“Ya. Aku mencintaimu!”
Akhirnya rangkaian kalimat sakral lolos juga dari mulut Amisha, setelah beberapa detik ia berjuang mengumpulkan keberanian untuk mendeklarasikan sebuah pengakuan.
Kontan Zain merangkul dan memeluk Amisha. Hatinya berbunga-bunga mendengar ungkapan rasa hati Amisha.
“Oh, Misha! Aku bahagia sekali mendengarnya. Aku lebih mencintaimu!” seru Zain gembira.
Andai waktu bisa berhenti. Zain ingin saat itu juga waktu tak lagi berputar. Ia ingin selamanya berdiri di sana. Berada di hamparan taman bunga, dengan kelopak-kelopak bunga yang berhamburan dari angkasa, menghujaninya dengan keindahan dan keharuman yang melenakan. Selamanya! Terhanyut dalam pusaran kebahagiaan.
“Benarkah? Apa buktinya?”
“Ayo cepat! Mumpung cuaca tidak terlalu panas dan lebih bersahabat,” ajak Zain, merangkul pundak Amisha.Mereka baru saja selesai menunaikan salat zuhur berjemaah dan berencana untuk pergi keluar.“Ke mana?” tanya Amisha, seakan lupa dengan rencana mereka.Keharuman sehabis mandi menguar dari tubuhnya, mengundang Zain untuk semakin memangkas jarak di antara mereka, lalu mendaratkan kecupan ringan pada pipi mulus Amisha.“Ke mana lagi? Tentu saja pergi menikmati kencan pertama kita.” Zain makin mempererat rangkulannya.Tatapan sepasang insan yang sedang kasmaran itu saling berpagut, diselimuti senyuman menawan. Binar-binar bahagia terpancar jelas dari wajah mereka, kembali mengundang Zain untuk mengecup kilas dahi Amisha.
Melihat Amisha terbaring lemas di atas sajadah setelah selesai salat, Zain menghela napas panjang. Ia merasa iba melihat penderitaan Amisha. Terbayang di benaknya kelelahan mamanya saat mengandungnya dulu. Mungkin persis seperti yang dialami Amisha saat ini atau bahkan mungkin lebih menderita lagi.Ada keharuan menyenak dada Zain ketika teringat betapa banyak dosa yang telah ia lakukan pada sang mama semenjak dari dalam kandungan. Yang lebih menyedihkan lagi, ia bahkan tidak pernah memiliki kesempatan untuk berbakti pada mamanya. Sebuah kecelakaan tragis telah merenggut nyawa mamanya dan juga nyawa saudara kembarnya, serta menyebabkan kebutaan pada kedua matanya.Zain menyeka bulir bening yang nyaris jatuh menggelinding, menuruni pipinya dengan ujung jari. Ia tidak ingin Amisha mengetahui kesedihannya.Zain berlutut
“Kok Mama enggak bilang sih mau berkunjung ke sini?” cecar Amisha, merasa sedikit gondok dengan kedatangan orang tuanya yang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.Langkah kakinya bergegas menghampiri kedua orang tuanya yang sedang bersiap-siap menikmati sarapan pagi. Ia langsung menyalami mamanya dan memeluk sang mama sembari mencium kedua pipinya yang mulai memperlihatkan garis-garis tanda penuaan.Zain mengekor di belakang Amisha, juga menyalami kedua orang tua Amisha serta mendekap hangat Harist.“Kenapa, Sayang? Kau keberatan Mama dan Papa datang menemuimu?” tanya Claudya santai.“Bukan begitu, Ma. Kalau Mama bilang, kami bisa jemput Mama dan Papa di bandara,” sahut Amisha, merasa tak enak hati karena telah membiarkan kedua orang tuanya menggunakan jasa taksi online.“Terus, kenapa juga Bi Inah baru memberi kabar kedatangan Mama dan Papa pagi ini, padahal sudah sampai sore kemarin,” rajuk Amisha, dengan nada jengkel bercampur kecewa.Claudya mengelus lembut kepala Amisha.
