“Sudah, berangkat sana!” usir Zain, tersenyum jahil pada Yoshi. “Permisi, Om … Tante ….” Yoshi berdiri dari duduknya, membungkuk pamit pada orang tua Amisha.“Silakan!” sahut Harist ramah.“Aku rasa, aku setuju dengan usulmu sebelumnya, Honey,” kata Harist tiba-tiba, meraih dan menggenggam tangan istrinya.“Benarkah?” bola mata indah Claudya berbinar cerah.Harist mengangguk mantap.“Usul? Memangnya Mama mengusulkan apa, Pa?” tanya Amisha, ingin tahu.Dadanya mendadak berdebar-debar. Jangan sampai orang tuanya memintanya kembali pulang ke London.“Kami akan kembali ke sini, Sayang,” sahut Claudya, tersenyum lebar.Tampak sekali ia senang dengan rencana kepindahannya itu.“Apa?” Amisha terperangah, bagaikan tengah bermimpi mendengar niat orang tuanya.“Iya, Sayang. Dengan begitu papa bisa mengawasi kamu dengan tenang,” cetus Harist.“Ya Tuhan, Papa. Aku kan sudah besar.”“Kau tidak suka kami pindah lagi kemari?” Harist sedikit tersinggung dengan sanggahan Amisha.“Bukan begitu, Pa. Te
Saat rombongan Zain tiba di rumah sakit, Cecilia sedang sibuk membereskan barang-barang pribadi ayahnya. Ia menghentikan aktivitasnya dan melangkah cepat menyongsong kehadiran Zain begitu mendengar suara pintu dibuka.“Wah, Mas … ramai sekali!” seru Cecilia ceria, memeluk hangat tubuh Amisha.“Bisa sakit juga kamu ternyata, Li?” seloroh Harist, menyalami Adelino dengan gaya khas mereka sebagai lelaki.“Aku juga manusia kali,” balas Adelino. “Aku lupa kalau tulang-tulang ini mulai ringkih.”Adelino mengerjap lucu pada Harist yang duduk di sebelah ranjangnya. Ia sendiri duduk bersandar di kepala ranjang sambil menunggu anak perempuannya selesai menyimpan barang-barangnya.“Hahaha … itu karena kau bersikeras tidak ingin memiliki seseorang untuk mengingatkanmu,” sindir Harist, tertawa lepas. Sementara kedua bola matanya melirik Claudya yang masih terlihat asyik bercengkerama dengan anak perempuan Adelino.“Itu karena memang tidak ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku,” jawab Adel
“Honey?” Mendengar tak ada respons dari suaminya, Claudya memanggil. “Dengar, tidak?”“Iya, tapi … apa tidak sebaiknya kita ke dealer saja dulu?” tawar Harist.Ia pikir, ia perlu membeli kendaraan pribadi. Tidak mungkin ia dan istrinya mengandalkan kendaraan milik Amisha atau Zain, jika mereka sudah benar-benar pindah.“Ya sudah! Terserah kau saja, tapi beli mobil yang biasa-biasa saja, ya?”“Kenapa memangnya? Uang kita lebih dari cukup untuk sekadar membeli sebuah mobil mewah.”“Iya. Aku tahu. Kita memang mampu untuk hidup bermewah-mewah, termasuk membeli mobil mewah. Tapi … tampil sederhana itu sebuah pilihan bijak, mengingat masih banyak orang di luar sana yang hidupnya tidak seberuntung kita. Bahkan, untuk sekadar makan sehari-hari saja mereka susah,” jelas Claudya panjang lebar.Claudya sedikit menurunkan kaca mobil dan mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan kepada seorang remaja laki-laki, yang baru saja memberikan jasa membersihkan kaca mobilnya di perempatan lampu merah.“Ba
Sonny beserta Harist dan istrinya duduk di sebuah meja di bagian dalam kafe. Sengaja mereka memilih agak ke dalam agar tidak terganggu oleh orang-orang yang berlalu-lalang di sepanjang koridor mal itu.Sonny memesan secangkir cappuccino dingin. Harist lebih suka lemon tea, sementara Claudya memilih jus jeruk untuk menemani obrolan mereka.Sonny masih belum berani buka suara untuk memulai percakapan. Matanya masih terpaku pada gambar hati yang menari di permukaan buih putih kental di dalam cangkirnya. Ingin rasanya ia memaki si pembuat kopi itu. Kenapa harus gambar hati sih? Kenapa tidak gambar bunga, hewan, awan, atau yang lain? Terserah gambar apa saja, asalkan bukan gambar hati.Gambar hati cantik yang tercabik setelah diminum itu seolah merefleksikan kehancuran hatinya. Amat sakit dan perih. Ah! Mendadak Sonny menyesali pilihan minumannya. Mungkin akan lebih baik jika ia memesan black coffee saja tadi.“Bagaimana kabarmu selama ini, Nak? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Harist,
“Aku tidak mau cacat, Ma, Pa ….”“Tidak, Sayang. Kau akan sembuh. Kita akan terbang ke Singapura secepatnya untuk pengobatanmu.”Prima menggenggam erat tangan Sonny. Menyalurkan keyakinan dan kekuatan mental bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sonny hanya perlu yakin pada keajaiban Tuhan dan tidak menyerah untuk sembuh.Dua hari setelah tersadar dari komanya, Sonny benar-benar dibawa ke rumah sakit terbaik di Singapura untuk mendapatkan terapi fisik, agar tubuhnya bisa kembali bergerak normal seperti semula.Sonny mengakhiri ceritanya dengan desahan napas panjang. Tanpa sadar ia tak mampu lagi membendung tangisnya. Bahunya berguncang kala menuturkan pengalaman pahitnya. Cepat-cepat ia mengeluarkan sapu tangan dan menyeka air matanya yang jatuh menetes. Merasa malu jika tangisnya mengundang perhatian orang-orang yang berada di kafe itu.Claudya pun ikut terlarut dalam cerita Sonny. Ia dapat merasakan kesedihan mantan calon menantunya itu. Akan tetapi, tak ada lagi yang dapat diperbuat.
“Lupakan Amisha! Dia hanya gadis pembawa sial untukmu.”Tahu-tahu Nyonya Prima sudah memasuki kamar Sonny tanpa mengetuk pintu. Berjalan menghampiri Sonny yang tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangi foto cantik Amisha pada pigura yang dipegangnya. Sebelah tangannya bersembunyi dalam saku celana.Meskipun nada bicara mamanya begitu lembut, efeknya sangat kontras di hati Sonny. Nada lembut itu seperti tebasan pedang samurai menusuk hatinya.Entah kenapa hatinya merasakan sakit yang luar biasa. Bukan karena sang mama memintanya untuk melupakan wanita yang dicintainya, melainkan karena ia tak rela mamanya menuduh Amisha sebagai gadis pembawa sial dalam hidupnya.Roda kehidupan berputar bukanlah atas kemauan seorang individu. Begitu juga dengan nasib buruk yang menimpanya. Semua itu bukan salah Amisha. Gadis itu bahkan tidak pernah tahu usaha nekatnya yang gagal dan berujung pada kemalangan panjang.Andai seorang manusia dapat mengontrol jalan hidup orang lain sesuai keinginanny
“Kalau papa sudah pulih seperti sediakala, aku akan turun dari rumah ini dan kembali ke apartemenku,” tekad Sonny. Ia butuh ketenangan untuk membalut luka hatinya.Alasan utama Sonny mau kembali ke rumah orang tuanya adalah kepulangan papanya dari Singapura, setelah menjalani perawatan intensif selama beberapa waktu. Ia tidak tega membiarkan mamanya yang mulai renta merawat sendiri papanya yang belum sehat sempurna. Terkadang papanya sangat cerewet dan sedikit kolokan saat sakit. Kasihan mamanya harus menahan sabar sepanjang hari atas perlakuan atau ucapan yang tidak mengenakkan dari papanya.Namun, sepertinya tinggal di rumah orang tuanya bukan pilihan yang bagus untuk mentalnya. Ia tidak hanya lelah raga melayani papanya, tetapi juga lelah hati menghadapi perkataan dan provokasi dari mamanya.Galau. Kata itu masih tak cukup tepat untuk menggambarkan keadaan dirinya saat ini. Mungkin kata putus asa lebih mengena. Ya, ia tengah berada di ambang putus asa akan sebuah rasa cinta. Sampai
Mentari pagi mulai naik sepenggalan. Menebar kehangatan pada pucuk-pucuk pohon yang belum lama berlepas diri dari damainya pelukan sang dewi malam. Langit tampil dalam warna biru cerah, dengan tumpukan kumulus laksana undakan tangga, seolah mengundang penduduk bumi untuk menaikinya.Nyanyian burung yang bertengger di dahan masih terdengar riuh penuh bahagia. Tanda sukacita dan ungkapan rasa syukur pada Yang Kuasa, karena masih diberi kesempatan melihat mentari terbit kala pagi menyapa.Semilir angin membawa kesejukan ke segala arah. Mendamaikan jiwa-jiwa yang belum sepenuhnya menggenggam kembali semangat meniti hari. Sebagian bahkan masih bergulat dengan mimpi-mimpi tak pasti.Di taman belakang rumah Amisha, asap putih mulai mengudara. Samar-samar membaur dengan titik-titik embun yang menguap tinggi, diterpa cahaya matahari. Sesekali Gianna terbatuk ketika asap putih yang berasal dari alat panggang barbeque itu menyerang kerongkongannya.Tiga meter dari tempat Gianna berdiri, Inah sib
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang