidar menyayangi Alesha meski sebatas sahabat, di mata Launa. Namun ternyata rasa Haidar sudah melewati batas.Mengetahui ini tidak membuat Launa langsung marah, ia malah merasa senang karena ada yang begitu menyayangi Alesha. Namun untuk saat ini ia tidak ada niat membuat Alesha dan Haidar dekat apalagi Alesha masih berstatus sebagai istri orang lain. Mungkin saat status Alesha berganti, baru Launa akan melakukan rencananya itu.“Ya udah, Tante masuk dulu ya. Nanti kalau mau pulang kampung, kamu bilang. Biar tante pesankan tiket pesawat, kamu capek loh kesana pakai
“Malah bengong ini anak.”“Eh, kenapa, Bu?”Bahkan sampai rumah Haidar masih memikirkan maksud omongan Aslan tadi. Tidak seharusnya ia seperti ini, lebih baik tahu diri daripada lupa diri.“Dari tadi Ibu manggil, kamu nggak nyaut, pantesan aja orang kamu bengong kok.”“Kenapa, Bu?”“Nggak istirahat? Yang lain udah pada istirahat loh.”Haidar menggeleng, “nanti aja, Bu.”Desi mengambil posisi di samping putra sulungnya itu, “kamu belum cerita soal waktu itu loh. Ada masalah apa?”“Masalah pribadi Alesha, jadi aku nggak berhak buat cerita.”“Oh. Semoga masalahnya cepet selesai ya.” Desi tahu batasan, meski dirinya sangat ingin tahu masalah yang membuat Haidar bahkan harus terlibat. Ia bukan lagi Desi yang dulu yang tidak tahu malu dan selalu ingin tahu urusan orang lain.“Iya, Bu. Makanya Alesha disuruh kesini buat liburan biar bisa sedikit lupa soal masalahnya.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Haidar.“Suaminya nggak ikut ya? Padahal waktu itu Ibu cuman lihat sebentar doang.”Haidar
Senyum tersungging di bibir Revan saat ia akhirnya bisa mendengar suara Alesha.“Iya.”“Kamu dimana?”“Ak-aww! Pelan-pelan, Dar. Perih tahu!” Terdengar suara Alesha protes sambil mendesis dari seberang telepon.“Aku tiup ya.” Suara Haidar pun ikut terdengar meski samar-samar.“Jangan! Geli.”Tangan Revan mengepal, hanya sepenggal percakapan itu sudah membuat pikiran negatif Revan semakin berkembang.“Kamu lagi ngapain disana sama Haidar? Alesha, jangan lakukan hal aneh-aneh ya.” Ia sebisa mungkin menahan emosi yang sudah siap meledak. Meski dari nada suaranya jelas jika ia sedang marah.“Maaf, Mas ada urusan apa ya telepon saya? Kalau nggak ada yang mau dibicarakan saya tutup teleponnya.”Revan terdiam karena bingung ingin mengatakan apa hingga akhirnya sambungan telepon itu terputus. Saat mencoba menghubungi lagi, nomor Alesha malah tidak aktif.“Si*lan! Mereka lagi apa disana.” Revan yang pemikirannya dewasa jelas berpikir yang tidak-tidak soal apa yang dilakukan oleh Alesha dan jug
“Dulu Daddy membuangku tanpa perasaan. Aku nggak rela melihat Daddy bahagia sedangkan aku disini menderita. Anak mana yang mau terlahir karena sebuah kesalahan? Nggak akan ada yang mau termasuk aku. Kalau Mommy masih ada, mungkin aku nggak bakalan sesakit ini.”Dengan kasar Liliyana mengusap pipinya yang basah. Setiap mengingat kejadian itu, hatinya pasti kembali terluka. Sampai saat ini ia bahkan tidak bisa melupakan kepahitan beruntun yang dialami saat usianya sepuluh tahun.Setelah ditinggalkan selamanya oleh sang ibu, Liliyana kecil juga harus menelan kepahitan karena tidak diinginkan oleh ayah kandungnya sendiri. Bahkan keluarga besar sang ibu sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Karena hadir di luar pernikahan membuat Liliyana menjai sosok yang tidak diinginkan siapapun.“Lily, kamu di dalam?”“Iya, Tante.” Liliyana memastikan tidak ada jejak air mata di pipinya. Ia beranjak untuk membuka pintu kamarnya.“Tante harus pergi ke rumah Ibu mertua. mungkin satu bulan disana s
Bunga mengalah, meninggalkan Alesha dan Revan untuk bicara.“Tolong, Mas. Jangan melakukan hal yang sia-sia, apa yang kamu lakuin itu akan terus menyakiti diri kamu sendiri dan aku juga. Takdir kita memang sudah seharusnya begini, aku mohon kamu bisa menerima.” Ini kali terakhir Alesha memperingati, jika Revan masih sama maka ia akan membiarkan lelaki itu melakukan apapun karena tidak akan ada yang berubah.Alesha mengusap pipinya yang basah, ia lelah jika harus seperti ini terus. Alesha bukan seorang berhati malaikat yang bisa menerima apapun yang terjadi. Jika terlalu sakit, ia juga bisa menangis.“Maaf.” Hanya kata itu yang terucap dari Revan.Apa yang dikatakan Alesha barusan dan juga Bunga, sudah berhasil menampar Revan yang begitu egois. Ia ingin bahagia tanpa berpikir betapa terlukanya Alesha. Jika memang tidak bisa lagi maka ia akan berhenti tapi itu bukan berarti ia akan bersama dengan Nara.Dengan membawa kekecewaan Revan pergi dari sana. Ia frustasi, merasa tidak memiliki l
Damar menghempaskan tubuhnya di kasur, melakukan perjalanan jauh tanpa tidur dan istirahat membuat tubuhnya remuk. Jika bukan karena ingin masalah ini segera selesai, Damar tidak akan mungkin sampai sejauh ini. Sekarang hanya tinggal satu langkah lagi, setelah Bu Nia datang dan meminta maaf langsung pada keluarga Amel maka semua tuntas.Apa yang dilakukan Bu Nia memang tidak dibenarkan, semarah-marahnya ia pada Anita saat itu tetap tidak baik jika sampai membuatnya sampai tertekan sampai sakit jiwa dan berakhir bunuh diri. Secara tidak langsung Bu Nia menyebabkan Anita melakukan itu mseki bukan salah Bu Nia sepenuhnya.Soal Liliyana pun sudah diselesaikan karena Amel yang mengakui jika memang dirinya yang mendoktrin Liliyana. Tidak ingin dikasihani Liliyana melepaskan diri dari Amel, ia lebih memilih hidup sendiri.Mungkin jika tidak diberikan ancaman, Amel juga akan terus tutup mulut. Bahkan Damar sendiri yang meminta ibunya datang agar tidak ada lagi dendam masa lalu yang masih terb
“A-apa? Kamu mau ngomong apa?” Alesha malah gugup tidak seperti biasanya yang akan lepas-lepas saja bicara dengan Haidar.Mungkin karena sering digoda oleh keluarganya makanya Alesha sekarang jadi seperti ini semakin memperjelas jika memang ia memiliki rasa pada Haidar.“Sebenarnya ….”“Apa?”“Aku diminta sama temen-temen SMA kita dulu buat ajak kamu reuni, katanya mereka nggak berani kalau ngajak kamu secara langsung.”Alesha menghela nafas panjang, ada rasa kecewa menyusup dalam dada karena terlalu berpikir jauh. Alesha memang aneh, ia menolak rasanya sendiri tapi malah berharap lebih. Tidak pernah sebelumnya ia merasa seperti ini bahkan saat bersama dengan Revan sekalipun.“Kapan?” Alesha masih memperlihatkan senyum di wajahnya.“Pastinya belum ditentukan, nanti aku kasih tahu lagi.”Alesha manggut-manggut, “kamu kok kesini sendiri, pacar kamu tadi mana?” Setelah mengatakan itu Alesha malah merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya berucap begitu.Haidar tertawa geli, “kamu sama
“Nggak bisa bulan depan, harusnya hari ini.”Apa yang dikatakan Damar berhasil mengundang gelak tawa semua orang yang tadi sempat tegang.“Aish! Malah bercanda, aku sampe takut loh.” Launa memukul pundak suaminya itu kesal.“Emang boleh, Om?” Haidar menatap calon mertuanya itu sedikit ragu.“Lebih cepat lebih bagus. Kalau memang sama-sama yakin dan siap kenapa harus ditunda, yang terpenting akad soal resepsi bisa nyusul nanti.”Damar memang dari dulu tidak pernah ingin menunda jika soal hal-hal baik apalagi pernikahan. Bahkan sebelum hari ini Damar sudah bicara dengan sang istri mengenai Haidar dan juga Alesha, jika bukan karena bantuan Aslan dan Bunga mungkin saja hari bahagia ini akan terus tertunda entah sampai kapan.Haidar tidak mengambil keputusan sendiri, ia meminta pendapat juga dari orang tuanya dan juga kesiapan Alesha karena ia tidak ingin hanya mementingkan perasaannya sendiri apalagi yang terjadi masih terasa seperti mimpi tidak hanya bagi Haidar tapi bagi Alesha juga.Ha
Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh
Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be
“Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h
“Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la
Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis
"Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena
Jika hati dan tubuhnya bahkan sudah terbagi, apalagi yang menjadi alasan Hanum bertahan jika bukan Mentari. Berat rasanya bertahan bersama Bagas saat tahu lelaki itu sudah mencintai wanita lain yang sekarang sudah menyandang status sebagai mantan istri lelaki itu.Hanum lebih rela menemani masa sulit suaminya, daripada menemani lelaki yang sudah membagi hatinya seperti ini. Itu sangat menyakitkan.Mungkin jika kebohongan Bagas tidak diketahui oleh Faz, bisa saja Hanum yang akan ditinggalkan oleh Bagas. Sekarang Hanum tidak lagi merasa takut jika akan ditinggalkan. Ia sudah sangat lelah dengan apa yang terjadi, kesabarannya sudah dipertebal tapi malah ini yang didapatkan.Sudah satu minggu Bagas pergi, semenjak Hanum melihat foto Faz yang masih tersimpan di ponsel Bagas bahkan dijadikan tampilan layar. Lelaki itu hanya menghubungi sekedar untuk bicara pada Mentari, Hanum seolah tidak dianggap dan wanita itu pun tidak peduli lagi. Ia lelah jika terus meladeni Bagas yang sama sekali tida
POV Author“Mau kemana, Mas?”“Ada urusan.”“Urusan apa?”“Urusan penting.” Bagas menepis tangan Hanum membuat wanita itu mengernyit heran.Sikap Bagas berubah meski lelaki itu terus menepis dan mengatakan jika ia tidak berubah sama sekali tapi di sini Hanum yang merasakannya. Suaminya itu bersikap dingin bahkan jarang pulang padahal Bagas sendiri yang mengatakan jika ia tidak akan lagi bekerja di kota. Tapi lelaki itu selalu beralasan ada urusan di kota tapi tidak menjelaskan dengan detail urusan apa yang sedang dilakukannya.“Apa ini cuman perasaan aku doang ya.” Hanum menggeleng, “jangan mikir macam-macam, Hanum. Mas Bagas pasti lagi sibuk apalagi perusahaannya sekarang udah hancur.”Hanum tahu soal perusahaan keluarga suaminya yang akhirnya hancur. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya karena ia yang berencana untuk memberitahu secara tidak langsung pada Faz soal siapa Hanum sebenarnya.Kalau saja Bagas tahu Hanum sengaja tidak memberitahu jika Faz akan mengikuti, sudah pasti l
“Aku cinta sama kamu.”“Bullshit! Nggak usah kamu keluarkan rayuan kamu dalam situasi ini, Mas. Aku tetep pada keputusan aku buat pisah. Aku nggak mau jadi sumber derita buat wanita lain yang nggak tahu apa-apa. Mbak Hanum pasti nggak tahu soal permainan kamu ini 'kan?”“Kita selesaikan baik-baik ya, jangan kayak gini.”“Iya, aku emang mau selesaikan ini baik-baik sama kamu. Kita pisah tapi aku nggak bakalan cabut dana yang mengalir ke perusahaan ayah kamu tapi setelah kerjasama selesai jangan harap dapat bantuan lagi kalau sampai nanti perusahaan itu kembali jatuh!”“Sayang ….”“Cukup, Mas! Kamu nggak kasihan sama istri dan anak kamu. Nggak usah kamu korbankan mereka cuman akrena harta yang nggak bakalan kamu bawa mati.”“Ini bukan soal harta tapi perasaan aku. Kamu nggak percaya?”“Nggak, aku sama sekali nggak percaya sama kamu. Kebohongan kamu sebelumnya bahkan aku masih nggak percaya kalau itu sebuah kenyataan.”Aku merasa beruntung karena belum memberikan hatiku padanya, tidak ma