“Kau kapan menikah? Amisha sudah mau punya anak lo … Mama sama Papa juga pengin dapat tambahan menantu,” kata Claudya, dengan seulas senyum mengembang di bibirnya seraya melayangkan tatapan hangat pada Gianna.Pertanyaan tak terduga yang diajukan di hadapan banyak orang itu membuat pipi Gianna memerah. Ia merasa malu.Amisha dan Zain bertukar senyum dengan jari-jari yang saling bertaut satu sama lain. Mereka mengangkat tinggi kedua tangan yang menyatu itu, seolah memamerkannya pada Gianna.“Iya, Gia. Biar anakku ada temannya,” sahut Amisha, bersandar manja pada Zain.Zain menyambut perkataan Amisha dengan usapan lembut pada kepala sang istri tercinta.“Aiyyyaaa … memangnya cari jodoh seperti mencari pisang goreng?” rungut Gianna, menatap Amisha dengan pandangan geram.Amisha dan Zain terkekeh melihat raut marah Gianna. Lucu.“Tuh, ada Yoshi yang masih jomlo,” sambar Zain, memonyongkan bibir, menunjuk ke arah Yoshi.Yoshi yang tak menyangka dirinya akan menjadi sasaran tembak Zain cuma
Matahari terus beranjak naik. Cahayanya yang menembus kaca jendela dan menyeruak dari celah-celah ventilasi menyinari setiap ruangan rumah Amisha. Begitu hangat. Namun, tak sehangat roman muka penghuni ruang tengah rumah itu.Wajah-wajah tegang dan penasaran itu masih tetap membisu. Tak seorang pun dari mereka yang berani angkat bicara, terutama Amisha dan Gianna. Mereka tahu bahwa mereka telah melakukan hal berbahaya yang selama ini terlarang untuk mereka lakukan.Harist duduk gelisah dengan wajah gusar. Berulang kali ia mengusap muka atau dagu dengan gerakan kasar. Ketakutan terpahat jelas pada raut mukanya yang mulai keriput.“Ceritakan yang sebenarnya! Sejauh mana kalian bertindak?” tanya Harist, mendesak Amisha dan Gianna untuk mengatakan yang sebenarnya. Mata tajamnya melirik Amisha dan Gianna silih berganti.Amisha dan Gianna saling lempar pandang. Memberi kode dengan gerakan mata untuk saling memberi perintah. Pandangan mata masing-masing mereka seolah berkata, ‘Kamu saja yang
“Serius?” Raut muka Gianna tampak berpikir keras.“Kamu meragukan kemampuanku?”“Bukan begitu. Aku percaya. Hanya saja, aku belum sempat mengeceknya. Cuma melihat sepintas lalu, tapi … foto itu kelihatan asli.”Amisha tersenyum tipis. “Fotonya memang asli, tapi videonya sudah diedit.”“Benarkah? Kurasa, aku harus mengeceknya sendiri.” Gianna terkesima.Ia mengira dirinyalah yang lebih dulu membaca berita itu. Ternyata ia kecele. Amisha justru sudah mengetahui berita itu lebih cepat dari dirinya.Amisha mengangguk ringan.“Tidak perlu. Sekarang tugasmu melacak alamat IP-nya. Terus hubungi orang-orang kita untuk mencari keberadaan pelakunya!” perintah Amisha pada Gianna sembari kembali ke tempat duduknya.“Siap, Bos!”Tanpa membuang waktu, Gianna langsung bergerak. Tidak butuh lama bagi Gianna untuk melacak alamat IP sang pelaku penyebaran berita yang mencoreng nama baik Zain.Gianna merogoh kantong blazer dan mengeluarkan ponsel dari sana, lalu memencet tombol berlambang gagang telepon
“Pokoknya papa tidak mau tahu. Lain kali kalian jangan melibatkan diri bersama orang-orang itu!” larang Harist tegas.Ia sungguh mengkhawatirkan keselamatan anaknya.“Enggak janji deh, Pa.” Amisha menjawab ragu.“Misha!”Suara Harist sedikit meninggi, kewalahan menghadapi sikap keras kepala Amisha.Melihat amarah Harist mulai tersulut, Claudya meraih tangan Harist dan meremasnya lembut sembari menggeleng pelan. Melarang agar suaminya itu tidak berlanjut memarahi Amisha.“Tapi, Honey … aku tidak mau mereka berada dalam bahaya. Bukankah kau sendiri sudah setuju untuk memakai namaku di belakang nama Amisha? Bukan nama keluarga ayahmu, bahkan membatalkan penggunaan nama bangsawan ibumu. Semua itu demi melindungi anak kita. Lalu, kenapa sekarang kau seperti mendukung gerakannya?” tanya Harist, dengan nada kecewa.Semenjak menikahi Harist, Claudya memang lebih memilih mengikuti suaminya daripada tetap tinggal dengan kedua orang tuanya. Claudya tidak mau terlalu dalam tenggelam dalam dunia h
“Sudah, berangkat sana!” usir Zain, tersenyum jahil pada Yoshi. “Permisi, Om … Tante ….” Yoshi berdiri dari duduknya, membungkuk pamit pada orang tua Amisha.“Silakan!” sahut Harist ramah.“Aku rasa, aku setuju dengan usulmu sebelumnya, Honey,” kata Harist tiba-tiba, meraih dan menggenggam tangan istrinya.“Benarkah?” bola mata indah Claudya berbinar cerah.Harist mengangguk mantap.“Usul? Memangnya Mama mengusulkan apa, Pa?” tanya Amisha, ingin tahu.Dadanya mendadak berdebar-debar. Jangan sampai orang tuanya memintanya kembali pulang ke London.“Kami akan kembali ke sini, Sayang,” sahut Claudya, tersenyum lebar.Tampak sekali ia senang dengan rencana kepindahannya itu.“Apa?” Amisha terperangah, bagaikan tengah bermimpi mendengar niat orang tuanya.“Iya, Sayang. Dengan begitu papa bisa mengawasi kamu dengan tenang,” cetus Harist.“Ya Tuhan, Papa. Aku kan sudah besar.”“Kau tidak suka kami pindah lagi kemari?” Harist sedikit tersinggung dengan sanggahan Amisha.“Bukan begitu, Pa. Te
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang